26.7 C
Jakarta

Santri, Radikalisme Digital dan Dakwah Media Sosial

Artikel Trending

KhazanahSantri, Radikalisme Digital dan Dakwah Media Sosial
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional 2019, Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Direktorat Jenderal Pendidikan Indonesia membuka Call for Papers untuk Muktamar Pemikiran Santri Nusantara 2019 dengan mengusung tema “Santri Mendunia: Tradisi, Eksistensi, dan Perdamaian Global” yang bertempat di PP. Ash-Shiddiqiyah – Jakarta Barat pada tanggal 28-29 September 2019.

Sebanyak 126 santri dari berbagai pulau di nusantara diundang ke Jakarta untuk mengikuti agenda acara muktamar santri. Mereka adalah para santri yang lolos seleksi jurnal penelitiannya dari jumlah keseluruhan santri yang mendaftar, yaitu sebanyak 547 peserta.

Terdapat tujuh sub judul yang akan dieksplorasi dalam muktamar kali ini yakni Santri dan Wajah Ramah Pesantren di Dunia; Pedagogi Pesantren dan Perdamaian Dunia; Modalitas Pesantren dalam Mewujudkan Perdamaian Dunia (Pesantren’s Capitals in Promoting Peaceful); Pesantren dan Resolusi Konflik; Santri, Cyber War, dan soft Literacy; Akar Moderasi dan Perdamaian (as-Silm) dalam Tradisi Kitab Kuning; Kesusastraan dan Pesan Damai Pesantren.

Dari kesemua sub-tema tersebut, yang menajdi sorotan penting dalam muktamar pemikiran santri tahun ini adalah peran santri dalam perdamaian dunia. Dan apalagi punya hasrat dalam menanggulangi radikalisme agama.

Dalam laman web resmi milik Kemenag RI, menurut Direktur PD Pontren Ahmad Zayadi, tujuan muktamar ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat umum dan dunia bahwa pesantren dengan perangkat budaya dan tradisinya merupakan role mode guna menggagas perdamaian dunia.

Santri, dan Digitalisasi Dakwah Anti Radikalisme

Lalu, pertanyaannya adalah modalitas pesantren seperti apa dan bagaimana peran santri untuk ikut andil dalam mewujudkan perdamaian global, termasuk didalamnya tentang mengatasi gerakan radikalisme agama?

Pesantren merupakan topik paling dinamis dan aktual untuk dikaji di masa-masa mendatang. Dengan kepercayaan masyarakat yang melekat pada pesantren, tentu saja menuntut pesantren untuk mengembangkan tiga fungsi yang melekat padanya. Tiga fungsi tersebut adalah; pertama, sebagai media pengkaderan bagi pemikir-pemikir agama (centre of excellent). Kedua, sebagai lembaga yang mencetak Sumber Daya Manusia (SDM). Dan ketiga, sebagai lembaga yang melakukan pemberdayaan masyarakat. Selain itu, pesantren juga dipahami sebagai bagian yang terlibat aktif dalam proses perubahan sosial ditengah dinamika yang terjadi di Indonesia.

Sebagai institusi pendidikan yang sejak dulu telah mengemban tugas untuk mentransformasikan nilai-nilai agama Indonesia, dewasa ini mulai dirasakan ada pergeseran peran dan fungsi pesantren. Lebih-lebih terkait pemahaman agama yang semakin memudar. Salah satu penyebab hal ini terjadi karena tuntutan dan desakan gelombang globalisasi, modernisasi dan informasi yang berakibat pada berubahnya pola kehidupan masyarakat. Dimana kehidupan seolah bukan hanya di dunia nyata saja, kini juga terdapat dunia maya dengan sosial media sebagai basisnya.

Salah satu yang perlu disoroti dalam hal ini adalah belajar agama melalui internet. Tren seperti ini menunjukkan adanya tren positif sekaligus negatif. Maksudnya adalah kesadaran beragama masyarakat mulai meningkat, akan tetapi pada sisi negatifnya sikap eksklusif dan radikal juga tumbuh sumbur.

Berdasarkan penelitian The Wahid Institute terdapat 11 juta lebih masyarakat Indonesia yang bersedia melakukan tindakan radikal, 0,4 penduduk Indonesia pernah bertindak radikal. Sedangkan 7,7 persen mau bertindak kalau memungkinkan. Apa penyebabnya? Direktur The Wahid Institute, Yenni Wahid menyebutkan beberapa faktor diantaranya: kesenjangan ekonomi dan ceramah sarat kebencian.

BACA JUGA  Menghindari Tafsir Tekstual, Menyelamatkan Diri dari Radikalisme

Hal ini dikuatkan dengan pemaparaan Menteri Pertahanan, Ramizad Riyacudu, yang menemukan sebanyak 3 persen TNI terpapar radikalisme, 23,4 persen mahasiswa setuju dengan negara Indonesia/khilafah, lalu ada 23,4 persen pelajar SMA. Selanjutnya 19,4 persen PNS dan 19,2 persen pegawai BUMN tidak setuju dengan Pancasila. (Jawa Pos:2019).

Fenomena ini dipicu oleh media sosial : portal online, twitter, facebook, Instagram dan facebook yang dikuasai Indonesia puritan, semisal Ikhwanul Muslimin, salafi-wahabi, Hizbut Tahrir Indonesia, yang ajarannya cenderung radikal, anti Pancasila dan intoleran.

Dakwah mereka banyak digandrungi masyarakat karena dakwahnya yang inten, sistemik dan dikemas secara apik seperti short movie Indonesiai, baju dakwah, komunitas hijrah, hijrahest dan lain-lain.

Tak heran jika para ustaz medsos ini memiliki jutaan pengikat. Dengan demikian, muncullah mega bintang ustaz medsos, semacam Felix Siuw eks HTI dengan lebih dari 2,4 juta pengikut, Khalid Basamalah ustaz salafi-wahabi yang memiliki  962 ribu subscriber serta video yang telah ditonton ratusan juta kali, Yufid TV media televisi milik salfai-wahabi di subscrabe oleh 1,2 juta akun, belum lagi chanel milik artis yang “hijrah” ala salafi dan HTI yang memiliki jutaan pengikut dan menjadikan mereka sumber inspirasi.

Cyber War dan Soft Literacy

Sejak disahkannya Rancangan Undang-undang (RUU) tentang pesantren menjadi Undang-Undang (UU) oleh DPR pada selasa (24/09) lalu, keberadaan dan eksistensi pesantren semakin diakui oleh negara. Dampaknya, ijazah lulusan pesantren setara dengan ijazah lulusan sekolah formal. Tak hanya itu, aspirasi pesantren nantinya akan didengar oleh pemerintah dan pesantren akan mendapat bantuan dana dari pemerintah tidak hanya mendapatkan dana APBN dari kementerian agama, tetapi juga bakal mendapatkan dana dari APBD.

Menurut Ace Hasan Syadzily selaku wakil ketua komisi VIII DPR RI mengatakan, UU ini berdampak pada pengakuan negara terhadap pesantren. Selain itu, UU juga sebagai penegasan terhadap keberadaan pesantren sebagai lembaga mandiri dengan ciri khas institusi.

Lebih jauh lagi, sebenarnya eksistensi santri semakin diperhitungkan dalam mengatasi ancaman radikalisme. Gerakan radikal yang disebarkan oleh kelompok Indonesia sempalan di media sosial dapat diatasi dengan keilmuan santri didikan pesantren yang notabene lebih fokus dalam mendalami materi ilmu agama, karena para santrilah yang pada awalnya dikader menjadi ahli ilmu agama. Karena menurut kami, salah satu cara mematahkan doktri-doktrin radikalisme agama adalah memberikan pemahaman-pemahaman yang tepat soal Indonesia di media-media massa.

Bukan hanya hanya memberikan, tapi juga mengemasnya dengan apik agar masyarakat juga tertarik. Seperti membuat kompetisi blog Indonesiai; karya tulis seperti novel ataupun jurnal keIndonesiaan; kuis; sesi tanya-jawab dan program-program lainnya yang sifatnya inovatif dan atraktif.

Oleh karena itu, melalui kampanye dan pembudayaan digital soft literacy (literasi santun) inilah para santri diyakini mampu mengurai gejala radikalisme agama dan kejahatan siber dalam ruang virtual yang kian menguat.

Oleh: Alfin Haidar Ali

Mahasantri Ma’had Aly Nurul Jadid

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru