28 C
Jakarta

Secarik Kertas (Bagian V)

Artikel Trending

KhazanahOpiniSecarik Kertas (Bagian V)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Mengintip Senja Berdua – Sayup-sayup zikir menjelang shalat jama’ah Maghrib menghias bilik-bilik pesantren. Suaranya syahdu. Menggetarkan jiwa sujud di hadapan-Nya. Para santri putri tampak berkilau dengan mukenah putih yang sedang dikenakannya. Paras wajahnya ayu mampu menyejukkan mata memandangnya. Para santri bergegas menuju masjid, sementara beberapa pengurus bertugas mengontrol masing-masing bilik untuk memastikan apakah masih ada santri yang berselonjoran di sana.

Beberapa menit zikir dilantunkan, bunyi bel sontak berdering. Isyarat Nyi Nuh sedang menuju ke masjid untuk mengimami shalat jama’ah. Para santri yang mulai tadi duduk dan menunggu di dalam masjid seketika berdiri sambil menundukkan pandangan sebagai bentuk penghormatan kepada pengasuh pesantren. Suasana seketika sunyi. Nyi Nuh melangkah satu demi satu dan berdiri di mihrab.

Santri berebutan berdiri di shaf atau barisan pertama, lebih-lebih posisi pas di belakang Nyi Nuh. Para santri meyakini bahwa berdiri di shaf pertama akan mendapat keutamaan shalat berjamaah. Apalagi berdiri di belakang Nyi Nuh rasanya punya kelebihan tersendiri. Berdiri di belakang pengasuh semakin menambah kekhusukan, bahkan akan mendapatkan bonus barakah yang melimpah.

Takbir dimulai. Nyi Nuh membacakan surah al-Fatihah kemudian dilanjutkan dengan bacaan surah pendek. Bacaannya bagus ditambah lagu bacaan Al-Qur’an yang enak didengar. Kesempurnaan shalat jama’ah semakin berkesan di hati.

Diva berdiri pada shaf pertama, tapi tidak pas di belakang Nyi Nuh. Nadia merebut posisi itu. Anehnya, Diva merasakan sesuatu yang berbeda dalam shalat jama’ah kali ini. Tidak ada kekhusukan yang dirasakannya. Bayang-bayang Fairuz terbersit di pikirannya, padahal mereka belum pernah bertemu. Pesan yang tersurat dalam puisi Fairuz menyusup ke alam bawah sadar. Terngiang tiada henti.

Imam rukuk dan sujud, Diva baru sadar kalo bacaan al-Fatihahnya lupa. Diva membatin dalam keadaan sujud.

Tuhan, ampuni hamba-Mu jika sudah menduakan-Mu dengan yang lain. Tiada maksud menggantikan cintai-Mu dengan yang lain. Kasih sayang-Mu begitu berharga untuk didustakan. Kali ini Diva merasakan sesuatu yang berbeda. Hati ini mulai merasakan cinta-Mu dengan kehadiran sosok lelaki bernama Fairuz.

Setelah selesai shalat, zikir dibaca bersama. Nyi Nuh membaca zikir versi Annuqayah sembari para santri mengikuti dan dilanjutkan dengan doa.

* * *

“Buat siapa, Div?” tanya Adel sembari Diva melipat kertas dengan secarik tulisan yang tak sempat Adel baca.

“Buat Fairuz.” Diva menjawab singkat.

“Fairuz! Punulis itu?!” mata Adel terbelalak. Kaget.

Diva tidak mengubris.

“Fairuz itu santri putra, Div. Ngirim surat ke santri putra biasanya ditanyakan dan diperiksa isi suratnya oleh pengurus keamanan.” Adel berkata serius.

“Ini bukan surat cinta.”

“Tapi?”

“Aku mau kenal aja. Hmm siapa tau dengan persahabatan yang baik aku bisa belajar menulis.”

Adel tidak menghalangi niat baik ini.

Mereka berdua menuju pos pengiriman surat tak jauh dari bilik mereka. Beberapa pengurus keamanan duduk sambil melayani Diva. Surat yang dilipat dengan rapi, seketika dibuka dan dibaca oleh seorang pengurus. Dag-dig-dug. Hati Diva berdetak kencang. Takut surat itu dipermasalahkan. Biasanya surat yang bermasalah bergenre percintaan, karena pesantren melarang betul terjalin percintaan antar santri putra dan putri.

BACA JUGA  Memahami Toleransi Beragama dalam Kerangka Filsafat Politik Abad Pertengahan

“Oke,” kata pengurus tadi. Artinya, surat itu tidak dipermasalahkan.

Diva berharap surat itu menjadi awal yang baik untuk perkenalan ini.  Adel yang menemani Diva gemetaran tidak kepalang melihat raut muka pengurus keamaan yang sedikit cuek dan sangar. Mereka kemudian kembali ke bilik masing-masing.

Di beranda kamar Nadia duduk menunggu Diva. Tanpa Nadia bertanya, Adel langsung menceritakan Diva mulai pedekate sama santri putra.

“Fitnah, Kak.” Diva menyangkal.

“Udah-udah. Kak Nadia punya buku novel terbaru karya Dee Lestari.”

Sebuah novel berjudul Supernova: Intelegensi Embun Pagi adalah novel penutup buku Supernova yang ditulis Dee Lestari selama lima belas tahun. Dee menghadirkan novel itu begitu fantastik. Alurnya sulit ditebak, sehingga pembaca dibuat bertanya-tanya setiap halaman demi halaman yang dibaca. Terhidang cerita percintaan, pencarian masa depan, motivasi hidup.

“Adel pinjam, Kak.”

“Adel udah baca seri pertama sampai lima? Buku Intelegensi Embun Pagi ini seri keenam.”

“Pernah Adel baca seri pertama saja. Sulit banget memahaminya.”

“Begitulah novel Dee Lestari.”

“Adel baca dulu seri-seri itu. Baru baca seri keenamnya.”

“Benar.” Nadia membenarkan.

“Diva punya rencana membangun komunitas menulis. Nanti Kak Nadia ngisi tentang kepenulisan.” Diva mengalihkan pembicaraan.

Adel dan Nadia mengangguk. Nadia juga penulis hebat. Bedanya dengan Fairuz, Nadia gemar nulis cerpen. Beberapa karyanya pernah dimuat di majalah pesantren Mu’jizat. Di samping menulis cerpen, Nadia suka nulis opini dan resensi buku. Tidak heran jika setiap waktu tidak lepas dari buku.

Adel gemar juga menulis. Tapi, sebagai santri baru bakat Adel belum kelihatan di mata santri. Sebelum belajar di pesantren Adel pernah meraih runner up kepenulisan cerpen nasional tingkat siswa. Prestasi yang diraih Adel mengharumkan nama sekolahnya. Kepala sekolah memberikan penghargaan berupa uang senilai sepuluh juta dan beasiswa kuliah.

Banyak koleksi bacaan Adel yang pernah diceritakan kepada Diva. Antara lain, Negeri 5 Menara-nya A. Fuadi, Ayat-ayat Cinta-nya Habiburrahman El Shirazy, Anggukan Ritmis Kaki Pak Kyai-nya Emha Ainun Najib, dan beberapa buku yang lain. Buku berat semacam itu sudah menjadi makanan Adel setiap hari, kendati pun dulu Adel masih SMP.

Diva baru mengenal dunia tulis-menulis di pesantren. Sebelum mondok Diva hanya belajar membaca kitab turast seperti Mant Jurmiyyah, Maraqi al-Ubudiyyah, Kifayah al-Akhyar, dan Tafsir Jalalain. Dunia kepenulisan adalah dunia yang baru dikenal Diva. Diva baru menyadari pesan Imam Ghazali: Kalau kamu bukan anak raja dan kamu bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis. Pesan ini semakin kuat mencambuk semangat Diva untuk menjadi penulis hebat.

Pertemuan itu berakhir. Diva, Adel, dan Nadia kembali ke bilik masing-masing membawa berjuta impian.[] Shallallah ala Muhammad.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru