27.3 C
Jakarta

Salahkan Orangnya, Jangan Islam Itu Sendiri

Artikel Trending

KhazanahPerspektifSalahkan Orangnya, Jangan Islam Itu Sendiri
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kehidupan yang fana membuat manusia mencari titik amannya. Tentang pencarian harta, takhta, atau pun kehidupan setelah mati nantinya. Kerap kali agama menjadi sandaran atas semua kegelisahan. Bagai pahlawan, agama menjadi pedoman atas setiap langkah yang manusia jalani. Hingga perlahan manusia semakin percaya bahwa agama bisa menyelesaikan semua persoalan mereka. Umat Islam pun demikian.

Tidak heran, ketika agama terlecehkan oleh liyan, ada sekelompok orang yang mengangkat pedang. Membunuh dengan rasa haus, dan dalam sekejap mata, hilanglah nyawanya. Lantas yang menjadi pertanyaan, pantaskah semua tindak kekerasan itu kita lakukan?.

Bertahun lamanya setelah pengeboman di kantor Kedutaan Amerika, agama Islam telah kehilangan citra. Bagai buah yang jatuh dari pohonnya, miliaran umat Muslim di dunia yang tidak berdosa, langsung mendapatkan hujatan atas peristiwa tersebut. Tertuduh tidak toleran, agama radikal, Islam anti kemanusiaan dkk menjadi berita yang berulang kali tersiarkan.

Fenomena ini terus mendorong Islam ke dalam kelamnya kemajuan. Islam yang dahulu tercitrakan sebagai pembaharu, kini banyak mencapnya sebagai pemberontak dunia. Kerudung maupun niqab yang berjalan di tanah Barat, banyak yang mencurigai dan mewaspadai sebagai pengasong bom peledak.

Memang sejak pertama kali tersebar, Islam langsung bertindak sebagai pendongkrak akhlak umat. Secara bertahap, Nabi terus berdakwah di titik-titik strategis di belahan dunia. Tidak butuh waktu lama, Islam berhasil berkembang dan makin meluas ke seluruh dunia. Kepercayaan akan Allah Swt dan Nabi Muhammad terus menjadi ajaran yang di kemudian hari lahirlah ilmu-ilmu baru yang mendorong kepercayaan tersebut.

Genealogi Islam Garang

Namun seiring berjalannya waktu, pokok dari ilmu agama kian dipersoalkan. Lahir pendapat-pendapat baru di antara ulama ternama yang saling berseberangan. Dari semua pendapat tersebut, ada sebuah kelompok pendapat yang mengajak serta Islam menuju wajah yang garang. Pendapat tersebut mewacanakan penguasaan Islam ke seluruh dunia dengan peperangan.

Nahas, pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas Muslim di seluruh dunia. Mereka lebih menyukai wajah Islam yang lembut, dan ramah pada siapapun orangnya. Meskipun ada orang lain yang meyakini agama berbeda, mereka tidak terganggu dan bisa tetap damai dengan nilai toleransi yang ada.

Bagi mereka, peperangan akan membawa duka. Bukan saja bagi non-Muslim. Umat Muslim juga merasakan hal yang sama. Hasil dari pertempuran selalu membawa kerusakan. Pun mereka yang dimenangkan atas peristiwa itu, hanya unggul sedikit atas sisa-sisa penderitaan yang dihasilkan.

Dengan penolakan-penolakan tersebut, kelompok yang digolongkan dengan nama ekstremis tidak menyerah begitu saja. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil untuk memengaruhi banyak orang untuk menyetujui pendapatnya. Mereka memberlakukan berbagai cara termasuk pemanfaatan sosial media untuk merubah cara pikir, dari toleran menuju arus utama kekerasan.

BACA JUGA  Menghindari Tafsir Tekstual, Menyelamatkan Diri dari Radikalisme

Gerakan yang sudah tersusun sejak lama, kini pelan-pelan berhasil memengaruhi ribuan orang. Islam yang kerap mereka ucapkan, menjadi mantra manjur pendukung gerakan. Tidak ada habisnya mantra itu menggema dalam setiap ledakan. Pun setiap ada korban, Islam pula yang dinomorsatukan.

Padahal Islam tidak Rasulullah jalankan dengan demikian. Rahmatan lil alamin, itulah yang kerap Nabi Saw ajarkan. Membina akhlak umat dengan kelembutan, bukan kekerasan. Kesabaran dan kepasrahan pada Tuhan, dua kunci yang menopang dakwah Nabi. Dalam berbagai kisah, kerap tersuguhkan kepada kita senjata pamungkas Nabi yakni doa. Pun kalau peperangan, itu hanya sedikit saja dari keseluruhan dakwah Nabi.

Maka benar saja, ketika Islam tercitrakan oleh mereka, kaum ekstremis, wajah Islam berada dalam kegelapan. Orang-orang mengira Islamlah yang berada dalam setiap kekacauan karena nama itu yang selalu mereka bawa. Islam benar-benar terlihat hancur marwahnya dan terperosok ke dalam jurang.

Kedok Belaka

Padahal dari semua itu, nafsu merekalah yang berkuasa. Islam hanya menjadi kedok dari serangan membabi buta yang menguntungkan diri mereka sendiri. Islam sesungguhnya korban yang terus teraniaya oleh kebrutalan sikap mereka. Hukum terumuskan seenaknya, agama diatur semaunya, lantas membawa Tuhan atas setiap tindakan brutalnya. Sungguh, Islam teraniaya dalam kelompok mereka.

Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika tindakan mereka yang kita kutuk bukan Islam itu sendiri. Dalam hal ini, agama adalah korban dari setiap tindakan yang mereka lakukan. Maka sudah seharusnya kita melindungi agama, bukan menuduhnya sebagai pelaku atas semua kebrutalan.

Apakah kaum ekstremis hanya berkelana di dunia pengeboman? Tentu tidak, melainkan juga mencakup seluruh aksi yang tidak berperikemanusiaan. Di Indonesia, ada representasi kasus terbaruk akan hal itu, yaitu ketika mantan pendeta yang kini menjadi ustad berceramah. Yahya Waloni, namanya, bercerita sekaligu menganjurkan untuk menabrak anjing kalau ketemu. Alasannya karena najis, jadi menabraknya saja agar pincang bahkan mati.

Kalau sudah seekstrem itu, apakah najisnya anjing dalam sementara pendapat ahli fikih Islam harus menjadi persoalan? Tentu tidak. Yang salah adalah Yahya Waloni sendiri, bukan ajaran agamanya. Maka seharusnya orangnya yang mesti kita salahkan, bukan Islam itu sendiri.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru