27.1 C
Jakarta

Sang Kriminalisator Pancasila

Artikel Trending

Milenial IslamSang Kriminalisator Pancasila
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Beredar status provokatif di facebook, yang ditulis oleh Irfan S. Awwas (09/06/2020). Judul tulisannya adalah “Diplomasi Tokoh Islam dalam Rumusan Tauhid Pancasila”, isinya amat intoleran. Dan ide tersebut sengaja diciptakan untuk melakukan indoktrinasi keyakinan di lingkaran umat Islam.

Secara sosio-politik, struktur kalimatnya tampak menggiring narasi publik (umat Islam) seakan-akan pencabutan tujuh kata dalam naskah Piagam Jakarta. Adalah menafsirkan hal itu tanda kekalahan umat Islam, ditambah lagi keberadaan Revisi Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP).

Bahkan penulisnya, terang-terangan mengulas bagaimana sejarah perjuangan tokoh-tokoh Islam terhadap perumusan kalimat. “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kemudian, dicabut, dan diganti sebagaimana sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa.”

Pasca hilangnya tujuh kata tersebut, ia mengira merupakan kekalahan umat Islam. Dan hal itu menjadi alasan untuk memvonis Indonesia sebagai negara kafir atau hizbut thaghut. Tuduhan ini telah menyebabkan argumentasinya mudah kita patahkan baik dari sisi alasan filosofis, historis, dan sosiologis, serta yuridis. Tidak semudah itu berucap negara kafir.

Jika kita anggap Pancasila adalah ideologi final cukup beralasan historis yaitu hasil ijtihad para pendiri bangsa (the founding fahters), dan ulama-ulama dari Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah. Risalah ini yang tidak dapat dinafikan oleh mereka-mereka yang berlagak jihadis-politis hingga radikal.

Kalau pun tidak mengakui atas Pancasila sebagai produk sejarah yang final, maka kriminalisasi ideologi tidak penting dibesar-besarkan yang berujung kepada perpecahan. Sehingga, konteks pembahasan diplomasi tokoh Islam ini ibarat menyulut api dalam sekam. Artinya, sebagai umat Islam yang tergolong masyarakat Indonesia tentu hal yang amat berbahaya.

Dan mereka, sebenarnya bukan menyampaikan aspirasi. Namun, mereka ingin adanya formalisasi syariat Islam, dan kembali menghidupkan khilafah di negara mayoritas Islam. Kehendak mereka jelas-jelas suatu penghianatan kepada pendiri bangsa, dan para ulama yang berjasa dalam kemerdekaan.

Kriminalisasi Pancasila

Keinginan mereka atas kembalinya tujuh kata dalam naskah Piagam Jakarta. Adalah persoalan yang mustahil. Tidak terkecuali, jika mereka berupaya mempraktikkan syariat dalam UUD 1945, dan konstitusi negara. Sedangkan tatanan khilafah Islam juga harus menggantikan posisi Pancasila.

Permintaan mereka dikumandangkan karena kebencian kepada pemerintah. Dengan hal itu, mereka memukul balik dengan cara memojokkan pemerintah adalah yang telah merancang RUU HIP, dan menebar fitnah soal kebangkitan ideologi komunisme, leninisme, dan marxisme.

BACA JUGA  Menangani Radikal-Terorisme: Spirit Nasionalisme yang Tak Banyak Diminati

Dengan pemerintah menunda RUU HIP, kenapa mereka masih membombardir kebijakan pemerintah melalui hujatan, fitnah, dan kebencian. Kenapa mereka tidak muncul pada saat pemerintah sendirian membubarkan ideologi khilafah? Padahal, ideologi tersebut tergolong transnasional.

Sebab, khilafah dan syariat dipraktikkan dengan cara kekerasan yang melanggar norma-norma ajaran Islam. Terutama agama lain, buktinya kekerasan telah dilakukan oleh ISIS, al-Qaeda, JI, JAD, dan MIT merupakan pelanggaran atas hak hidup dan hak asasi manusia itu sendiri. Soal eks HTI, dan FPI tidak pernah melakukan hal tersebut. Adalah soal yang berbeda.

Irfan S. Awwas mengutip pandangan penulis Kristen, IJ Satyabudi dalam buku (Kontroversi Nama Allah: 1994). “Ia justru mengakui keunggulan diplomasi tokoh-tokoh Islam dalam perumusan Pancasila tersebut.” Kutipan ini yang ditafsirkan melalui pendekatan provokatif, dan ekstrem.

Ia tidak sadar, pengakuan sebaliknya. Bahwa kekaguman penulis Kristen kepada diplomasi tokoh-tokoh Islam karena mampu menghapus tujuh kata dalam naskah Piagam Jakarta. Karena itu, memang melalui ijtihad para pendiri bangsa dan para ulama yang ingin Indonesia bersatu, dan berdamai.

Penafsiran filosofis seperti ini. Tentu, harus menjadi kekuatan materiil terhadap landasan historis bagaimana sila pertama itu betul-betul diperjuangkan, absah, dan konstitusional. Langkah-langkah demikian dapat mendorong agar kriminalisasi Pancasila dewasa ini tidak sering terjadi.

Meluruskan Pemahaman

Menentang Pancasila sama dengan tidak menghargai sejarah kemerdakaan 17 Agustus 1945, di mana di dalamnya terdapat perjuangan dan jihad berdarah-darah. Dan peran serta andil pendiri bangsa, juga para ulama bersungguh-sungguh dalam merumuskan ideologi negara kita. Yaitu, Pancasila.

Pemahaman-pemahaman yang radikal-ekstrem demikian butuh sikap tegas pemerintah, dan ulama untuk berkomitmen menangkal hujatan, ujaran kebencian, dan intoleransi yang berkembang masif di dunia maya. Lebih-lebih di media sosial, hampir tiap hari mengundang cacian, dan pertikaian.

Di tengah maraknya pertikaian di dunia maya, salah satunya mereka tidak mampu untuk saling bersikap bijaksana dalam berbeda keyakinan. Khususnya soal formalisasi syariat, dan perumusan ideologi Pancasila yang kian mengundang banyak respon negatif di kalangan umat beragama.

Salah satunya, adalah radikalisme sebagai parameter utama membuat pemahaman umat beragama rentan bersikap ekstrem, dan keras. Setiap perubahan selalu yang diinginkan jalur kekerasan, hal tersebut menjadi tantangan kita kedepannya bagaimana tindakan-tindakan ini tidak terulang lagi.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru