28.6 C
Jakarta

Revitalisasi Literasi di Era Digital

Artikel Trending

KhazanahLiterasiRevitalisasi Literasi di Era Digital
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tentunya juga memunculkan tantangan-tantangan baru. Kontemplasi pemikiran manusia berada pada ruang kecepatan yang segalanya bermuara pada industri. Apakah ini bisa dikatakan sebagai revolusi logika? Perlu sebuah rumusan baku, meski akan muncul antitesis dari teori-teori yang ada.

Pemaknaan sastra sebagai karya fiksi, tidak terlepas dari peran penting sumber-sumber literasi. Tanpa disadari, makin banyaknya penggunaan literasi, karena ruang kreatif yang kian terbuka dan tidak terbatas. Dalam hal ini, ruang digital menjadi medium yang banyak digunakan, mengingat akses informasi begitu cepat, termasuk juga dalam membangun iklim kreativitas.

Sebuah pertanyaan muncul, apakah alih teknologi modern ini telah menggeser cara-cara konvensional, yang beberapa dekade lalu menjadi sarana penyebaran informasi bagi masyarakat? Atau, apakah transformasi teknologi digital telah menempatkan kedudukannya sebagai wahana cerdas yang mengambil alih peran ruang kreatif untuk mengakomodasi konsep konvensional.

Beberapa tahun silam, jika kita bersentuhan dengan sumber dan wawasan literasi, maka buku menjadi alat untuk menjawab kebutuhan tersebut. Sebab dalam terminologi literasi, pemaknaan membaca dan menulis, tidak terlepas dari peran penting buku. Di mana buku menjadi cakrawala ilmu dan pengetahuan dalam proses edukasi apa pun.

Lama kelamaan, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemaknaan buku mulai menjadi anomali. Bergesernya konsep desain konvensional menuju ke arah transformasi digital. Rentang waktu ini berjalan secara alami, sementara di pelbagai bidang pekerjaan seakan menuntut perubahan yang lebih cepat, akurat dan sistematis.

Proses ini menjadi sebuah transisi keilmuan yang banyak bersentuhan dengan ruang metafisik keilmuan. Sebab, ilmu pengetahuan juga berhubungan dengan hal non-fisik atau tidak kelihatan. Dalam keterbatasan manusia, ilmu diciptakan sebanding dengan pergeseran zaman, yang hanya bisa dijawab lewat teknologi informasi.

Dalam konteks sosial, tentunya perubahan dan pergeseran ini memberikan dampak yang sangat signifikan. Mungkin, ini telah menjadi konversi revolusi sosial besar-besaran di mana manusia mulai meninggalkan jejak konvensional, yang dianggap sudah tidak sesuai dengan dinamika zaman modern.

Perabaan terhadap konsep modernitas, sering menjadi ambigu (makna ganda), karena makin banyaknya penggunaan istilah bahasa yang secara terminologi maknanya jadi samar, terutama dalam penggunaan literasi berbasis digital. Ambiguitas ini terjadi, karena tingkat pemahaman sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap  literasi digital masih rendah.

Kita tidak dapat membayangkan, ketika tidak ada pilihan lain, bahwa semua masyarakat harus bergantung pada kebutuhan internet, yang seyogianya hanya sebagai kebutuhan sekunder. Akan ada alibi pembenaran, karena itu sudah tuntutan zaman.

Bukankah kontemplasi nalar manusia yang mengendalikan semua sistem yang ada? Artinya, gambaran-gambaran ini sebagai bentuk keresahan dan ketakutan manusia secara implisit (terkandung di dalamnya, meski tidak jelas).

Deskripsi di atas tentunya bukan sebuah teori yang menggagas pertentangan kepada hal-hal yang berkembang dan digunakan pada masa kini, khususnya dalam ruang lingkup literasi. Bagaimanapun juga, alasan logis harus didasari oleh teorema analitik dan kajian keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Tidak bisa kita pungkiri munculnya banyak istilah literasi dalam ruang digital yang menafikan terminologi bahasa. Dalam perspektif pengetahuan, tentunya peran teknologi tidak dapat ditinggalkan, karena percepatan ilmu pengetahuan juga telah berada pada dimensi yang tidak hanya bisa digagas secara manual.

BACA JUGA  Mengenal Karakteristik Kejahatan Siber dengan Memahami Literasi Digital

Perubahan ini, memunculkan pelbagai tantangan dimensional yang tidak hanya semata mengandalkan kecerdasan manusia. Sebab, manusia tidak mampu bertindak seperti robot. Sementara dunia teknologi tidak akan mampu dikekang lajunya.

Salah satu cara efisien untuk mengendalikan lajunya sistem dalam ilmu pengetahuan dan teknologi adalah dengan cara menciptakan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Tetapi, sejauh mana tingkat kemampuan masyarakat dalam menjangkau kemajuan iptek ini?

Menelisik judul di atas, tentang revitalisasi literasi, tentunya perlu pemahaman secara utuh. Sebab, kita tidak hanya menghadapi pemikiran manusia, tetapi juga menghadapi revolusi sosial yang mengiringi perubahan zaman.

Jika kita melihat terminologi kata revitalisasi, dalam pemahamannya dapat diartikan sebagai proses atau perbuatan menghidupkan; atau menggiatkan kembali (sumber: KBBI-VI). Apakah ini memiliki pengertian, bahwa sejauh ini semarak literasi berjalan stagnan atau mengalami hibernasi (tidak aktif) cukup lama?

Dalam beberapa kasus, seyogianya kita belum mampu mendefinisikan indikator kualitas berliterasi secara objektif. Dan bagi pelaku literasi sendiri, melihat konsep ini sebagai ruang kreatif untuk menggagas imajinasinya sekedar hanya untuk kepuasan bagi dirinya dan sebagian kecil pembaca.

Konsep ini sering dimaknai dengan konsep pragmatis yang menempatkan pelaku atau pegiat literasi mencari cara dan jalannya masing-masing. Dalam kacamata penulis, apakah komunitas literasi sejauh ini banyak memberikan kontribusi dalam peningkatan sumber dan khazanah literasi?

Sebagaimana kita ketahui, bahasa tidak akan mampu terlepas dari kegiatan-kegiatan penggunaan sumber-sumber literasi. Ide dan gagasan dalam bahasa adalah pengolahan kalimat, yang keseluruhannya merupakan tekstur untuk memahami informasi dan pengetahuan.

Maka tentunya sangat diharapkan melalui pengolahan kalimat dalam giat literasi membuka ruang ide dan gagasan baru dalam proses edukasi secara luas. Meski literasi sangat identik dengan bahasa-bahasa yang memantik kesesuaian kata.

Dalam konteks ini, yang perlu menjadi perhatian serius adalah keberadaan literasi daerah atau lokal. Bahasa daerah adalah peninggalan tradisi dan budaya. Secara logika, literasi daerah seharusnya tetap terpelihara dan terjaga.

Faktanya, jika kita menggali keberadaan bahasa daerah, yang dalam perspektif kini, banyak yang tergerus bahkan hampir punah. Literasi berbasis daerah seperti diibaratkan gerbong kereta api modern yang harus seimbang dengan kemampuan dan kecepatan lokomotifnya. Maka, sangat naif jika lokomotif tersebut tidak dilakukan upgrading (peningkatan).

Merujuk pada kebutuhan nilai, tentunya tidak hanya bahasa dan sastra yang perlu diadakan revitalisasi. Peningkatan serta pembaruan UKBI dan KBBI seharusnya juga dibarengi dengan revitalisasi literasi. Bahkan, dalam rumusan peraturan perundang-undangan, pemerintah berkewajiban mempertahankan, mengembangkan serta merawat bahasa dan sastra (PP No. 57 Tahun 2014).

Sangat penting disadari, bahwa ada persoalan mendasar yang perlu dibenahi dalam langkah-langkah revitalisasi literasi secara utuh. Persoalan klasik yang sangat perlu diperhatikan adalah adanya dukungan teknis dari semua komponen insan literasi untuk memajukannya di tengah arus digitalisasi yang begitu pesat. Dukungan maesenas dalam merumuskan kebijakan pemerintah terhadap pelaku literasi adalah bagian yang tidak terpisahkan.

Gerakan revitalisasi literasi seyogianya bisa menjadi regulator dalam menumbuh-kembangkan kesadaran berbahasa. Sebagai pendingin sekaligus menjadi penghangat di tengah derasnya kemajuan teknologi.

Vito Prasetyo
Vito Prasetyo
Pegiat sastra dan peminat budaya. Mukim di Malang, Jawa Timur.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru