31.4 C
Jakarta

Selamat Hari Kebangkitan Radikalisme Nasional

Artikel Trending

Milenial IslamSelamat Hari Kebangkitan Radikalisme Nasional
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tagar tentang Hari Kebangkitan Nasional jadi trending di Twitter. Per Rabu (20/5) pagi, cuitan warganet sudah mencapai ribuan kali. Hal itu menjadi pertanda bagus. Karena ternyata masyarakat kita, di tengah kegelisahan yang menggerogoti negeri ini, di tengah kesemrawutan dan musibah radikalisme, masih bergelora semangat untuk bangkit, sekalipun hanya melalui sebuah tagar.

Penting saya utarakan di awal, selain tagar #HariKebangkitanNasional dan #IndonesiaBangkit, beberapa tagar lain juga menarik perhatian. Misal, tagar #JokowiKingOfPrank bersaing jumlah dengan tagar #SayaPercayaJokowi dan #SayaMasihPercayaJokowi. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang baru saja gelar konser abai PSBB juga tidak luput dari obrolan warga Twitter.

Isu-isu di negeri ini tidak pernah reda. Satu isu selesai, isu lain menyusul. Kesemuanya sama-sama menggelitik, sekaligus membuat mangkel, bahkan membuat khawatir tentang bangsa Indonesia itu sendiri. Yang terakhir ini misalnya ketika kita menyadari: jika masyarakat sudah tidak percaya pemerintah, hanya perlu waktu berapa lama menunggu negeri ini jadi ambyar?

Tulisan sebelumnya, Menuju Renaissance of Radicalism, saya menekankan Habib Bahar bin Smith sebagai pemantik kebangkitan kembali radikalisme pasca eksodus Habib Rizieq Syihab sekeluarga ke Arab Saudi. Tiga hari bebas, Habib Bahar ditangkap kembali. Petinggi PA 212 menganggap ada kriminalisasi ulama lagi, sementara pengacara menganggap ada kaitan dengan isi ceramahnya.

Habib Bahar, dengan demikian, sama dengan Habib Rizieq, menjadi indikasi, bahwa otoritas pemerintah masih melampaui ruang gerak para kaum radikal. Maksudnya, sepak terjang radikalisme masih terbatas. Tetapi yang memancing pertanyaan adalah: benarkah kosongnya Habib Rizieq dan Habib Bahar di ruang publik lantas efektif meredam spirit radikalisme keagamaan di negeri ini?

Kita patut bertanya, karena itu penting. Negeri ini tampaknya sedang mengalami kesemrawutan luar biasa: ekonomi diprediksi anjlok di masa pandemi COVID-19, masyarakat tidak percaya kinerja pemerintah karena amburadul, dan narasi radikal istikamah berhembus. Jadi, apakah berlebihan jika Hari Kebangkitan Nasional juga ternyata adalah Hari Kebangkitan Radikalisme Nasional?

Musibah Radikalisme Nasional

Tidak perlu banyak menjabarkan musibah apa saja yang sedang melanda. Yang jelas, meragukan sekali jika dikatakan, negeri ini sedang baik-baik saja. Yang bertahan dari Indonesia adalah spirit kesatuan-persatuan masyarakat. Itulah senjata terkuat. Andai absen, tidak bisa dibayangkan hal buruk apa yang akan menimpa—musibah lebih buruk mungkin saja terjadi.

Radikalisme, betapapun sudah usangnya wacana tersebut, namun pergerakannya selalu menjadi isu terbaru. Ada kasus penembakan polisi di Poso, yang para terorisnya belum mampu pemerintah bungkam. Ada para aktivis HTI yang sigap-rutin mendakwahkan tegaknya khilafah, yang bergerak di ruang remang, sehingga juga tak mampu pemerintah tertibkan.

Narasi ‘kriminalisasi ulama’ yang keluar dari petinggi PA 212 merespons penangkapan  kembali Habib Bahar adalah narasi usang, yang juga dipakai kaum radikal beberapa tahun lalu, ketika Habib Rizieq terjerat kasus chat mesum, yang konon jadi alasan dirinya menetap di Arab Saudi. Jika hari ini dihembuskan kembali, bukankah itu artinya radikalisme ala FPI dicoba suarakan kembali?

BACA JUGA  Cara Jitu Menangani HTI dan Gerakan Bawah Tanah Khilafahers

Beberapa orang menganggap saya terlalu berimajinasi tinggi, karena hipotesis Renaissance radikalisme hanya dengan suguhan bukti keberanian Habib Bahar. Padahal, kaum jemaahnya bagaimapun tidak akan terima dengan sikap pemerintah. Bahkan sekalipun sang komando baret merah tersebut dibui, mereka akan bergerak di akar rumput. Itu jelas.

Di Hari Kebangkitan Nasional ini, refleksi diri tentang apa yang tengah bangkit dari bangsa adalah sesuatu yang urgen, demi mengantisipasi kemungkinan buruk terjadi. Jika kemajuan bangsa tidak tampak, justru kesemrawutan merajalela, maka patut khawatir. Jangan-jangan, di hari yang seharusnya istimewa dan positif ini, yang bangkit justru sesuatu yang negatif dan berbahaya.

Apa yang Bangkit dari Kita?

Inilah momentum refleksi, bertanya dan mengamati, apa yang tengah bangkit dari bangsa kita? Dan, dengan apa kita harus merayakannya? Hari Kebangkitan Nasional adalah waktu di mana rakyat mulai menumbuhkan rasa kesadaran nasional sebagai ‘orang Indonesia’. Dalam sejarah, ia ditandai dengan dua peristiwa penting: berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) dan ikrar Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928).

Benih perjuangan terpupuk, hari demi hari. Kemerdekaan yang dimimpikan seluruh rakyat semakin mendekati kenyataan. Rakyat bangkit melawan penjajah. Ia berlangsung dalam skala besar dan terus menerus. Sekarang kita secara sadar harus kembali menyoal: apakah Hari Kebangkitan Nasional masih berjalan seperti eksistensi idealnya?

Jika faktanya tidak ada yang bangkit dari diri kita sebagai orang Indonesia, justru disuguhi fakta tergerusnya kepercayaan terhadap pemerintah, maka mungkin dengan maksud nyinyir hari ini kita berujar: Selamat Hari Kebangkitan Radikalisme Nasional. Ini dalam rangka menyadarkan, bahwa kita bukan di ambang kemerdekaan, melainkan ambang perpecahan.

Politik yang memecah belah masyarakat, paham keagamaan yang memecah belah umat, adalah serangkaian tragedi kebangkitan radikalisme tersebut. Dalam hal ini, kesadaran kolektif menjadi tolok ukur kepulihan. Baik pemerintah maupun masyarakat harus sama-sama berbenah, mengembalikan hari ini sebagai Hari Kebangkitan Nasional yang sebenarnya.

Sebagai rakyat, kesadaran untuk mempererat persatuan menjadi kunci. Saya tidak lantas menggeneralisir segala yang keras-tegas, misalnya Habib Rizieq dan Habib Bahar, sebagai radikal. Tidak. Tegas adalah keharusan, Nabi pun demikian. Tetapi santun juga merupakan kewajiban, Nabi sering memberi teladan demikian.

Radikalisme adalah golongan yang menyebarkan narasi yang membahayakan bangsa ini. Mau dengan cara menghasut atau sekadar mengeluarkan aspirasi ke masyarakat, jika membahayakan persatuan negeri maka itu tetaplah radikal. Jika ini, hari ini, faktanya, adalah yang tengah terjadi, maka hari ini juga saya ucapkan: Selamat Hari Kebangkitan Radikalisme Nasional.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru