31.2 C
Jakarta

Saya (bukan) Islam

Artikel Trending

KhazanahOpiniSaya (bukan) Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Setiap kali ada acara PHBI (Peringatan Hari Besar Islam), saya mendapati iklan warning untuk jua merayakan. Para santri yang menenteng kitab Sullam at-Taufiq, guru dengan buku pelajaran di lembaga formal, serta siswa-siswi dengan senyum sumringahnya saat bel istirahat berbunyi. Lalu semuanya ditutup dengan kalimat hubbul wathan pada hari besar Islam.

Saya tidak percaya semua umat Muslim di Indonesia riang gembira seperti yang saya lihat pada iklan waktu itu. Peperangan saat menyiarkan agama Islam mengorbankan beberapa jiwa meninggal bahkan seumuran dengan kita. Kisah ashabul ukhdud, raja yang dengan santainya menyaksikan penderitaan umat Muslim saat menjatuhkan diri ke lubang berkawah api besar bernama parit bahkan ada seorang Ibu dan Bayi di sana.

Kalau saja saya boleh memilih, barang kali saya akan menolak dilahirkan dan menjadi warga Muslim terlebih Muslim di Indonesia.

Tapi memang saya tidak bisa memilih untuk bisa dilahirkan di mana dan oleh siapa. Saya lahir dan besar di pulau Madura. Saya cukup beruntung lahir di pulau garam ini, yang pada masa konflik hanya mendengar dentuman bom dan genjatan senjata di bilik jendela kamar. Pada saat itu, saya masih kecil dan tidak tahu apa-apa. Masa kecil saya dipenuhi dengan suara bising para penjajah.

Di beberapa daerah banyak anak yang mengalami nasib lebih buruk dari saya, menyaksikan orang tuanya terbunuh di depan mata. Surabaya, menyandang predikat sebagai kota pahlawan karena pada 10 November 1945, arek-arek Suroboyo berhasil memenangkan peperangan dan membawa Islam kedigdayaan. Ya, banyak juga yang terbunuh.

Saya mengira, Islam adalah agama peperangan, tidak bisa secara halus menghadapi persoalan. Trauma untuk menjadi muslim yang sejati. Saya lebih sering merasa menjadi Madura daripada menjadi Islam. Saya tidak punya gambaran yang kuat tentang Islam kecuali masa kejayaan Muhammad Al-Fatih, Bani Abbasiah, Bani Umayyah, sang singa Umar bin Khattab.

Saya lebih sering bertanya-tanya pada diri-sendiri, apakah saya bisa mengembalikan kejayan Islam seperti sedia kala? Sebab, saat itu Madura cuma menjadi cerita dan deritanya orang-orang mati.

Ingatan saya yang lainnya tentang Islam adalah perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Saya diharuskan memakai baju koko, peci, dan sarung untuk menghormati beliau yang saya pun tidak tahu pasti tentangnya, hanya budaya turun-temurun di masyarakat. Anehnya, menghormati sesuatu yang maya. Saya seolah dikembalikan pada pelajaran sejarah yang membahas animisme, sebuah pujaan kepada roh atau leluhur yang mempunyai kekuatan.

Bagi saya, acara maulid Nabi Muhammad hanyalah kegiatan yang membosankan: duduk bersila sampai kaki merasa kesakitan dan kram. Melantunkan sholawat ya Nabi salam ‘alaika secara bersamaan sambil berdiri diiringi tabuhan hadrah. Lalu mengangkat kedua tangan sebagai upaya persembahan memohon syafaat Rasulullah SAW.

Sebagai umat Nabi Muhammad, saya diminta untuk memimpin sholawat pada acara haflatul imtihan. Saya langsung gelagapan sambil melirik paman yang berdiri di samping saya supaya bisa membantu apabila ada lirik yang belum terucapkan. Saya bersholawat secara tidak karuan, salah bahkan pada lirik pertama. Seharusnya ya Nabi salam ‘alaika terlebih dahulu malah ya Rasul salam ’alaika. Saya tidak disuruh lagi untuk memimpin, Muslim saya diragukan.

Pada suatu kesempatan, saya pun ragu akan kecintaan Islam dari beberapa teman yang seumuran. Ketika ditanya kenapa tidak mau memimpin sholawat jawaban yang sering terlontar adalah jangankan memimpin, nama sholawatnya saja tidak tahu. Rasa cintanya mereka ke Islam bukan pada senandung lagu yang dibawa Nabi atau Abu Nawas dengan syi’ir yang menyentuh hati. Mereka cinta pada Islam semata-mata karena mereka pun merasa Islam mencintai mereka.

BACA JUGA  Kebinekaan dan Langkah Mendesak Meredam Panasnya Konflik Elektoral

Sayangnya, Islam belum sepenuhnya mampu. Sebenarnya bukan Islam yang harus disalahkan, melainkan orang-orang di dalamnya. Bentuk kekecewaan saya pada umat muslim membuat saya sering kali terlibat dalam aksi menuntut pemenuhan hak-hak sebagai umat Islam, sambil bersorak “monyet” pada teman yang dari Papua.

Beberapa teman berkomentar, “kenapa kamu terus-terusan menghina orang yang beda suku dengan kita? Padahal dia sudah sepenuhnya menjadi Indonesia meskipun bukan Islam. Mengapa terus mencemooh? Sementara itu, apa yang sudah kalian perbuat untuk Islam dan Indonesia?”

Lantas saya harus bagaimana? Umat muslim yang saya lihat sejauh ini hanya mengedapankan ego masing-masing. Benar bagi dirinya dan salah bagi orang lain. Islam hanya menjadi ikon bahwa mereka telah beragama yang seperti yang dianjurkan pancasila poin pertama, “Ketuhanan yang Maha Esa”. Tidak Islam yang sebenarnya. Padahal Islam yang sebenarnya adalah membangun keharmonisan antar sesame, sikap toleran pada orang lain. Lalu mengapa saya harus bangga pada Islam?

Sia-sia mendeklarasikan syahadat tapi perilakunya bejat. Saya malu ketika menjadi Islam di Indonesia tidak bisa melafalkan pancasila dengan lantang ketika mengetahui setiap sila tidak lagi bermakna bagi mereka. Apakah ada Ketuhanan yang Maha Esa ketika sekelompok orang dari umat dilarang melakukan ibadahnya? Apakah ada Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia ketika laki-laki dan perempuan dituduh berkhalwat diadili secara massal, sementara orang-orang yang dengan terang mencuri uang Negara dibiarkan bebas tanpa peradilan?

Setiap tahun saya mendapati Perayaan Hari Besar Islam hanya berupa maulid Nabi, isra’ mi’raj, muharram, nihfu Sya’ban yang biasanya bersalaman kepada tetangga untuk meminta maaf takut pernah melakukan kesalahan. Sementara refleksi bagaiamana Islam yang sudah bertahan dengan susah payah menjadi rahasia umum yang tidak perlu dibuka.

Iklan-iklan di televisi cukup memberi gambaran betapa yang layak dibanggakan dan dicintai di Indonesia ini seakan-akan “keindahan aneka ragam budaya Indonesia”. Sikap nasionalisme dan keummatan hanyalah berupa kedok semata. Tidak bisa membawa ke jenjang makna yang sesungguhnya.

Maka dari itu, saya lebih mengatakan, saya Islam ketika menunaikan sholat fardlu dan saya bukan Islam ketika harus ada pelecehan atau pemberontakan. Saya Indonesia ketika bisa menjadi warga Negara yang demokrasi dan saya bukan Indonesia ketika harus dihadapkan dengan pencurian uang Negara bernama korupsi.

Jika tawaran-tawaran yang saya ajukan ini bisa menjadi hikmah akan saya Islam yang sebenarnya atau pun saya Indonesia yang sebenarnya, maka harmonisasi yang ada pada Islam itu sendiri tersalurkan. Seperti sikap toleran yang dianjurkan Nabi. Dampaknya menjadi warga Negara yang adil dan makmur. Sikap nasionalisme dan keummatan saya tidak perlu ditanyakan lagi.

Religiusitas bangsa Indonesia dimulai karena sejarah awal pembentukan Indonesia adalah dengan keberagaman. Banyaknya suku dan budaya. Islam juga begitu, tidak serta merta satu haluan saja. Bukan hal yang sia-sia lagi jika Islam sebagai sentrum pengharmonisasian terhadap sesama demi menuju bangsa yang bersatu, adil sosial serta makmur menjalani kehidupan.

Terakhir, Indonesia dengan Bhinneka tunggal Ika-nya dan Islam dengan sabda Nabi, “perbedaan yang ada pada ummatku adalah rahmat”.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru