26.1 C
Jakarta

Muhammad Rizieq Shihab, Quraish Shihab, dan Habib Lutfi

Artikel Trending

Milenial IslamMuhammad Rizieq Shihab, Quraish Shihab, dan Habib Lutfi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Muhammad Rizieq Shihab semakin viral. Sejak kembalinya dari Arab Saudi, sampai penjemputan, perayaan Maulid Nabi, hingga perayaan nikah anaknya menjadi tilikan banyak orang. Bahkan kasus-kasusnya hingga hari ini yang belum selesai-selesai (dan dihentikan) menjadi perdebatan dan tanda tanya panjang sekian banyak orang.

Banyak harapan yang mengembang dari publik luas akan kepulangan Rizieq Shihab. Bahwa berpulangnya Rizieq Shihab kiranya bisa menyejukkan suasana dan memberi warna segar bagi umat (muslim) Indonesia. Publik luas menginginkan Rizieq Shihab dapat menyatukan umat yang masih terbelah akibat polarisasi politik identitas.

Tapi apa kenyataannya? Harapan itu tak sampai. Sejak kembalinya, ribuan mata publik melihat fenomena yang jauh dari rasa kemanusiaan: yaitu Rizieq Shihab dan pengikutnya tak menaati tata aturan yang sedang dan telah manusia Indonesia praktikkan dan diberlakukan.

Muhammad Rizieq Shihab dan pengikutnya melanggar protokol Covid-19, membuat kerumunan, dan tidak menaati aturan-aturan/perintah-perintah pemerintah yang telah disepakati bersama. Bahkan dampak seremonealnya, jalan protokoler Jakarta macet, fasilitas-fasilitas umum di bandara tempat ia singgah rusak, dan penerbangan teralihkan (Tirto, 11/11/2020). Suatu “ulah” satu orang yang menyebabkan madharat ratusan bahkan ribuan orang.

Begitu juga di hari-hari selanjutnya. “Onar kebisingan” makin membumbung tinggi ke langit-langit Indonesia. Lantaran, saat memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, di depan ribuan umatnya, Rizieq Shihab melontarkan bahasa-bahasa yang bagi banyak orang tidak sopan. Yaitu: mengatakan “lont*” kepada salah satu artis terkenal tanah air: Nikita Mirzani. Bahkan ujung daripada itu, silang saling ocehan dan pendapat negatif sampai saat ini masih bergentayangan nan berdentangan. Wajah publik merintih dalam kebisingan yang tak mengindahkan bangsa yang masih termehek-mehek dari gempuran wabah pandemi corona yang keras.

Muhammad Rizieq Shihab sebagai tokoh umat Islam (Front Pembela Islam), melontarkan kata lont* kepada perempuan yang belum ada bukti konkrit baik dalam konteks hukum negara dan Islam. Dari itu, menurut banyak orang adalah hal yang tak pantas: sebab merendahkan martabat manusia. Meski hal apapun itu adalah hak utuhnya.

Namun yang perlu kita tahu, muslim dilihat oleh banyak kalangan umat manusia dan agama-agama lain bukan karena baju dan segala yang menutupi badan. Tapi dilihat dari perkataan dan akhlak perilaku. Singkatnya, seperti kata Ali bin Abi Thalib, orang melihat umat muslim bukan dengan melihat/membaca Qur’an kitab sucinya, melainkan melihat/membaca perbuatan akhlak muslim-muslimahnya.

Belajar dan Menimbang

Sampai di sini apa yang bisa kita cerap? Banyak. Salah satunya, sebagai seorang muslim kita memang sepantasnya bertutur kata yang bijak dan lembut. Karena hanya itulah yang kita punya di dunia. Seseorang bahkan makhluk hewan pun akan merasa tersinggung dan sakit manakala ia diinjak-injak dan dilecehkan dengan perkataan dan tindakan yang tidak sedap: menyakitkan. Bahkan terkadang ketika manusia membuat hidup bangsa hewan merasa tak nyaman, mereka juga akan berteriak dan berbalik: melawan dan membalas.

Dari kasus Rizieq di atas, perdebatan demi perdebatan makin merebak. Silsilah keturunanan dan kata Habib yang menempel di depan namanya banyak kalangan meributkan. Surat-surat kabar otoritatif juga mengabarkan. Katanya, “pesan yang menyebutkan bahwa Muhammad Rizieq Shihab keturunan ke-38 Nabi Muhammad SAW yang ditetapkan Kerajaan Arab Saudi sebagai keturunan Nabi menjadi pertanyaan panjang” Solopos (17/11/2020).

Solopos (17/11/2020), dalam cek faktanya menyebutkan, “hingga kini belum ada pernyataan resmi dari pemerintah Arab Saudi maupun media sumber utama mengenai klaim tersebut. Informasi ini yang awalnya diunggah situs Dakwah Media pada 12 Januari 2018 dengan headline “Kerajaan Arab Saudi Tetapkan Habib Rizieq sebagai keturunan ke-38 Rasulullah.” Namun, menurut cek fakta Solopos, foto yang diunggah, yang memperlihatkan Rizieq Shihab bersama Raja Salman merupakan foto palsu. Foto itu merupakan editan warganet yang diunggah pada Maret 2017. Klaim ini merupakan hoaks dengan hubungan katagori yang salah (false connection).

Dimensi lain yang disorot ribuan mata publik Indonesia adalah privilegenya. Dan itu menimbulkan pertanyaan besar: mengapa pemerintah seakan takut menertibkan gelombang massa Rizieq Shihab? Bahkan otoritas Muhammadiyah, ormas terbesar di Dunia melontar pernyataan: “pedagang kaki lima diuber, tapi kerumunan massa dibiarkan”, katanya. Mungkinkah otoritas seperti pemerintah daerah dan pusat sudah hangus kedigdayaannya? Saya dan mungkin Anda akan mengatakan tidak.

BACA JUGA  Beragamalah dengan Rasional di Tahun Politik

Tapi, hari-hari ini kita melihat sesuatu yang beda: status sosial seseorang, sepertinya boleh melakukan apapun: melanggar etika sosial, hukum agama, hingga aturan negara. Apa yang kita harapakan dari hal demikian? Tidak ada. Tapi penghinaan atas martabat orang (baik laki-laki dan perempuan, baik ke para petani, waria, hingga habib), harus diingatkan. Karena setiap manusia, tidak mungkin terlepas dari dosa, kesalahan, kekhilafan, dan an-an lainnya. Kendati, kita sebagai umat manusia biasa, patut selalu memberi contoh yang baik kepada umat dan berkata bijak kepada orang-orang apalagi awam. Karena kita diciptakan dan ditempatkan oleh Tuhan sebagai makhluk yang mulia (al-Isra: 70), baik dari sisi jasadiyahnya, nafsiyahnya, maupun dalam posisi sebagai masyarakat.

Apakah dengan mengatakan seperti di atas, kita su’ul adab dan tidak menghargai orang, tidak menghargai kehabiban orang? Seperti kata Jamaluddin Muhammad, sungguh pertanyaan itu tidak adil dan mengandung standar ganda. Sebab, kita, manusia, kita membutuhkan kritik dan peringatan. Karena sikap kita berpotensi melakukan hal yang salah (al-insan mahallu al-khata wa nisyan). Kita mengkritik diri sendiri bukan karena jeleknya wajah dan nasab keturunan, tapi karena kelakuan (sikap) kita. Begitu juga kepada lainnya, bukan karena ustaz, habaib dan kiainya, melainkan karena kelakuannya.

Nabi, Quraish Shihab, Habib Lutfi

Hal demikian telah dicontohkan Nabi Muhammad. Kesetaraan dan keadilan dan perbaikan menjadi pilihan kunci. Nabi SAW dihadapan sahabatnya pernah berucap janji, “Jika anakku, Fatimah mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya”. Sungguh betapa bijak dan digdayanya Nabi. Di posisi yang istimewa dan punya power, tapi tetap menjadi dan mengikuti aturan budaya yang ada. Barangkali benar seperti kata Muhammad, Rasul tidak akan menanggung dosa yang dilakukan anak keturunannya. Setiap orang menanggung dosanya sendiri (QS. al-Isra: 13).

Sampai di sini kita perlu merumuskan keadaan dan sadar. Bahwa tak semuanya yang kita anggap benar, suci nan istimewa adalah permata yang harus diangungkan melebihi batas-batas yang ditentukan Tuhan: Nabi SAW. Bahkan seperti guru Habib Quraish Shihab, tidak mau diagungkan layaknya keturunan Nabi.

Suatu hari saya belajar bersamanya. Di gedung yang sederhana, tarhampar kursi-kursi kosong. Tepat jadwal jam, M. Quraish Shihab, turun dari lantai 2 menggunakan tongkat mungilnya. Melangkah sederhana, sesekali menghadap kedepan dengan sorot matanya yang tajam. Tepat di turun tangga, beliau menghela nafas dan memperbaiki pegangan tongkatnya. Di antara kesebelasan tangga ia lalui. Di akhir tangga, beliu berhenti istirahat dan bernafas.

Saat itulah orang-orang satu ruangan terdiam. Kikuk dan tak bersuara. Pantat yang semula menempel di kursi, tiba-tiba terangkat sendiri: berdiri. Merunduk. Tapi begitulah M. Quraish Shihab, ia melangkah dengan wibawanya dan menyuruh orang-orang kembali duduk seperti semula. Karena baginya, teman-teman tak perlu melakukan penghormatan seperti itu untuknya.

Begitu juga gelar habibnya. M. Quraish Shihab tidak mau menyandangnya. Karena menurutnya, ia tak pantas. Gelar habib adalah gelar yang mulia dan tak semua orang bisa. Padahal kalau kita lihat M. Quraish Shihab, semuanya telah ada pada dirinya. Namun kesederhanaan dan kealimannya, ia tak menginginkan garis keturunan membuat jarak dirinya dengan orang-orang sekitarnya.

Termasuk juga Habib Lutfi. Di setiap tatapannya, mengandung khidmad. Mata sayunya, seperti meneduhkan. Ucapan-ucapan lirih nan khas, memberikan irisan kelembutan sendiri pada hati-hati yang beku. Dan sampai saat ini, M. Quraish Shihab dan Habib Lutfi, belum pernah berkata kasar kepada liyan. Barangkali ia telah selesai dengan dirinya sendiri.

Sampai di sini, di tengah kegayutan dan egoisme rona keagamaan, pantaskah kita bertanya: bagaimana cara kita bertuhan? Sungguh Tuhan harus dijadikan pengalaman dan perbuatan sebelum Tuhan dijadikan gambar dan perkataan.[]

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru