28.2 C
Jakarta

Sebaiknya Kita Malu untuk Bersikap Radikal

Artikel Trending

KhazanahOpiniSebaiknya Kita Malu untuk Bersikap Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Awal tahun selalu bersama dengan harapan-harapan baru. Jika tahun-tahun kemarin isu-isu radikalisme, terorisme, intoleran masih hinggap dan menjangkiti sebagian orang di negeri ini. Harapan baru tahun ini adalah supaya hal-hal yang bersifat atau berdasar kebencian dan radikal itu tidak terulang lagi. Supaya kedamaian negeri ini dapat tercipta.

Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945 dibuat bukan untuk memecah belah negara. Ia ada dan diadakan untuk kedamaian dan kesejahteraan bangsa. Kita berbeda tetapi kita tetap satu Indonesia. Agama kita berbeda tetapi Tuhan kita tetap Tuhan yang Maha Esa.

Setahu saya masing-masing agama tidak mengajarkan kekerasan, kebencian terhadap sesama makhluk ciptaan-Nya. Jika anda islam, jadilah yang sejatinya Islam dengan rahmatan lil alaminnya. Jika anda Kristen jadilah Kristen dengan cinta kasihnya. Hingga ruang-ruang kebencian itu kiranya tidak mendapatkan ruang dalam dada kita dan negeri ini.

Agama bukan dalih untuk membenarkan ajaran radikalisme. Maka dari itu, berhentilah untuk menjadikan agama sebagai tunggangan atau pembenaran perilaku-perilaku radikal, baik itu individu atau secara kelompok.

Sebagai umat Islam misalnya, kita sebenarnya tidak kekurangan suri tauladan yang bisa kita anut dan pelajari. Contohnya sudah tertulis jelas, kisah-kisah para nabi yang kaya akan mengandung hikmah. Mulai dari bagaimana caranya beliau berdakwah, bagaimana cara beliau menyikapi segala sesuatu permalasahan dalam kehidupan.

Kita sering mengharap syafaat dan pengakuan sebagai umat Nabi Muhammad SAW, namun seringkali kita lupa atau mungkin enggan untuk mencontoh perilaku Nabi Muhammad. Misalnya jika anda seorang kiai, ustadz atau pendakwah, anda kiranya bisa mencontoh kesabaran Nabi Muhammad saat berdakwah. Dakwah yang penuh dengan sikap santun, dan kedamaian.

BACA JUGA  Menjaga Toleransi: Refleksi Keberagaman di Bulan Ramadan

Jika para Nabi mengajarkan demikian, lantas bagaimana dengan kita yang berdakwah dengan jalan kekerasan? Masih pantaskah untuk diakui umat beliau? Nah pertanyaan seperti itu, setidaknya perlu sejenak kita refleksikan ulang.

Selama ini mungkin kita sudah terlalu menggebu-nggebu menganggap bahwa kita adalah umat terbaik Nabi Muhammad. Hingga seolah menganggap umat yang lain lebih rendah dari kita. Padahal dasar pembenaran dalam pengakuan diri itu seringkali hanya sekadar sudah bisa mencontoh nabi, dari bagaimana ia berpakaian saja.

Mungkin ada yang mengklaim, bahwa ibadahnya juga sudah seperti apa yang dilakukan nabi. Namun yang lebih penting dari itu semua adalah sejauh mana kita bisa mencontoh perilaku Nabi Muhammad? Perilaku yang menghargai sesama, memupuk tingkat kesabaran dan mengubur sikap kebencian dalam-dalam.

Sudahlah dalam beragama sebisa mungkin kita tidak harus membuang-buang tenaga untuk mendeklarasikan diri sebagai seorang yang merasa kafah dibanding dengan umat lainnya. Apalagi dengan membenarkan jalan radikal yang berdasar tidak atas kemanusiaan itu.

Otoritas kita hanya pada mengupayakan untuk terus memantaskan diri supaya diakui umatnya dan mengharap syafaatnya di akhirat kelak.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru