26.7 C
Jakarta

Rukhshah dalam Bulan Suci Ramadhan, Apa Saja Itu?

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamRukhshah dalam Bulan Suci Ramadhan, Apa Saja Itu?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Dalam fiqh ada qaidah: اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ bahwa unsur kesulitan akan mendatangkan kemudahan. Dari sini nampak jelas bahwa islam itu adalah agama yang mudah yang sejalan dengan fitroh manusia. Allah SWT dalam banyak ayat Al-Qur’an menjelaskan tentang adanya kemudahan dan tidak ada pemaksaan untuk mengerjakan suatu kewajiban. Puasa wajib, tapi jika bepergian atau sakit maka boleh tidak berpuasa. Bangkai haram dimakan, tapi dalam keadaan terpaksa bangkai boleh dimakan.

Kehidupan manusia tidak akan lepas dari keadaan yang mengharuskannya melakukan pilihan-pilihan yang serba sulit dan dilematis. Hal ini pasti akan terjadi dalam dinamika kehidupan sehari-hari. Hukum Islam bukanlah hukum yang ekstrim, hukum Islam memiliki elastisitas hukum yang disesuaikan dengan konteks permasalahan yang terjadi. Contohnya ketika turun hujan, biasanya percikan air akan bercampur dengan najis dan hal ini sangat sulit untuk dihindarkan. Namun karena percikan ini timbul dari keadaan yang sulit untuk dihindari maka hukumnya dimaafkan. Demikian juga dengan hal lain seperti darah bisul, lalat, jerawat adalah hal yang sangat sulit untuk dihindari karena kadarnya sedikit sehingga kondisi ini masuk kategori yang dimaafkan.

Kemudahan (At-Takhfif) dalam Islam yang diberikan oleh Allah secara garis besar dimaksudkan dalam dua hal, yaitu :

  1. اَلْأَصْلُ (Al-Ashl): Agama Islam pada asalnya adalah agama yang mudah. Maksudnya bahwa Islam itu mimang agama yang mudah. contoh, shalat wajib yang dibebankan kepada umat Islam hanyalah 5 waktu dalam sehari yang awalnya 50 waktu. Bersamaan dengan itu, 5 waktu tersebut tetap bisa senilai pahala 50 waktu. Dalam sebuah hadit, riwayat Bukhari no. 342 dan Muslim no.163. Nabi SAW bersabda:  ففرض الله عز وجل على أمتي خمسين صلاة فرجعت بذلك حتى مررت على موسى فقال : ما فرض الله لك على أمتك ؟ قلت : فرض خمسين صلاة ، قال : فارجع إلى ربك فإن أمتك لا تطيق ذلك ، فراجعت فوضع شطرها ، فرجعت إلى موسى ، قلت : وضع شطرها ، فقال : راجع ربك فإن أمتك لا تطيق ، فراجعت فوضع شطرها ، فرجعت إليه ، فقال : ارجع إلى ربك فإن أمتك لا تطيق ذلك ، فراجعته ، فقال : هي خمس ، وهي خمسون ، لا يبدل القول لدي ، فرجعت إلى موسى ، فقال : راجع ربك ، فقلت : استحييت من ربي
  2. اَلطَّارِئُ  (at-Thari’): Keringanan yang datang karena suatu sebab. Selain keringanan yang secara asal telah melekat pada Islam, Allah juga memberikan keringanan-keringanan tambahan pada syariat-syariat tertentu karena adanya sebab-sebab tertentu. Diantara bentuk keringanan tersebut adalah: Yaitu keringanan dalam bentuk menggugurkan suatu kewajiban seperti, Orang sakit, Orang yang bepergian (musafir), dan budak, digugurkan dari mereka kewajiban shalat jumat. Orang miskin atau tidak mampu, tidak diwajibkan bagi mereka menunaikan ibadah haji.

Dalam perspektif fiqh sering ditegaskan bahwa setiap ada masaqqah akan mendapat rukhshah, tetapi tidak semua orang bisa mendapatkan rukhshah. Ada  banyak kategori yang bisa mendapat rukhshah, salah satunya adalah Ikrah ( pemaksaan). Artinya Terpaksa yang dimaksud disini adalah menghendaki orang lain melakukan tindakan yang bertentangan dengan keinginannya, atau dalam defenisi lain menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan tertentu, sekaligus memberikan ancaman yang sangat mungkin untuk dijatuhkan sehingga orang dipaksa mengalami ketakutan.

Karna itu, ulama ushul memberikan beberapa syarat tentang suatu pekerjaan yang dapat dikategorikan terpaksa. Diantaranya adalah:

  • Pemaksa mampu merealisasikan ancamannya, baik melalui sarana kekuasaan atau intimidasi.
  • Orang yang dipaksa tidak mampu menolak dengan cara apapun.
  • Orang yang dipaksa menduga kuat jika dia menolak maka ia akan melaksanakan ancamannya.
  • Objek paksaan adalah sesuatu yang diharamkan dan mengakibatkan kerusakan.

Sementara, kalangan ulama hanafiyah secara kualitatif membagi jenis paksaan dalam dua bentuk yaitu ikrah mulja· Adalah suatu paksaan yang tidak mungkin melepaskan diri dari ancaman. Jenis ancamannya berupa pembunuhan dan pemotongan tubuh. Kedua: ikrah ghairu mulja’. Adalah  suatu paksaan yang seseorang dapat menghindarkan diri dari paksaan tersebut, dalam artian bukan paksaan dengan ancaman pembunuhan atau pemotongan anggota tubuh. Barangkali hanya dalam bentuk pemukulan, pemenjaraan, perampasan harta benda.

Kalangan ulama syafi’iyah lebih sederhana membagi ikrah kepada dua jenis yang mempunyai konseuensi hukum yang berbeda. Pertama: ikrah bi al-haq (paksaan yang dibenarkan) contohnya pemaksaan terhadap orang yang berhutang untuk menjual barang-barangnya agar dapat melunasi hutangnya. Kedua: ikrah bi ghair al-haq (paksaan tanpa alasan yang benar) dalam hal ini terbagi kepada dua yaitu: ikrah yang haram seperti membunuh dan berzina, kemudian ikrah yang mubah memaksa seorang merusak harta orang lain.

BACA JUGA  Basmalah: Keistimewaan dan Khasiat yang Dikandungnya

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa obyek paksaan dalam bentuk membunuh dan berzina tetap diharamkan apapun kondisinya. Karena ini sangat terkait dengan memelihara jiwa dan keturunan. Berbeda dengan paksaan seperti merusak harta orang lain, meminum khamar dan memakan bangkai dalam hal ini keterpaksaan masih mendapat Rukhshah.

  1. Tentunya, Pelaksanaan rukhshah dalam kondisi tertentu memiliki batasan-batasan yang tidak boleh dilampaui. Ibaratkan kebolehan memakan bangkai dalam kondisi darurat maka kebolehan itu hanya sekedarnya bukan sepuasnya, kadarnya hanya sampai bisa menanggulangi sedikit rasa lapar untuk bisa bertahan mencari makanan yang halal. Demikian juga dengan kasus-kasus yang lainnya. Ini senada dengan kaidah fiqh: اَلضَّرُوْرَاتُ تُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا

 “(Keadaan darurat harus dimbil seperlunya saja)”.

Dalam QS. Al Baqaroh 185 Allah berfirman:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

 “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghen daki kesukaran bagimu.” (QS Al-Baqarah : 185).

Contoh lain misalnya, adalah bepergian atau melakukan perjalanan sudah merupakan suatu kebutuhan bagi manusia. Dalam keadaan tertentu terkadang perjalanan tersebut mengakibatkan kesulitan untuk melaksanakan kewajiban agama. Pada dasarnya kesulitan dalam perjalanan tidak menghilangkan kecakapan untuk berbuat hukum. Tetapi syariat yang mulia ini memberikan kemudahan (rukhshah) dalam perjalanan. Di antara kemudahan (rukhshah) dalam perjalanan adalah: bolehnya menqasar shalat yang empat rakaat, boleh berbuka puasa Ramadhan, bolehnya meninggalkan shalat jumat dan mengganti dengan salat zuhur, bolehnya memakan bangkai dan sesuatu yang diharamkan, dan lain sebagainya.

Pada dasarnya rukhshah adalah pembebasan seorang mukallaf dari melakukan tuntutan hukum dalam keadaan darurat. Dengan sendiri hukumnya boleh. Baik menger[1]jakan yang dilarang maupun meninggalkan yang disuruh. Namun dalam hal menggunakan Rukhshah ulama berbeda pendapat. Menurut jumhur ulama hukum rukhshah tergantung kepada bentuk uzur yang menyebabkan adanya rukhshah. Dengan demikian adakalanya rukhshah itu wajib, sunat, mak[1]ruh dan mubah sesuai dengan kondisi seseorang pada saat mengalami kesulitan.

Imam al-Syatibi menyatakan bahwa hukum rukhshah adalah ibahah secara mutlak. Untuk hal ini Imam Syatibi mengemukakan argumentasi, pertama, pada dasarnya Rukhshah tersebut adalah keringanan dan kelapangan yang diberikan dalam kesulitan, sehingga ada pilihan antara menggunakan atau rukhshah, sehingga ini adalah mubah. Kedua kalau menggunakan rukhshah tersebut diperintahkan baik dalam bentuk wajib atau sunat maka hukumnya akan berubah menjadi Azimah; kehendak untuk mengokohkan,  bukan lagi Rukhshah. Karena hukum wajib itu merupakan keharusan pasti yang tidak mengan[1]dung pilihan lain. Dengan demikian berarti menghimpun perintah dan rukhshah dalam satu tempat ini tidak mungkin karena keduanya adalah dua hal yang berlawanan.

Jika dicermati adanya azimahdan rukhshah dalam hukum Islam sesungguhya adalah untuk memberikan kemaslahatan dan menghindarkan manusia dari kemudharatan yang merupakan tujuan pembentukan hukum Islam. Pada kondisi normal bagi setiap mukallaf berlaku hukum azimah tetapi pada kondisi[1]kondisi tertentu hukum azimah tidak menyampaikan manusia kepada tujuan hukum sehingga mukallaf harus menggunakan rukhshah sesuai dengan tingkat kesulitan yang dhadapinya. Dalam artian rukhshah terhadap satu orang tidak bisa diberlakukan sama terhadap orang yang lain. Pada prinsipnya adanya rukhshah dalam setiap uzur yang ditemui bertujuan untuk mewujudkan maqasid al-syariah, dimana bertujuan untuk memelihara lima aspek pokok dalam kehidupan manusia yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

Jadi azimah dan rukhshah memberikan kesimpulan bahwa Islam adalah agama yang rahmahtan lil alamin. Karena Allah sebagai syari’ selalu memberikan kemudahan kemudahan bagi hambanya dalam melaksanakan perintahnya dalam setiap kesulitan yang ditemui. Semua ini bermuara untuk mewujudkan maqasid al-Syariah. Adanya rukhshah bagi yang kesulitan melaksanakan hukum dalam bentuk azimah merupakan wujud dari fleksibelnya hukum Islam, sehingga hukum Islam bukanlah hukum yang statis tetapi dinamis, sesuai dengan kondisi dan keadaan seseorang. Sehingga sesuai kaidah bahwa hukum dapat berobah dengan berubahnya waktu, tempat, keadaan dan niat.

Salman Akif Faylasuf, Mahasantri Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru