33 C
Jakarta

Santri: Agen Penangkal Ekstremisme Keagamaan Melalui Paham Moderat

Artikel Trending

KhazanahPerspektifSantri: Agen Penangkal Ekstremisme Keagamaan Melalui Paham Moderat
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kuantitas santri dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan secara siginifikan. Kementerian Agama mencatat jumlah pesantren di Indonesia saat ini mencapai 36.600 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 3,4 juta dan 370 ribu kiai dan ustaz.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang diistilahkan oleh Nurcholish Madjid sebagai indegenous ini telah lama terlibat dalam upaya mencerdaskan generasi bangsa dan menyatukan masyarakat melalui semangat mengusir penjajahan dari bumi Indonesia yang dulu disebut sebagai Nusantara.

Kecintaan terhadap NKRI dengan sikap moderat melalui praktik-praktik toleransi beragama, seperti yang terjadi di Kudus Jawa Tengah yang menghormati agama Hindu dengan tidak menyembelih sapi. Selain itu, di kawasan Lasem Rembang dengan heterogenitas umat beragama dan dominasi santri yang tetap rukun dan damai menjadi bagian dari contoh praktik pemahaman moderasi beragama para kaum santri.

Dengan begitu, sudah selayaknya pemerintah menjadikan kaum santri sebagai agen dalam menjaga negara ini dari upaya kelompok yang ingin memecah-belah dan membuat keonaraan dengan paham ekstremis dengan jargon kembali pada Al-Qur’an, hadis, amar makruf nahi mungkar dengan tindakan kekerasan dan aksi teror.

Keterbukaan akses teknologi digital menjadikan pola penyebaran kelompok radikal sulit untuk dideteksi. Berdasarkan data European Union Terrorism Situation And Trend Report bahwa di tahun 2022 menunjukkan bahwa di masa pandemi Covid-19 terjadi pembentukan narasi ekstremisme semakin marak, sementara United Nations Office On Drugs And Crime mencatat bahwa paham ekstremisme mengeksploitasi ajaran agama, perbedaan etnis dan ideologi politik sebagai propaganda utama dalam merekrut anggota.

Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam yaitu sebesar 86,9% perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap propaganda kelompok radikal-ektremisme yang seringkali menggunakan narasi keagamaan dan politik kekuasan.

Pasalnya, sejarah mencatat bahwa munculnya kekerasan dalam Islam disebabkan oleh persoalan politik, perebutan kekuasaan dan kemudian merambah ke persoalan agama sebagai simbol gerakan.

Untuk menangkal paham ekstremis dibutuhkan kolaborasi yang solid antar elemen bangsa, karena ruang penyebaran sangat variatif, mulai dari majalah mingguan, panduan ibadah, media sosial, bahkan buku akademik menjadi target operasi dari media penyebaran paham ekstremis yang perlu kita waspadai bersama.

Fenomena itulah yang kemudian Kementerian Agama berinisiatif untuk menerapkan agenda moderasi beragama menjadi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dengan melibatkan lembaga pendidikan dan literasi keagamaan, termasuk di dalamnya lembaga pesantren dan para santri.

Peran santri dalam menangkal paham ekstremis sangatlah dibutuhkan, apalagi jumlah pesantren dan SDM santri yang cukup besar dan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Tidak hanya secara kuantitas saja, santri sebagai kelompok terpelajar yang fokus mendalami ilmu keagamaan, secara kapasitas mamiliki kemampuan untuk mengcounter dari berbagai upaya propaganda kelompok ektremis-radikal yang menggunakan narasi keagamaan yang tekstualis dan ekstrem.

BACA JUGA  Mengantisipasi Politisasi Agama dan Radikalisme Menjelang Pilkada 2024

Keterbukaan pesantren terhadap perubahan zaman dan kecanggihan teknologi yang dibuktikan dengan kepemilikan akun media sosial pesantren dan pelatihan-pelatihan berbasis teknologi membuka kesempatan bagi para santri untuk berkontribusi dan turut aktif dalam memberikan pandangan-pandangan keagamaan secara moderat lewat media sosial.

Santri sebagai Agen Moderasi

Menurut pandangan Komjen Pol Muhammed Rycko Amelza Dahniel mengungkapkan bahwa perilaku teror merupakan bentuk distorsi terhadap ajaraan agama karena adanya praktek menghalalkan kekerasan dan cara-cara brutal untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Payung agama seringkali menjadi modal dalam membenarkan segala tindakan-tindakan yang keji.

Oleh karenanya, pesantren dan santri yang telah menjadi pionir dan garda terdepan dalam menjaga NKRI dan mengusir penjajah, seperti yang difatwakan oleh KH Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar Nahdlatul Ulama menyampaikan bahwa melawan penjajah itu wajib, melawan penjajah itu fardlu ‘ain, dan meninggal berperang melawan musuh itu hukumnya mati syahid.

Dalam konteks hari ini, santri sudah selayaknya menjaga NKRI dari paham ekstrem dan radikal melalui khazanah keilmuan Islam dengan pandangan yang menyejukkan dan paham-paham moderat. Sejalan dengan sambutan Presiden Joko Widodo pada Apel Hari Santri Tahun 2023 “Santri adalah pilar kekuatan bangsa, santri adalah fondasi kekokohan bangsa, dan ini sudah terbukti sejak zaman perjuangan kemerdekaan”.

Terdapat transformasi peran santri yang disesuaikan dengan konteks zaman. Jika santri zaman dulu ikut serta sebagai pejuang kemerdekaan, maka untuk konteks hari ini, santri sebagai agen paham moderat yang membentengi dan menolak dari paham ekstrem-radikal, baik secara langsung maupun melalui media sosial.

Dalam tradisi pesantren, seorang santri ditempa agar menjadi muslim yang taat dan memiliki sikap tawazun, moderat dan mengedepankan kebenaran universal tanpa menghilangkan nalar kritis adalah ciri khas dari pembelajaran pesantren sejak dahulu.

Keahlian dan penguasaan terhadap ajaran keislaman yang diambil dari pandangan berbagai ulama menjadi output utama dalam pembelajaran pesantren. Dengan begitu, maka santri memiliki legitimasi dalam menyebarkan paham keagamaan yang moderat kepada masyarakat sebagai upaya menangkal paham ekstrem dan radikal dalam memahami literatur keagamaan.

Selain itu, sikap tasamuh yang dilatih di pondok pesantren dapat menjadi modal utama dalam menghadapi perbedaan pendapat. Hal tersebut karena pesantren merupakan miniatur masyarakat yang plural, dimana santri yang belajar di pesantren berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa, dan budaya yang hidup dalam kebersamaan di asrama.

Transformasi pendidikan pesantren yang sudah melek teknologi dapat menjadi nilai plus tersendiri dalam menyebarkan paham keagamaan moderat yang tidak hanya menyasar pada masyarakat kultural dengan mimbar dakwah saja, melainkan juga melalui media sosial dan kanal-kanal digital lainnya.

Rohmat Burhanuddin
Rohmat Burhanuddin
Mahasiswa Interdisiplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru