27.6 C
Jakarta

Resistensi Ulama Vs Deideologisasi?

Artikel Trending

Milenial IslamResistensi Ulama Vs Deideologisasi?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam beberapa hari ini, intoleransi, dan radikalisme di kalangan ulama dominan kuat. Pelbagai kebijakan pemerintah mereka respon secara reaktif, dan sistemik. Presiden Joko Widodo selalu mereka tuduh sebagai antek-antek paham komunis, anti-Islam, dan dianggap mengkriminalisasi ulama. Opini kebencian ini tidak patut disebar oleh sekelas ulama meski mereka oposisi.

Simbol perlawan ulama tampak terang-terangan pasca pemerintah membubarkan paham khilafah 2017 lalu, mengapa ulama kita hanya memandang soal bahaya laten komunisme, leninisme, dan marxisme saja? Lalu, bagaimana dengan paham khilafah yang ingin mereka tegakkan di negeri Pancasila ini? Apakah semua ideologi sama-sama berbahaya? Tentu, pasti.

Kepercayaan ulama kian hilang pada negara disebabkan ulah mereka sendiri yang menuduh pemerintah merupakan antek-antek komunis, dll. Wajar saja ketika negara, dalam hal ini pemerintah, menyimpulkan juga bahwa ulama pejuang ideologi eks HTI adalah antek-antek khilafah.

Negara yang memiliki kekuasaan tidak ingin perang ideologi total, sebab otomatis menimbulkan perpecahan, dan perselisihan di antara umat Islam dapat memuncak. Pada kenyataan ini, ikhtilaful ‘ulama telah mengikis persatuan, dan solidaritas sosial dalam bingkai keberislaman, dan kenegaraan.

Sehingga, berdasarkan penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta, ulama Indonesia terbelah menjadi tiga golongan. Pertama, ulama moderat. Kedua, ulama radikal. Ketiga, ulama salafi. Melalui survei keulamaan ini, kita dapat meneliti, dan mengetahui mana ulama yang betul-betul bersikap intoleran, serta tidak taat pada negara (radikal). (09/11/2020)

Melalui fenomena ideologi ini, kita interupsi. Ulama manakah yang masih lancang membangun propaganda di media sosial? Jawabannya, adalah ulama yang radikal. Di mana kebiasaan mereka tidak ingin situasi kerukunan, dan persaudaraan sesama umat Islam hidup secara harmonis.

Tatkala mereka ulama yang sungguh-sungguh menggunakan pendekatan moderatisme (tawassuth), maka tidak akan di antara kita. Bahkan, ulama sekalipun yang awalnya mempersoalkan komunisme berpotensi, juga menentang khilafatisme. Hal ini adalah referensi ulama moderat yang menjadi panutan seluruh umat Islam, dan umat dari berbagai golongan.

Deideologisasi

Pancasila kita jadikan falsafah dan dasar dalam bernegara. Lebih dari itu, praktik ideologi tersebut mampu mengharmoniskan hubungan Islam dan negara. Dengan hal ini, ulama radikal perlu menyadari bahwa tindakannya tidak patut dilakukan. Dan dalam kondisi yang tidak langsung mereka telah menampar keras pemerintah akibat tuduhannya yang tidak akurat.

BACA JUGA  Konsistensi Perjuangan Melawan Radikalisme

Di tengah-tengah resistensi ulama radikal, agenda deideologisasi adalah pola strategis dalam upaya menangkal paham khilafah yang berdampak terhadap perkembangan ideologi transnasional. Oleh karena itu, sumbangsi ulama moderat sangat dibutuhkan oleh negara untuk menyadarkan siapa pun yang membesar-besarkan komunisme hingga juga khilafatisme.

Di sisi lain, misi pemutusan ideologi transnasional. Seperti halnya, kelompok ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Dalam konteks ini, ulama yang radikal merupakan ancaman serius bagi kehidupan berislam. Terlepas ancaman tersebut mengarah kepada keselamatan manusia maupun ideologi.

Sepenting apakah deideologi radikalisme di kalangan ulama? Tentu, sama dengan pentingnya merawat kerukunan, toleransi, perdamaian, dan persaudaraan. Sebab belakangan ini ulama kita sangat rentan terpapar paham radikal yang bisa menyebabkan generasi Indonesia terpecah-belah.

Perubahan atas pola pikir ulama radikal ke moderat perlu peran negara, dan forum keulamaan. Misalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI). Artinya, sebagai forum ulama yang menjadi tempat konsultasi pemerintah dalam hal paham keagamaan dan keislaman harus memberikan mereka kesadaran.

Kesadaran apa yang harus kita dorong? Yaitu kesadaran terhadap pentingnya membangun hubungan Islam dan negara supaya hidup toleran, dan harmonis. Terutama soal bagaimana mereka ikut andil menangkal ideologi ulama radikal yang selalu merongrong dan menganggu ketertiban pemerintahan.

Generasi Moderat

Mengapa kita perlu ulama moderat? Karena sepanjang radikalisme ulama muncul di negeri ini, ketenangan negara dan masyarakat akan selalu terganggu oleh hasutan, dan kebencian yang mereka sebar-luaskan. Sehingga, fenomena ulama radikal harus segera ditumbangkan oleh kekuasaan sebelum dakwah, dan gerakan, serta tindakan mereka itu mengacaukan pikiran umat Islam.

Islam yang mengharuskan kita untuk meneladani ulama. Tetapi, ulama yang memiliki pemikiran yang moderat baik dari sisi keberagamaan maupun keberislaman. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad Saw, bahwa ulama adalah pewaris nabi. Ketika mewarisi sifat-sifat kenabian mereka harus bersikap toleran, sopan-santun, dan menghindari dari perilaku keburukan.

Kita semua perlu mewarisi sikap, dan pemikirannya. Paling tidak, langkah ini menjadi modal efektif untuk menangkal kerentanan ulama pada radikalisme. Keberadaan moderasi Islam, dan sekolah pengkaderan ulama patut kita dorong kedepannya baik itu oleh masyarakat, dan juga negara.

Gagasan demikian harus diproyeksikan mampu menciptakan ulama-ulama baru yang menggunakan metode pemahaman Islam moderat. Alhasil, generasi ulama tersebut menjadi pintu utama menjaga ideologi Pancasila dari pergantian ideologi lain.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru