30.1 C
Jakarta

Sejarah ISIS: Ideologi dan Mazhab Harakahnya (Bagian II)

Artikel Trending

KhazanahTelaahSejarah ISIS: Ideologi dan Mazhab Harakahnya (Bagian II)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Mengapa ISIS selalu dikambinghitamkan dari kasus terorisme? Coba, apa yang salah dari ISIS? Pertanyaan ini selalu mampu menghipnotis jamak masyarakat yang menganggap ISIS sebagai klan politik yang ‘salah’ dan cenderung mereputasi sakralitas Islam.

Para pengasong ideologi ISIS sejauh ini selalu dan senantiasa akan terus mengamankan dirinya di bawah payung besar agama, Islam. Negara dan sistem pemerintahan Islam yang dijajah oleh mereka, seakan menggaransi segala bentuk gerakan dan perlawanan yang mereka lakukan, termasuk di dalamnya adalah perihal terorisme dan radikalisme.

Sejauh ini, penulis masih terus berusaha menerima keberadaan ISIS serta mengamini ‘harakah’ mereka. Secara naluri, penulis juga berempati dengan segala bentuk usaha ISIS cs dalam mewujudkan negara Islam. Namun, oleh karena landasan ideologi dan pemahaman keislaman mereka yang tak sama sekali penulis temui kebenarannya. Maka sejauh itu pula penulis terus menyangsikan ‘wujud’ ISIS itu sendiri.

Sebelum ‘mengadili’ posisi ISIS, uraian tentang ideologi dan geneologi gerakan  ISIS tak berlebihan jika dengan sangat mendasar sekali ditelaah lebih seksama. Tak dapat dipungkiri, fakta sejarah menunjukkan dengan jelas bahwa gerakan ISIS sejauh ini terus menuai counter narasi dari klan dan negara mayoritas Islam di berbagai belahan dunia. Tragedi pembantaian umat Islam yang tak seakidah dengan mereka, menunjukkan fatalitas pemahaman keagamaan mereka.

Geneologi Ideologi ISIS

Secara geneologi ideologis, ISIS adalah anak kandung wahabisme. Dalam Da‘ish min al-Najdi ila al-Baghdadi, Fu‘ad Ibrahim mendefinisikan ISIS sebagai Salafi-Wahabi (Sawa) yang berhaluan jihadis. Dalam ideologi ISIS, sebagaimana diterangkan Fu‘ad, dituliskan ISIS mengimani ‘jihad’ sebagai bagian dari syarat dan rukun agama.

Maka selain mengerjakan ‘syariat’ Islam, umat muslim berwajib untuk jihad dalam mengupayakan tegaknya negara Islam. Parahnya, ISIS juga mengajarkan bahwa negara yang tak menjadikan al-Qur’an dan Hadis sebagai hukum formal, negara itu dianggap sebagai thaghut.

Demikian devinisi yang disampaikan oleh Fu‘ad Ibrahim dapat dibenarkan bila melihat sejarah dan ideologi Wahabi secara utuh. Wahabi adalah salah satu sekte Islam yang gemar menuduh kafir, menyimpang, sesat, bidah, musyrik, dan kafir pada seluruh sekte Islam lain, di luar aliran mereka.

Bagi wahabisme, umat Islam tidaklah cukup hanya menjalankan ajaran Islam secara benar saja. Akan tetapi umat Islam memiliki kewajiban untuk menyalahkan kelompok lain; yakni kelompok orang-orang yang tidak se-“benar” mereka.

Wahabi menganggap “kemunduran” peradaban Islam tak lebih tersebabkan candu agama yang berlebihan dalam diri umat Islam serta pengaruh mistisisme yang sangat kuat, hingga dua hal ini membentuk masyarakat Islam yang hanya memperaktikkan keberislaman mereka dengan mengultuskan simbol-simbol agama.

Termasuk, menurut mereka, pengaruh candu agama yang berlebihan adalah sikap mengada-ada dalam prihal praktek keberagamaan. Sederhananya, umat Islam telah tercampuri dengan perihal lain di luar agama yang sebab ‘candu’, hal lain itu dianggap bagian dari agama.

Ijtihad wahabisme memutuskan bahwa untuk mengembalikan keemasan peradaban Islam, satu cara yang mesti dilakaukan adalah pemurnian agama, purifikasi serta mengembalikan umat Islam pada al-Qur’an dan hadis.

Maka sebagai bias politis ideologi ini pada step selanjutnya adalah menjadikan  al-Qur’an dan hadis sebagai satu-satunya hukum final dalam segala hal, termasuk dalam hukum formal suatu negara. Konsep inilah yang selanjutnya menurunkan kata thaghut, negara kafir, dan konsep “masyarakat jahiliyah” dalam ajaran ISIS.

BACA JUGA  Melihat Potensi Perpecahan Pasca Pemilu

Wahabisme sebagai Basis Ideologis

Ajaran wahabisme ini nampaknya telah berhasil melahirkan gerakan perlawanan yang selanjutnya dikembangkan oleh ISIS. Najih Arromadlani dalam Daulah Islamiyah dalam Al-Qur’an dan Hadis menegaskan bahwa pola ajaran purifikasi yang digaungkan kelompok wahabi maupun ISIS, menghantam telak otak sehat.

Oleh ISIS, agama tidak lagi dijadikan pemandu manusia menuju kebenaran, melainkan sebagai alat untuk menyulut permusuhan dan kehancuran. Ajaran wahabi dan salafi tidak lebih dari sekadar bahasa politik yang digunakan untuk memobilisasi umat untuk mendukung obsesi penegakan negara Islam.

Maka kasus ekspansi dan sekaligus perampasan Suriah yang dilakukan Al-Baghdadi di perbatasan Provinsi Hasaka serta agresi Jabhat al-Nusra di bawah dikomando Abu Mohammed al-Jolani pada 2013 yang berhasil meringkus seluruh Suriah dan Raqqa adalah adalah bentuk konkret dari keberhasilan doktrin wahabisme mengampanyekan Daulah Islamiyah itu sendiri.

Kasus serupa sejak 2014 pembantaian warga Palestina oleh Isreal hingga blokade berbagai masjid di kawasan Timur Tengah juga merupakan bias dari doktrin mereka yang berambisi untuk menegakkan negara Islam.

Gerakan ISIS yang dengan sporadis memporak-poranda kawasan arab, bila ditarik mundur, embrio ideologi ‘harakah’-nya ditemukan dalam al-Difa’ ‘an Aradi al-Muslimina Ahammu Furud al-‘Uyun yang ditulis Abdullah Azzam pada 1984.  Azzam menjelaskan bahwa umat Islam di dunia memiliki dua jenis kewajiban yang dengan kohesif keduanya mesti dituanikan: kewajiban pribadi dan kewajiban komunal.

Pemuka dan Mazhab Harakah ISIS

Sebagai pribadi Muslim, ia umat Islam berwajib untuk mengingkari sistem “thaghut”. Dan dalam jumlah yang lebih banyak, umat Islam berwajib untuk mengusir penjajah dari tanah suci. Dari itu, umat Islam wajib berjuang dalam satu kekuatan ‘mujahidin’.

Ajaran ini menjadi dogma yang diimani oleh pengasong khilafah, terutama ISIS. Maka tak ayal jika Abu Bakar al-Baghdadi bersama al-Jolani setelah berhasil menguasai Suriah, pada 8 April 2013, keduanya mendeklarasikan kesatuan gerakan jihadis lintas regional yang pada saat itu dimotori oleh ISI dan al-Nusra. Kolaborasi kekuatan dua tokoh inilah yang selanjutnya mampu memprofokasi umat muslim untuk Daulah Islamiyah yang disebut dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

Sebagaimana mazhab jihadis yang telah banyak memakan korban, ISIS juga memliki mazhab takfiri yang setingkat lebih frontal dari Abdullah Azzam. Mazhab ISIS yang dicetuskan Ayman al-Zawahiri ini mengajarkan pengkafiran secara total kepada setiap siapapun yang tak seakidah, seharakah dengan pihaknya.

Maka ia mudah mengkafirkan sesama Muslim dengan tuduhan bid’ah dan sesat. Dan hukuman yang setimpal untuk para kafir adalah hukuman mati. Mazhab ini berkembang pesat di Kairo. Maka bagi al-Zawahiri, demi mendirikan negara teokrasi Islam di Kairo, Anwar Sadat, presiden Mesir mesti harus digulingkan, dibunuh.

Pemuka mazhab ISIS lain adalah Abu Muhammad al-Maqdisi yang dikenal dengan sebutan Isam al-Barqawy. Ia adalah murid Muhammad Surur Zainal Abidin, seorang tokoh pendiri faksi Salafi Sururi. Mazhab ISIS yang disumbangkan Al-Maqdisi kepada penerusnya berupa mazhab sentimen, anti-Barat.

Buku al-Maqdisi yang  berjudul Democracy: A Religion mengajarkan dikotomi antara ekonomi dan politik, antara thaghut (kafir) dan hukum ilahi (syariat). Mazhab ini berkembang pesat di Yordania. Sehingga dapat dicerna karakter ideologi radikalis Salafi di Kairo sangat anti barat berama antek-anteknya, teruma Amerika Serikat dan NATO.

Ahmad Fairozi
Ahmad Fairozihttps://www.penasantri.id/
Mahasiswa UNUSIA Jakarta, Alumni PP. Annuqayah daerah Lubangsa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru