30.1 C
Jakarta

Sekolah Harus Tangkal Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifSekolah Harus Tangkal Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Peristiwa penusukan terhadap mantan Menko polhukam, Wiranto telah membuka mata kita semua. Betapa upaya memberantas radikalisme masih terkesan belum optimal. Sebagaimana faktanya, bahwa pelaku penusukan tersebut berinisial SA. Dalam hasil laporan itu, pelakunya terpapar jaringan ideologi ISIS. Inisial SA inilah yang terjaring kelompok paham radikalisme.

Artinya, kasus ini hanyalah puncak gunung es dari kasus-kasus yang muncul ke permukaan, dan buah dari menguatnya paham radikalisme di Indonesia. Secara umum, kelompok-kelompok radikal kerap memainkan isu agama, untuk menebar kebencian, dan membuat masyarakat ketakutan. Selain itu, radikalisme yang menampilkan wajah kekerasan tentu memicu korban yang tidak berdosa.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, membangun sebuah bangsa  Indonesia yang anti kekerasan dan radikalisme itu sangat penting. Karena selama ini, paham radikalisme yang tersebar hanyalah menjadi batu sandungan. Sebab kemunculannya akan kontraproduktif dengan pembangunan yang memerlukan kondisi aman, damai, dan saling menghargai antara satu dengan yang lain.

Radikalisme Di Lembaga Pendidikan

Tidak dimungkiri sebagian pemeluk agama di Indonesia telah terpapar radikalisme. Tidak tanggung-tanggung, pemahaman ini telah merambah ke lingkungan sosial pendidikan. Asumsi ini bukannya tanpa data. Beberapa laporan penelitian menunjukkan kecenderungan tersebut. Laporan penelitian tim IPSK LIPI di sembilan provinsi yaitu Aceh, Sumatera Utara, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Yang dirilis 4 Desember 2018 menunjukkan trend menguatnya radikalisme, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Hal ini cukup mengejutkan adalah temuan penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah tentang radikalisme di sekolah. Penelitian PPIM UIN Syarif Hidayatullah ini mensurvei 2.237 guru agama di Indonesia, terdiri dari guru TK/ Raudhatul Athfal, SMP, MTs., SMA dan MA. Penelitian dilakukan 6 Agustus – 6 September 2018. Dalam konteks perguruan tinggi, Setara Institute menyebut 10 kampus terpapar.

Berdasarkan data riset tim IPSK LIPI, PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Setara Institute. Hasil penelitian ini bisa kita tafsirkan ada peluang radikalisme agama akan menguat pada lingkungan-lingkungan sosial pendidikan. Maka perhatian kita akan tertuju pada guru dan dosen, sehubungan dengan kontribusinya sebagai pendidik pada lingkungan sosial pendidikan tersebut.

Radikalisme agama bisa bertumbuh dan berkembang di lingkungan sosial pendidikan karena kontribusi guru dan dosen. Sebaliknya, guru dan dosen bisa berkontribusi untuk meminimalisir menguatnya paham tersebut. Hal ini karena radikalisme agama dibentuk melalui sebuah proses penanaman nilai-nilai (internalisasi nilai) pada peserta didik melalui pendidikan.

Pencegahan Paham Radikalisme

Inilah yang menjadi pemikiran mendasar tentang pentingnya penguatan peran pendidikan dalam pencegahan bertumbuh dan berkembang suburnya radikalisme agama. Untuk meminimalisir perkembangan radikalisme agama di Indonesia ini tidak cukup dengan tembak mati, penjara seumur hidup, hukum gantung, dan semacamnya. Tetapi juga harus melalui soft approach yang salah satunya dengan cara menggandeng kemitraan dengan pihak sekolah dan perguruan tinggi.

BACA JUGA  Neo-HTI: Spirit Propaganda Khilafah yang Mesti Dilawan

Sekolah sesungguhnya bisa berkontribusi mematikan sel radikalisme sejak dini. Pertama, pengaruh keutamaan nilai-nilai kebangsaan melalui pendidikan nilai. Yakni penanaman dan pengembangan nilai-nilai kebangsaan pada diri peserta didik agar menjadi bagian integral dari keseluruhan hidupnya. Untuk hal ini, saya mendorong gagasan Kemendikbud yang ingin mengembalikan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) ke dalam kurikulum sekolah hingga perguruan tinggi.

PMP nantinya dimulai dengan penanaman nilai, selanjutnya menjadi etika dan kemudian diturunkan lagi sebagai norma. Sehingga diharapkan menjadi perilaku keseharian. Yang terpenting adalah perlu ing ngarsa sung tuladha. Artinya, guru ataupun dosen dalam kesehariannya bisa dijadikan contoh bagi siswa bagaimana menjadi seorang warga negara yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

Kedua, penanaman nilai-nilai agama yang inklusif. Dalam hal ini, guru agama menjadi perantara dalam mewujudkan pemahaman agama yang universal. Tujuannya agar peserta didik dapat memandang setiap agama adalah baik. Dan tidak mudah terjerumus pada sikap fanatisme sempit. Sebab guru agama menjadi ujung tombak dalam memberikan pemahaman. Pun juga menjadi contoh nyata dari sikap dan tingkah laku yang bertoleransi agama. Sehingga, bisa menjadi panutan dan teladan bagi peserta didik khususnya dan warga sekolah lainnya.

Ketiga, kebijakan sekolah yang memfasilitasi pendidikan agama bagi semua pemeluk agama yang bersekolah di sekolah tersebut. Disepakati sekolah “milik bersama”. Artinya, sekolah harus melayani bukan hanya kelompok agama mayoritas saja, tetapi juga kelompok agama minoritas. Misalnya, dalam berdo’a sebelum dan sesudah pelajaran, perayaan hari besar keagamaan, dan sebagainya.

Keempat, organisasi siswa di sekolah memiliki peranan penting dalam pelembagaan sikap toleransi dan antiradikal. Orgasisasi tersebut hendaknya memiliki anggota yang mewakili berbagai latar agama, suku dan etnik yang ada di sekolah tersebut. Lalu, bentuk kegiatan yang dirancang hendaknya bagian dari pengembangan nilai toleransi. Misalnya, kegiatan seni budaya yang mencirikan berbagai budaya di Indonesia, maupun menyelenggarakan dialog antarumat beragama di kalangan peserta didik. Ini akan menumbuhkan pola pikir terbuka, saling pengertian, saling menghargai, dan membiasakan setiap permasalahan diselesaikan secara musyawarah mufakat.

Dengan demikian, rangkaian upaya tersebut harapannya dapat melenyapkan sel-sel radikalisme sejak dini. Sehingga dunia pendidikan kita mampu menghasilkan manusia-manusia yang mendasarkan hidup atas keagungan nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan, dan keagamaan. Semoga ini bermanfaat!

Kurniawan Adi Santoso, S.Pd
Kurniawan Adi Santoso, S.Pd
Guru SDN Sidorejo Kec. Krian Kab. Sidoarjo

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru