33.2 C
Jakarta

Sekolah Sebagai Sarana Cuci Otak

Artikel Trending

KhazanahTelaahSekolah Sebagai Sarana Cuci Otak
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sekolah, kampus, madrasah atau apapun nama lembaga pendidikan bisa dijadikan sebagai medium penyebaran virus-virus kebaikan tetapi juga bisa sebaliknya: sarana untuk menyebarkan virus-virus kejahatan.

Arab Saudi bisa dijadikan contoh untuk masyarakat Indonesia yang sebagian dari mereka sedang “gandrung” dengan konservatisme Islam. Meskipun pendidkan informal sudah berlangsung lama di Makkah atau Madinah, pendirian lembaga pendidikan formal yang diprakarsai oleh pemerintah Saudi adalah sesuatu yang baru. Universitas pertama (King Saud University) baru berdiri pada akhir 1950an. Itupun masih ala kadarnya.

Sebelum masuknya gelombang migran aktivis militan Islamis Ikhwanul Muslimin (IM) dari Mesir dan Suriah, desain pendidikan formal masih sangat sederhana, selain masih terbuka dan toleran dengan aneka ragam pendapat dan mazhab pemikiran. Kurikulum sekolah masih belum jelas bentuknya. Buku ajar belum tersedia. Sistem belajar-mengajar juga masih sederhana. Guru apalagi dosen juga belum banyak.

Kudeta Mesir oleh Gamal Abdel Nasser yang dikenal sebagai pendukung ideologi sekularisme, sosialisme, Marxisme, pan-Arabisme, dan republikanisme yang anti-monarki pada awal 1950an diapndang sebagai ancaman besar bagi Arab Saudi. Nasser memang anti-Saudi dan beberapa kali mendalangi kudeta serta mensponsori perang dan kekerasan di teritori Arab Saudi. Tapi selau gagal.

Selain anti-Saudi, Nasser juga anti-IM. Alasannya jelas: IM anti “negara sekuler” yang ia prakarsai. Antipati Nasser terhadap IM memuncak setelah adanya upaya pembunuhan terhadap dirinya yang dilakukan oleh aktivis IM. Sejak itu, Nasser memburu para pentolan dan aktivis IM yang membuat mereka bubar tangkar.

Pada saat yang hampir bersamaan, partai sekuler-nasionalis Suriah, Baath, yang didirikan oleh trio Michel Aflaq (Kristen), Salahudin al-Bittar (Sunni) dan Zaki al-Arsuzi (Alawi) juga berhasil menguasai Suriah. Sama seperti di Mesir, Partai Baath juga anti IM yang juga membuat para aktivisnya bubar tangkar.

Arab Saudi membaca situasi dinamika politik yang berkembang di negara-negara tetangga. Maka pemerintah Saudi waktu itu, khususnya sejak Raja Faisal, membuka kebijakan menampung para pimpinan, anggota, dan aktivis IM yang menderita di Mesir dan Suriah. Tujuannya, antara lain, menggalang benteng kekuatan guna menghadapi serbuan Nasser. Di antara pentolan IM yang kabur dan ditampung Arab Saudi adalah Muhammad Surur (Suriah) dan Muhammad Qutub (Mesir, adik dari Sayyid Qutub yang banyak dipuja-puji oleh kelompok radikal Islamis). Keduanya merupakan salah satu otak dan ideolog papan atas IM.

BACA JUGA  Nasib Anak Teroris, Hidup di Antara Harapan dan Trauma

Lalu “diapakan” mereka oleh pemerintah Saudi? Karena banyak dari mereka yang berprofesi sebagai klerik dan guru, mereka dipekerjakan di lembaga-lembaga pendidikan dan masjid-masjid: guru sekolah, juru dakwah, guru ngaji, dlsb. Puncaknya kelak di zaman Raja Khalid (sejak medio 1970an) yang dikenal pro-kelompok konservatif dan Islamis, peranan IM mulai berkibar-kibar karena ia memberi peluang lebar pada mereka untuk mengurusi dunia pendidikan dan keagamaan di Arab Saudi.

Setelah bertahun-tahun “mencuci otak” lewat masjid dan sekolah, IM berhasil mencetak generasi hybrid di Saudi yang bernama Sahwa, yaitu kelompok campuran Wahabi dan IM yang juga disebut “Wahabi Qutubis” yang berhaluan keras, konservatif, militan, intoleran, anti-non-Muslim, anti-Barat, anti-sekularisme, anti-modernitas, dan setengah ideologis.

Kelompok inilah yang kemudian mengubah wajah dunia pendidikan dan keagamaan Arab Saudi. Mereka menyusun kurikulum dan buku ajar sekolah yang serba anti: anti-Syiah, anti-Sufi, anti-non-Muslim, anti-Barat, anti-bid’ah, dan anti-anti yang lain. Mereka pula yang menasionalisasi dan mewajibkan pakaian abaya hitam dan cadar bagi perempuan. Mereka pula yang mengatur pemisahan laki-perempuan. Mereka pula yang memperluas wewenang polisi syariat hingga nyaris menjadi “satpam” Tuhan.

Selama puluhan tahun murid-murid Arab Saudi dicekoki oleh ajaran yang “serba anti” tadi, maka tak heran jika mereka tumbuh menjadi generasi intoleran. Sejak Raja Abdullah yang dikenal moderat berkuasa, tahun 2005, pelan-pelan sistem dan kurikulum pendidikan diubah dan ditata lagi. Konten buku ajar diperbaiki. Para ulama moderat mulai diberi panggung. Tokoh-tokoh Syiah yang pro-Saudi diakomodasi.

Raja Salman melanjutkan upaya reformasi pendidikan dan keagamaan yang ditancapkan oleh kakaknya. Kini, wajah pendidikan dan keagamaan sudah tidak seperti dulu lagi. Masjid dan sekolah tidak lagi dijadikan sebagai ajang propaganda ideologi, dakwah intoleransi dan cuci otak para generasi bangsa karena para guru, khatib, dan pendakwah garis keras sudah dipreteli.

Jika Saudi sudah jengah dengan militansi & konservatisme, di ujung dunia antah berantah bernama “Endonesah” justru sedang “berbulan madu” dengan kelompok konservatif-militan yang menyusup di sekolah-sekolah dan lembaga keagamaan. Waspadalah dengan merekah sebelum kaliyen menyesal di akhirat nanti. Maaf sekedar mengingatkan sebagai sesama hamba Allah. Semoga kaliyen mendapat hidayah dan hidayat.

Prof. DR. Sumanto Al Qurtubi, Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals (Arab Saudi)

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru