26.1 C
Jakarta

Saat Menatapmu (Bagian XVII)

Artikel Trending

KhazanahOpiniSaat Menatapmu (Bagian XVII)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Di Auditorium Harun Nasution UIN Syarif Hidayatullah Jakarta peserta duduk berderet di deretan paling depan. Para audiens duduk di belakangnya. Tak terhitung audiens yang menyaksikan sampai penuh.

“Peserta pertama, Diva Rizka Maulia.” MC memanggil Diva naik ke atas panggung.

Diva membaca shalawat agar dipemudah presentasinya dan meraih kesuksesan, karena presentasi ini adalah penentuan pemenang pertama, kedua, dan ketiga. Kemudian, Diva bergegas naik ke atas panggung.

“Diva?!” Fairuz kaget. Fairuz kebetulan menjadi juri dalam acara Sayembara Menulis.

Diva tidak tahu bahwa salah seorang juri yang duduk di depannya adalah Fairuz Zakyal Ibad, penulis asal Madura, yang pernah menerima kiriman surat Diva di pesantren. Fairuz tetap tenang, begitupula Diva menyunggingkan senyum manis dan memulai presentasinya.

Diva menjelaskan dibantu Power Point yang sudah disediakan jauh hari sebelumnya. Tafsir, sebut Diva, tidak lekang dari ruang dan waktu, sehingga tidak menutup kemungkinan lahirnya tafsir baru dari zaman ke zaman. Bila pada zaman klasik lahir Tafsir ath-Thabari sebagai tafsir bil ma’tsur pertama, disusul pada zaman pertengahan Tafsir Ibnu Katsir sebagai tafsir bil ma’tsur kedua, kemudian muncul pada zaman modern-kontemporer aneka tafsir bergere bil ra’yi seperti Tafsir al-Manar, at-Tafsir al-Munir, dan seterusnya.

Beberapa kitab tafsir ini memiliki perkembangan dari tafsir yang menitikberatkan pada Al-Qur’an, hadis, dan pendapat sahabat, menjadi tafsir yang berbasis pandangan para pakar modern-kontemporer. Perkembangan ini tidak lepas dari pergulatan ruang dan waktu di mana tafsir itu ditulis. Bila tafsir itu ditulis di Indonesia akan berbeda kesannya dengan tafsir yang ditulis di timur tengah seperti di Mesir. Karena budaya Indonesia dan Mesir berbeda.

Tidak dapat dibenarkan suatu pendapat yang membatasi tafsir, karena tafsir itu bukan karya Tuhan yang diklaim sebagai kebenaran mutlak. Tafsir itu karya manusia. Boleh jadi tafsir yang ditulis pada masa dahulu tidak relevan kembali diterapkan di masa sekarang. Boleh jadi tafsir yang ditulis di masa dahulu diperuntukkan untuk suatu tempat tertentu yang mana perkembangan budayanya tidak lagi terlihat di era sekarang.

Membatasi tafsir, tegas Diva, tak ubahnya membatasi pesan-pesan Tuhan yang relevan dalam setiap situasi dan kondisi (shalih li kulli zaman wal makan). Bebaskan peminat studi Al-Qur’an untuk melahirkan tafsir sesuai dengan masanya, sehingga khazanah tafsir semakin membumi dan beragam. Penting untuk diingat, bahwa Al-Qur’annya satu, tafsirnya banyak.

Sebelum mengakhiri presentasi, Diva menyebutkan, menafsirkan menggunakan akal bukanlah sesuatu yang tercela. Akal tercipta untuk berpikir. Adalah suatu yang tercela bila tafsir itu menafikan peran akal.

Baru selesai presentasi, Diva masih tetap berdiri di atas panggung, karena masih ada sesi tanya jawab antara peserta dan juri.

“Dipersilahkan kepada Mas Fairuz Zakyal Ibad mengometari dan menyampaikan pertanyaan,” ucap MC lantang.

Diva sontak kaget dan membatin, “Fairuz?!” Tapi Diva tetap mengendalikan emosi sehingga tidak mudah gerogi.

“Diva Rizka Maulia,” sebut Fairuz, “Kasih aplous dulu dong!”

Tepuk tangan penonton bergemuruh menyesaki ruang auditorium yang luas.

Diva bertanya-tanya, “Fairuz penulis itu ya?”

“Diva asli mana?” tanya Fairuz penasaran.

BACA JUGA  Urgensi Pendidikan Karakter sebagai Tameng Kontra-Radikalisme Daring

“Madura,” jawab Diva singkat.

“Belajar di pesantren atau di luar pesantren?” Fairuz pura-pura tidak tahu. Tapi, biasanya juri begitu sebelum mengomentari peserta. Tidak to the point.

“Belajar di pesantren.”

“Pesantren di Madura juga?”

“Benar.”

“Pesantren mana?”

“Pesantren Annuqayah.”

“Wah, wah, wah… se-almamater dong. Saya juga masih nyantri di Annuqayah.”

“Benar kan. Ini Fairuz yang pernah aku kirimin surat.” Diva membatin, tersipu malu.

“Peserta pertama, Diva sudah mempresentasikan tulisannya dengan fantastik. Banyak ide-ide menarik terkait penafsiran sampai terlihat dalam diri Diva semangat membumikan Al-Qur’an dengan beragam penafsiran yang berkembang dari zaman ke zaman.”

Para audiens tepuk tangan. “Peserta dari mana?” ketus seorang audiens sambil mencolek temennya.

“Madura.”

“Keren presentasinya, cantik lagi.”

“Mata buaya gitu ya,” semprot temannya. Mereka cekikikan.

Fairuz menanyakan, “Ada sebuah hadis yang menyatakan, bahwa siapa pun yang menafsirkan Al-Qur’an menggunakan akalnya, maka bersiap-siaplah tempat duduknya di api neraka. Hadis ini secara tidak langsung menolak tafsir-tafsir bil ra’yi alias tafsir pakai akal semata.”

“Terima kasih atas komentarnya. Memahami hadis hendaknya dilihat konteksnya tanpa mengabaikan sumber-sumber Al-Qur’an yang paling utama. Al-Qur’an sering mengajak para pembaca untuk menggunakan akalnya, afala ta’qilun, merenungkannya, afala ya tadabbarun, bahkan memanggil manusia dengan sebutan ya ulil abshar, wahai orang yang terbuka pikirannya. Ajakan tersebut menunjukkan perintah menggunakan akal sebagai bentuk mensyukuri anugerah Allah. Sebaliknya, tidak dianggap bersyukur manusia yang tidak memfungsikan akalnya.” Diva menjelaskan panjang lebar.

Bernafas sejenak kemudian Diva melanjutkan, “Berpikir yang dilarang adalah berpikir yang tidak berdasar. Berpikir hanya menggunakan nafsu semata. Saya membaca sekian tafsir bir ra’yi seperti Tafsi al-Manar karya Muhammad Rasyid Ridha dan Mafatih al-Ghaib karya Fahruddin ar-Razi, penafsirannya berlandaskan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan, tafsir-tafsir ini banyak digemari mahasiswa dan sekian dosen di kampus Islam, termasuk para ustadz dan santri di pesantren sendiri.”

“Bagus,” sebut Fairuz, “Akhir-akhir ini ada isu yang diperdebatkan, yaitu Islam Nusantara. Saya tidak ingin bertanya tentang Islam Nusantara. Tapi, pertanyaannya begini, jika ada Islam Nusantara, apakah perlu ada tafsir Nusantara?”

“Saya kira perlu, bahkan bisa dikatakan wajib. Islam Nusantara itu kan Islam yang disandingkan dengan budaya Nusantara. Begitulah tafsir, penafsiran yang kental dengan budaya Nusantara juga bisa disebut tafsir Nusantara, seperti Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, Tafsir al-Fur’qan karya A. Hassan, Tafsir al-Ibriz karya Bisri Musthafa, bahkan di Madura sendiri ada tafsir yang ditulis penafsir kontemporer Thaifur Ali Wafa, kitab berjudul Firdaus an-Naim.

“Oke, cukup.”

Beberapa pertanyaan terjawab dengan gagasan yang kritis dan lugas. Penonton bersorak diimbangi tepuk tangan yang meriah. Penonton berdesakan melihat presentasi yang fantastik.

Diva menatap mata Fairuz, begitu pula Fairuz. Mereka terpenjara dalam penasaran dan teka teki. Diva yang tersipu malu. Fairuz yang bertanya-tanya.

Tiada cara yang bijak selain menyerahkan kepada waktu. Biarkan waktu yang menjawab pertanyaan. Pertemuan ini bukan suatu rencana seakan tangan Tuhan berperan di tengah takdir.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru