28 C
Jakarta

RKUHP: Otoritarianisme atau Meminimalisir Hate Speech?

Artikel Trending

EditorialRKUHP: Otoritarianisme atau Meminimalisir Hate Speech?
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pemerintah kembali mengatur rumusan norma pasal penghinaan terhadap presiden dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) 2021. Padahal 2006 silam, pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam KUHP telah dicabut berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Pro-kontra pun tidak terbendung. Asfinawati, Ketua YLBHI, menganggap pemerintah sudah antikritik.

“Ini aneh banget sih. Ini menunjukkan DPR dan Pemerintah antikritik dan tidak sesuai dengan UUD 1945. DPR adalah lembaga negara, maka artinya suara publik adalah kritik. Lembaga publik kalau ga boleh dikritik artinya bukan demokrasi lagi. Kita kan negara pihak Kovenan Hak Sipil Politik, terlebih amandemen Konstitusi sudah memasukkan HAM. Harus dihapus pasal-pasal penjajah begini,” ujar Asfin, sapaan akrabnya, Selasa (8/6) kemarin, dilansir dari DW.

Mari kita lihat isi RKUHP tersebut. Dalam Bab II tentang Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden disebutkan, pasal 217, “Setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.” Sementara pasal 218 ayat 1 berbunyi:

Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pada pasal 219 menambahkan, “Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Apakah tiga pasal RKUHP tersebut bisa dianggap sebagai antikritik, yang artinya pemerintah berlaku otoriter, atau justru penting dibuat untuk meminimalisir ujaran kebencian (hate speech)?

Sebenarnya, pasal dalam RKUHP tentang penghinaan pada presiden ada dalam kategori delik aduan, bukan delik biasa. Dengan demikian, penghinaan secara verbal atau melalui media sosial terhadap presiden tidak bisa dilaporkan oleh orang lain, tidak akan diproses, kecuali presiden yang melaporkan langsung atau melalui orang yang diberi kuasa. Maka secara implementatif, pasal tersebut tidak rasanya susah untuk disalahgunakan karena tidak semua orang punya hak melaporkan.

Dari dulu, Jokowi selalu dikritik. Ia, dalam suatu wawancara, bahkan merasa kritik sudah menjadi makanannya sehari-hari. Masalahnya, kritik itu sendiri sering kali destruktif dan menyerang kehormatannya. Misal, Ali Mochtar Ngabalin ketika masih oposisi, di momen kampanye Prabowo-Sandi, menganggap Jokowi kurang gizi—penghinaan yang seharusnya tidak termaafkan. Dan, berapa banyak orang yang telah menghina Jokowi sebagai ‘planga-plongo’, ‘dungu’, ‘banci’, dan lainnya?

BACA JUGA  Mencegah Perpecahan Pasca-Pemilu

Jokowi dari dulu selalu dihina, distigmatisasi, dan dicemooh. Ia dituduh anak PKI, tukang kayu yang bodoh, dan penghinaan kehormatan lainnya. Boleh jadi, itu yang menjadi pertimbangan RKHUP tersebut, dan jika itu benar, maka itu tidak dapat dijadikan justifikasi bahwa Jokowi antikritik. Kalau anti-penghinaan, semua orang tidak ada yang bersedia dihina. Maka sejauh itu, RKUHP masuk akal.

Lalu kenapa sementara kalangan, seperti yang dikutip di muka, menganggap RKUHP sebagai bukti antikritik? Jawabannya mencakup dua kemungkinan. Pertama, RKUP disalahpahami sebagai pengekang kritik, padahal ia pengekang penghinaan dan hate speech. Kritik dipersilakan, selama tidak menghina atau menyerang personal. Kedua, RKUHP sengaja dipelintir oleh oposan sebagai RUU antikritik dan pelintiran tersebut dipercaya begitu saja.

Untuk yang kedua ini, pelintiran memang sudah menjadi kebiasaan. Karenanya, RKUHP dirumuskan untuk merespons, meminimalisir hate speech mereka, yang ternyata lagi-lagi justru menjadi bahan pelintiran mereka yang baru. Jadi, sampai di situ dapat dipahami bahwa RKUHP tersebut bukan dalam rangka kebijakan otoriter, melainkan meminimalisir hate speech.

RKUHP tidak mengatakan bahwa ‘siapa yang mengkritik’, melainkan ‘siapa yang menyerang kehormatan’. Artinya, jika ada program yang mesti dikritik, lalu masyarakat mengkritiknya, menawarkan kebijakan yang seharusnya, presiden mustahil membawanya ke jalur hukum. Tetapi jika suatu kebijakan direspons dengan caci-maki dan cemoohan, sebagaimana lumrahnya oposisi mengkritik dengan menyerang fisik dan kehormatannya, yang demikian apakah layak dibiarkan?

Lagi pula, kenapa para aktivis ikut marah? Apakah mereka mau menghina dan menyerang kehormatan seorang presiden?

Justru ini langkah untuk mengeragngkeng para oposan radikalis yang kehabisan bahan kritik kecuali dengan menghina fisik presiden. Mereka yang tidak boleh dikasih ruang. Dan presiden memiliki hak melaporkan mereka, hak yang sama dengan ketika masyarakat biasa melaporkan orang lain atas kasus pencemaran nama baik. Sangat lumrah.

Hate speech yang biasa keluar dari oposisi radikalis, utamanya, sangat destruktif. Tidak ada tawaran solusi, sekadar kritik cacian belaka. Jelas itu mesti diminimalisir, dan presiden tidak bisa dikata antikritik karena upaya tersebut. Masalahnya tidak seteruk yang tengah jadi pro-kontra. Kalau kita mengkritik dengan bijak, dengan tawaran solusi, tidak akan ada yang menjebloskan ke penjara. RKUP tersebut tidak akan mampu dan tidak berlaku untuk kritik yang konstruktif.

RKUHP tersebut hendak menjerat penyerang atau penghina kehormatan, yakni pribadi dan fisik presiden, seperti menganggap kurang gizi misalnya. Hate speech, terutama untuk pemimpin, memang harus diminimalisir. Jadi bukan hendak memenjarakan kritikus yang konstruktif dan bijaksana, RKUHP tidak senaif itu.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru