29 C
Jakarta

Sekularisme ala Indonesia Harus Bagaimana?

Artikel Trending

KhazanahOpiniSekularisme ala Indonesia Harus Bagaimana?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Berangkat dari pemboikotan terhadap produk Prancis di berbagai negara bahkan negara-negara timur tengah berjamaah melakukan aksi boikot, yang awalnya dikomandoi oleh Presiden Turki Reccep Tayyib Erdogan. Hal tersebut muncul sebagai respons terhadap pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron tentang radikalisme-terorisme dalam Islam dan secara eksplisit pernyataannya bahwa saat ini Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia, tidak hanya di Prancis.

Pernyataan Macron tersebut meminjam bahasa Nockleby sebagaimana dikutip oleh Ferdiansyah (2020) bisa disebut sebagai ujaran yang menjadi kebencian saat merendahkan orang atau kelompok manapun berdasarkan karakteristik seperti ras atau agama. Meskipun pernyataannya berangkat dari serentetan peristiwa teror yang terjadi di Prancis beberapa tahun belakangan ini. Namun, pernyataannya itu kemudian menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.

Peristiwa teror, yakni terbunuhnya seorang guru sejarah, Samuel Patty oleh pemuda 18 tahun asal Rusia, Abdullah Anzorov karena Patty dengan sengaja menampilkan sosok karikatur Nabi Muhammmad Saw, melalui majalah Charlie Hebdo saat mengajar, yang kemudian tersebarlah berita tersebut yang membikin geger publik. Macron sendiri tidak mengecam dan melakukan pembiaran terhadap pembuatan ulang karikatur nabi (yang pernah terjadi pula pada tahun 2006), karena hal itu oleh Macron dianggap sebagai bentuk kebebasan berekspresi yang menjadi salah satu asas dari republik Prancis, yakni “laïcité”. Asas ini merupakan sekularisme ala prancis yang memiliki moto tritunggal, yakni kebebasan, keseteraan dan persaudaraan.

Senada dengan hal itu, Duta Besar Prancis untuk Indonesia, Olivier Chambard dalam artikelnya di Koran Republika, Sabtu, 31 Oktober 2020, mengatakan bahwa pernyataan Macron bukan termasuk dalam kategori ujaran kebencian. Ia meneguhkan akan pentingnya “laïcité, sebagai perekat Republik Prancis yang merupakan landasan kebebasan beragama.

Akan tetapi, jika kita tinjau dari prespektif berbeda, Chambard mungkin lupa bahwa yang menjadi kecaman umat Islam di seluruh dunia adalah kebebasan berekspresi di Prancis yang melampaui kebebasan etis dan bahkan mendiskreditkan salah satu agama.

Kendatipun demikian, pernyataan Macron tidaklah sepenuhnya bisa disalahkan, jika pernyataannya menginduk pada konsep sekulerisme ala Prancis. Tentu, akan berbeda jika pernyataan Macron ditinjau dari sekularisme ala Indonesia.

Yang menjadi pertanyaan, bagaimana sekularisme ala Indonesia?

Sekularisme dapat dipahami sebagai diferensiasi. Yakni, upaya pembeda antara ranah publik dan privat, negara dan agama. Inilah pengertian yang lebih tepat dan kontekstual dengan kondisi negara-bangsa kita sekarang, terutama Indonesia. Harus ada pemilahan yang jelas antara ranah publik dan privat.

Demikian juga perumusan jelas tentang hubungan negara dan agama. Perlu sedikit dicermati bahwa istilah publik barangkali tidak selamanya identik dengan negara. Sedangkan konsep ’agama’, paling tidak dalam tradisi keislaman, harus dijernihkan apakah itu dalam pengertian ‘din’, ‘syari‘ah’, ‘fiqh’, dan atau dalam kaitannya dengan lembaga-lembaga keagamaan?

BACA JUGA  Radikalisme di Kalangan Mahasiswa, Seberapa Bahaya?

Banyak diketahui, ajaran Islam pada umumnya tertuju pada individu dan mengatur perilakunya dalam ranah privat, namun ada ajaran agama yang berasal dari wahyu Al-Qur’an maupun Hadits Nabi yang menjamah wilayah publik. Misalnya, Islam mengajarkan seperangkat nilai yang harus dijunjung tinggi oleh suatu pemerintahan, namun tidak ‘mewajibkan’ suatu bentuk pemerintahan tertentu. Para al-khulafa al-rasyidun (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) merupakan contoh bagaimana mereka masing-masing berijtihad dan berjihad menjalankan pemerintahan yang cukup beragam, namun tetap dipandu oleh nilai-nilai Islam yang universal.

Kembali lagi pada persoalan seseorang menertawakan atau membikin karikatur tentang keyakinan agama lain, atau tentang umat beragama lain, meminjam bahasanya Muhammad Ma’mun (2020), yang sering luput dari perhatian kita adalah bahwa sebelum menertawakan keyakinan ‘sang lian’, ia harus memahami dan menafsirkannya terlebih dahulu. Maka mau tidak mau, satire atau karikatur yang ia bikin lebih memantulkan kemampuannya dalam memahami ‘sang lian’, bukan ajaran atau keyakinan agama yang sedang ia tertawakan.

Misalnya, ketika seorang dai Muslim, menertawakan konsep Trinitas dalam agama Kristen dengan berseloroh, “Lalu Tuhan Anak itu bidan yang membantu melahirkan siapa?,” ia sebenarnya sedang menunjukkan kepada publik bahwa ia tak mampu memahami konsep Tuhan Anak dan Tuhan Bapa kecuali dalam pengertian biologis dan fisik.

Demikian pula, menurut Muhammad Ma’mun lagi, ketika para pembikin karikatur tentang Islam di Barat membikin gambar tentang pria berjubah dan bersorban yang dengan entengnya melemparkan bom ke kerumunan, atau menginjak perempuan berhijab, mereka juga sedang menunjukkan kepada para pembaca bahwa mereka sedang mengamini stereotipe lama tentang Islam di Barat: bahwa Islam itu agama kekerasan dan suka menindas kaum perempuan.

Dua pemahaman dan penafsiran terhadap ‘sang lian’ ini tampaknya lebih pantas untuk dikasihani daripada menjadi sasaran amarah dan caci-maki.

Pada titik ini, meminjam bahasanya Nur Ahmad Fadli Lubis (2011), sekularisme ala Indonesia, atau kebebasan seseorang harus dibatasi dan menghormati orang lain yang juga memiliki kebebasan. Dalam lingkup inter-relasi, apalagi dalam ranah publik, harus dibangun mekanisme dan prosedur yang demokratis dan berkeadilan, sehingga tercipta kehidupan bersama yang adil, toleran dan sejahtera buat semua.

Akhirnya, sekularisme ala Indonesia adalah harus menciptakan sikap menghargai perbedaan yang ada, dan tidak memaksakan nilai dan norma pribadi dan kelompok kepada pribadi dan kelompok lain.

Saiful Bari
Saiful Bari
Alumnus Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Juga, pernah nyantri di Ponpes Al-falah Silo, Jember. Kini menjadi Redaktur Majalah Silapedia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru