25.3 C
Jakarta

Salam Lintas Agama Itu Menyatukan, Bukan Memecah-Belah Bangsa

Artikel Trending

Milenial IslamSalam Lintas Agama Itu Menyatukan, Bukan Memecah-Belah Bangsa
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sorotan polemik salam lintas agama terus berlanjut hingga sekarang. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menetapkan salam lintas agama hukumnya haram. Ketua MUI Bidang Fatwa Prof. Asrorun Niam Sholeh mengatakan bahwa pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama bukan merupakan implementasi dari toleransi karena merupakan doa yang bersifat (ubudiah) peribadatan.

Respons Negara dan PBNU

Fatwa MUI di atas kemudian banyak mendapat tanggapan. Di antaranya dari Kemenag. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, “Fatwa itu sifatnya rekomendasi, salam enam agama itu kan praktik baik untuk menjaga toleransi. Tidak semuanya harus dikaitkan dengan ubudiah. Jangan hanya dilihat dari sisi teologisnya saja, tapi sisi sosiologisnya juga harus dipertimbangkan, bahwa salam ini untuk menjaga, saling menghormati antar sesama umat beragama”, sebut Menteri Agama.

Begitu juga dengan Pengurus Besar Nadhlatul Ulama. PBNU sampai menggelar Halaqah Ulama untuk mendiskusikan fatwa MUI tentang salam lintas agama lebih mendalam pada tanggal 11 Juni 2024 di kantor PBNU. Kesimpulan PBNU mengenai salam lintas agama adalah tidak masalah.

Menurut Gus Yahya, salam lintas agama diharamkan karena ada klaim sepihak. Salam umat Islam menganggap Assalamu’alaikum itu ibadah, kemudian menghukumi kalau salam yang diucapkan agama lain itu juga ibadah. Di sini masalahnya. Menurut agama lain pengucapan kalimat yang sering diucapkan dalam salam lintas agama itu bukan bagian dari ibadah.

Karena itu, seorang ahli fikih dalam menganalisis masalah penting kiranya memperhatikan maksud dan hakikat dari pertanyaan yang diajukan. Jangan menjawab berdasarkan asumsi dan klaim sepihak. Misalnya, salam lintas agama dihukumi haram, karena dianggap mencampuradukkan ibadah. “Tanya pada teman Kristen, apakah salam sejahtera itu masuk liturgi? Shalom, tanya pada teman Katolik, apakah masuk liturgi? Paus aja nggak pernah buka pidato pakai shalom,” papar Gus Yahya. “Kalau jadi pencampuran ibadah, ibadah apa yang dicampur? Yang lain bukan ibadah,” lanjut Gus Yahya.

Menurut Gus Yahya, sebagian ulama dan masyarakat Indonesia masih menggunakan cara pikir lama, padahal konteksnya tentang hari ini. Kalau pendekatannya masih menggunakan pendekatan lama, yang dirumuskan sesuai dengan kondisi masyarakat dulu, kesimpulan fikihnya juga akan salah arah. “Hal ini terjadi karena mindset, para fukaha itu mindsetnya masih Turki Usmani, belum menginternalisasi mindset Negara Kesatuan Republik Indonesia. Walaupun ngakunya NKRI harga mati, tapi masih Turki Usmani. Itu masalahnya,” pungkas Ketua PBNU.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI Kamaruddin Amin. Dia menilai salam lintas agama sebagai bagian dari praktik yang baik untuk merawat kerukunan umat. “Salam lintas agama adalah praktik baik kerukunan umat. Ini bukan upaya mencampuradukkan ajaran agama. Umat tahu bahwa akidah urusan masing-masing dan secara sosiologis salam lintas agama memperkuat kerukunan dan toleransi,” sebut Kamaruddin.

Respons Aktivis Khilafah

Berbeda dengan fatwa Kemenag dan PBNU. Aktivis khilafah justru mempertanyakan respons mereka. Menurut aktivis khilafah, Kemenag dan PBNU telah salah dalam memahami esensi dari salam tersebut. Menurut mereka, ketika yang dimaksud adalah salam lintas agama, tentu saja yang dibahas adalah salam yang di dalamnya mengandung lafaz doa. Ini sebagaimana sapaan kepada umat Kristiani dengan mengucapkan, “Salam sejahtera bagi kita semua,” atau ucapan “shalom” kepada penganut agama Katolik. Jelas ini adalah lafaz doa. Oleh karenanya, di sinilah pentingnya membahas hukum Islam terkait hal ini.

BACA JUGA  Meningkatkan Suluh Puasa dengan Menutup Pintu Radikalisme

“Hakikat salam adalah doa yang bersifat khusus. Ia termasuk ibadah yang harus tauqifiyah. Ibadah tauqifiyah artinya, tidak sah dilakukan, kecuali ditetapkan oleh syariat. Dengan kata lain, harus dilandasi oleh nash dari Allah Swt. ataupun dari Rasulullah saw. yang termaktub dalam Al-Qur’an dan sunah”, sebut mereka.

Menurut aktivis khilafah, salam lintas agama atau menganggap salam semacam ini hanya sebatas sapaan, hakikatnya adalah desakralisasi makna salam, alias penghilangan kesakralan (suci) salam. Menurut mereka, salam lintas agama jauh dari ketentuan syariat dan berarti menjauhkan umat dari keterikatan pada syariat.

Bagi mereka, salam lintas agama adalah bentuk toleransi kebablasan ala moderasi beragama yang menabrak rambu-rambu syariat. Atas nama toleransi, umat Islam dicekoki pemahaman bahwa salam lintas agama adalah penting demi menjaga kerukunan antarumat berbeda agama.

Jadi menurut aktivis khilafah, memperbolehkan salam lintas agama beserta alasannya adalah ngawur, tidak sesuai dengan realitas. Bagi mereka, alasan “demi kerukunan” juga merupakan alasan yang mengada-ada, tidak bisa diterima.

Melihat Dua Respons Salam Lintas Agama

Melihat dua respons di atas jelas sangat jauh dalam memahami esensi fikih dan Islam. Kemenag dan PBNU melihat salam lintas agama dari sisi ‘ubudiyyah (peribadatan), nilai antropologis masyarakat, konteks, serta dampak yang akan terjadi setelahnya. Sementara MUI dan aktivis khilafah memperlakukan fikih sekadar dalam teks saja.

Oleh sebab itu, dua-duanya tidak bakal ditemukan titik temunya. Argumen penting di atas adalah, salam bagi Islam adalah bentuk doa dan masuk pada wilayah ‘ubudiyyah. Sementara salam bagi agama lain hanyalah merupakan sapaan belaka, jadi tidak masuk dalam kategori ibadah.

Sayangnya, baik MUI dan aktivis khilafah tidak menyadari atau mungkin belum belajar tentang esensi salam dari agama lain itu. Makanya, sejak dulu, MUI dan aktivis khilafah selalu salah dalam memperlakukan fikih, kendati itulah mereka juga selalu menjadi polemik di masyarakat. Sampai di sini sudah jelas bahwa, MUI dan aktivis khilafah masih kalah jauh kajiannya dengan Kemenag dan NU. Salam lintas agama itu menyatukan, bukan memecah-belah bangsa.

Penulis menyadari bahwa salam adalah bagian dari cara merekatkan hubungan baik antarmanusia dan antaragama. Salam lintas agama bentuk toleransi yang diajarkan Islam mengingat bangsa Indonesia berbeda-beda dalam segala hal. Salam lintas agama adalah bagian dari moderasi beragama, mendekatkan umat dari keterikatan pada syariat Islam yang moderat. Alhasil, kita perlu mewaspadai fatwa MUI dan narasi aktivis khilafah karena mereka belum tahu betul tentang esensi salam lintas agama.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru