28.4 C
Jakarta
Array

Sejarah Tahun Hijriyah dan Spirit Kesetaraan

Artikel Trending

Sejarah Tahun Hijriyah dan Spirit Kesetaraan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Saat ini, isu diskriminasi, rasisme, hingga penodaan agama kembali menyeruak ke publik. Kasus tindakan rasial dalam pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya yang berujung demo masyarakat Papua di berbagai tempat di Papua, hingga dilaporkannya seorang uztad ternama karena ceramahnya yang dinilai telah menodai simbol agama tertentu, adalah kasus-kasus yang bisa kita jadikan pelajaran untuk semakin menguatkan kesadaran akan pentingnya menjunjung tinggi prinsip kesetaraan dan saling menghormati antarsesama. Momentum datangnya tahun baru Hijriyah 1441 H bisa menjadi saat bagi kita untuk melakukan refleksi dan menumbuhkan semangat baru dalam membangun kehidupan bersama yang lebih harmonis dan saling menghormati.

Tahun baru Hijriyah pada dasarnya tak sekadar tentang momentum pergantian tahun bagi umat Islam. Sejarah tahun Hijriyah menyimpan pelajaran tentang perjalanan dakwah Nabi Muhammad Saw. yang di dalamnya memandarkan semangat dakwah yang ramah, damai, serta menjunjung tinggi persaudaraan dan kerukunan lintas suku dan agama demi menciptakan kehidupan yang beradab.

Di Balik Sejarah Tahun Hijriyah

Penetapan kalender Hijriyah dimulai sejak tahun pertama peristiwa Hijrah yang dilakukan Rasulullah Saw. bersama para sahabat. Seperti dilansir Republika.co.id (1/12/2017), sebelum kalender Hijriyah ditetapkan, masyarakat Arab biasanya menjadikan peristiwa-peristiwa besar sebagai acuan tahun. Seperti misalnya tahun fajar, saat terjadi perang fajar, tahun fiil (gajah) saat terjadi penyerbuan pasukan yang menunggangi gajah yang juga menjadi tahun kelahiran Nabi Muhammad Saw.

Namun, seiring wilayah negeri Islam yang semakin luas, timbul berbagai persoalan terkait sistem administrasi. Setiap daerah menandai urusan muamalah mereka dengan sistem kalender lokal, sehingga surat menyurat antar gubernur atau penguasa daerah dan pusat tak sinkron. Tumbuh kesadaran akan diibutuhkannya suatu acuan penanggalan yang bisa digunakan semua daerah. Maka, Umar bin Khattab mengumpulkan para sahabat untuk menetapkan suatu kalender bersama untuk seluruh umat Islam.

Saat itu, usul yang muncul dari para sahabat beragam. Ada yang usul kalender Islam mengikuti tahun Romawi. Ada yang berpendapat kalender Islam dimulai dari hari kelahiran Rasulullah Saw. Ada pula yang usul agar kalender Islam dimulai dari tahun wafatnya Rasulullah. Namun, setelah berbagai pertimbangan, akhirnya usul Ali bin Abi Thalib yang disetujui. Ali mengusulkan agar peristiwa Hijrah Nabi ke Madinah menjadi tahun pertama kalender Islam.

 

Penetapan tersebut dilandasi firman Allah SWT, ”Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya (QS. At-Taubah: 108). Para sahabat memahami makna “sejak hari pertama” dalam ayat tersebut adalah hari pertama kedatangan hijrahnya Nabi Saw.

Sekarang, kita menyadari keterpautan erat antara sejarah dimulainya kalender Hijriyah dengan peristiwa Hijrah Nabi ke Madinah pada tahun 622 Masehi. Hijrah atau migrasi yang dilakukan Nabi Saw dan pengikutnya dilakukan untuk menghindari tindakan kaum Quraisy yang kerap mengintimidasi, menghujat, bahkan melakukan kekerasan  terhadap Nabi Saw dan pengikutnya saat beliau berdakwah. Nabi Saw memutuskan berhijrah ke tempat yang lebih kondusif, yakni kota Yatsrib atau Madinah. Rasulullah Saw tiba di Yatsrib pada Jumat 12 Rabiul Awal.

Kesetaraan dan Persaudaraan

Saat itu, kota Yatsrib sebenarnya sedang dirundung konflik horizontal antarsuku. Di kota tersebut, terdapat suku-suku yang sebelumnya terlibat dalam peperangan selama bertahun-tahun, terutama suku Aus dan Khazraj. Ada juga masyarakat muslim, walau belum banyak. Selain itu, ada juga banyak orang Yahudi dari berbagai suku dengan kekuatan ekonomi serta persenjataan, bahkan benteng-benteng yang kokoh, untuk melindungi diri (Quraisy Shihab: 2018).

Melihat realitas masyarakat yang plural tersebut, Rasulullah Saw. menerbitkan Piagam Madinah, landasan legal-formal yang menjamin keadilan, hak hidup, bermasyarakat, dan beragama seluruh masyarakat Madinah.  Semua anggota kelompok diakui eksistensinya dan dilindungi hak-haknya.

Piagam Madinah

Selain memberi perlindungan lintas suku dan agama, Piagam Madinah menjadi konsensus bersama untuk membangun persaudaraan lintas suku dan agama dalam semangat kerja sama. Mengutip Edi Mulyono (2017: 133), di Pasal 37 dalam piagam tersebut disebutkan, “Bagi Kaum Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi kaum Muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan Muslim) bahu-membahu dalam menghadapi musuh piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat…. Pembelaaan diberikan kepada pihak yang teraniaya”.

Melalui kepemimpinan yang ditegakkan dengan landasan tersebut, Nabi Swt dengan gemilang berhasil membangun kehidupan berperadaban di Yatsrib. Kehidupan yang dilandasi kesepakatan tersebut melahirkan kerukunan, kerja sama, dan aneka aktivitas yang menyejahterakan masyarakat. Dalam perkembangannya, Yatsrib kemudian disebut sebagai Madinah, yang mencerminkan pijar kehidupan masyarakat yang berperadaban (masyarakat madani).

Pendekatan Rasulullah Saw. yang menjunjung tinggi persaudaraan tersebut menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Di tengah menguatnya isu diskriminasi, intoleransi, rasialisme, apa yang ditunjukkan Nabi Saw. menjadi teladan berharga bagi kita untuk lebih meningkatkan sikap-sikap saling menghargai dalam semangat persaudaraan. Menghadapi sikap buruk suku Quraisy di Makkah, Rasulullah Saw. tetap menunjukkan penghormatan terhadap suku yang menjadi garis keturunannya tersebut, tidak membenci, mendendam, apalagi melakukan kekerasan, dan lebih memilih berhijrah ke Madinah yang lebih kondusif.

Di Madinah, yang saat itu dilanda peperangan antarsuku bertahun-tahun, Rasulullah Saw. menggandeng semua kelompok masyarakat, suku, agama, membuat konsensus bersama untuk membangun kerukunan, kebersamaan, dan hidup saling menghargai.  Di sini, kita pun belajar, bahwa hanya dengan sikap saling menghargai dan menjunjung tinggi prinsip kesetaraan dan keadilan, kehidupan masyarakat yang beradab dan damai bisa terbangun. Sebaliknya, intoleransi, bahkan rasialisme dan kekerasan, hanya akan menimbulkan keresahan, pertengkaran, dan masyarakat yang sulit maju dan sejahtera.  Wallahu a’lam..

Al Mahfud
Al Mahfud
Penikmat buku, penulis lepas, Aktif menulis topik-topik radikalisme-terorisme, Alumni IAIN Kudus.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru