27.7 C
Jakarta

Residu Pembubaran HTI: Propaganda Sporadis Khilafah yang Membahayakan NKRI

Artikel Trending

Milenial IslamResidu Pembubaran HTI: Propaganda Sporadis Khilafah yang Membahayakan NKRI
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Saya membaca esai Zopfan Aseanata Bayudhita, seorang anggota Polri, yang berjudul “Relation Between Hizbut Tahrir Indonesia and Terror Group” di jurnal Ilmu Kepolisian, dan menemukan beberapa hal menarik. Selain menguraikan hubungan erat HTI dengan kelompok teror di Indonesia, kesimpulan Zopfan memantik pertanyaan besar dalam diri saya: benarkah Perppu Ormas yang membubarkan HTI itu punya dampak buruk?

Residu—begitu saya mengistilahkan dampak buruk tersebut—yang dimaksud berkaitan dengan narasi dan gerakan destruktif HTI yang justru marak setelah organisasi itu dibubarkan. Zopfan memaparkan sejumlah aksi di mana HTI menyusup di dalamnya, antara lain Aksi Bela Islam 212 dan Aksi Bela Palestina. Pada kedua aksi tersebut, bendera HTI berkibar-kibar, yang artinya HTI belum mati kecuali ‘di atas kertas’.

Menurut Zopfan, dalam berbagai aksi, terlihat bendera perang Islam, beberapa berwarna hitam dan beberapa berwarna putih—mirip simbol bendera HTI namun bukan bendera HTI secara eksplisit. Sehingga, aparat tidak memiliki otoritas untuk menyita bendera tersebut karena secara teknis bukanlah simbol HTI. HTI dengan cerdik melakukan aktivitas tersembunyi: membangkitkan spirit psikologis umat untuk menegakkan khilafah.

Bahkan, dalam Aksi Bela Palestina pun, kata Zopfan, ditemukan spanduk yang bertuliskan “Solusi Palestina Hanya 2: Khilafah dan Jihad.” Artinya, HTI mungkin tidak lagi melakukan aktivitas secara legal yang berpotensi memidanakan mereka, namun kenyataannya mereka masih tetap eksis dan terus melakukan aktivitas dengan menyatu dalam berbagai event keagamaan di satu sisi, juga dengan elemen kelompok radikal-ekstrem di sisi lainnya.

Propaganda sporadis khilafah yang memanfaatkan berbagai kesempatan untuk mengindoktrinasi umat tersebut jelas membahayakan NKRI. Jika aparat dan hukum tidak segera bertindak, misalnya untuk membuat regulasi responsif untuk menangkal HTI, maka negara ini sedang menuju titik riskan: disintegrasi bangsa. Inilah residu Perppu Ormas yang awalnya bertujuan melemahkan HTI, justru menambah masif gerakan mereka.

HTI Mengelabui Aparat dan Hukum

Harus diakui, pembubaran HTI 2017 silam menandai langkah penting pemerintah menekan organisasi yang anti-NKRI. HTI, yang mengusung konsep khilafah dan menolak demokrasi dan Pancasila, secara hukum menjadi ilegal dan aktivitasnya dilarang. Sayang sekali, HTI menemukan cara baru untuk tetap bergerak dan mempromosikan agenda mereka, yang saya sebut residu karena terjadi justru pasca-pembubaran itu sendiri.

Dalam berbagai momentum, HTI menggunakan simbol-simbol yang mirip dengan simbol mereka namun tidak persis sama, sehingga aparat tidak memiliki dasar hukum untuk menindak. Lihat saja Aksi Bela Palestina baru-baru ini, yang dipenuhi kibaran bendera mirip punya HTI. Tetapi aparat keamanan dan penegak hukum hanya bisa mengamati saja—tidak bisa menindak tegas karena tak dijumpai pelanggaran hukum yang eksplisit.

Kamuflase tersebut memperlihatkan kelihaian HTI memanfaatkan celah hukum. Secara sporadis, mereka mempropagandakan ideologi khilafah melalui cara-cara yang lebih sulit untuk dijerat hukum. Itulah yang saya sebut residu pembubaran HTI: ketika kelompok terlarang bermetamorfosis menjadi gerakan sporadis dalam berbagai event sosial-keagamaan yang menyulitkan aparat untuk melakukan tindakan efektif.

BACA JUGA  Hati-Hati! Pengkhianatan Aktivis Khilafah Kian Kentara untuk Indonesia

Saya menyebut propaganda mereka sporadis karena hari ini narasi khilafah tidak lagi fokus menjadi tugas kelompok, melainkan tugas individual para simpatisan HTI sesuai kadar militansi mereka. Simpatisan HTI yang tinggal di berbagai daerah bergerak secara masing-masing, memanfaatkan event apa pun, dengan tujuan yang sama yaitu menuntut tegaknya khilafah di NKRI. Tentu saja, hal itu sangat membahayakan.

Pembubaran HTI telah menciptakan tantangan baru bagi aparat dan hukum di Indonesia. HTI, dalam bentuknya yang baru dan lebih terselubung, menjelma sebagai ancaman nyata yang boleh jadi lebih berbahaya daripada sebelum dibubarkan. Dengan mengelabui aparat dan hukum, mereka bebas menebar propaganda dan menarik simpati umat melalui berbagai event besar, tanpa ada yang bisa menindaknya. Sungguh ironis.

Strategi Menangani HTI Pasca-Pembubaran

Untuk menghadapi ancaman yang telah diuraikan tadi, diperlukan regulasi lanjutan yang meneruskan cita-cita Perppu Ormas tahun 2017 lalu. Langkah-langkah umum seperti meningkatkan kesadaran publik ihwal bahaya laten HTI untuk NKRI, menguatkan kapasitas aparat, dan monitoring berbagai event islami bisa segera dilakukan untuk menangani HTI pasca-pembubaran.

Namun yang paling penting, sebagaimana pernah sekali saya singgung pada tulisan yang lalu, ialah pengembangan regulasi yang adaptif dan relevan dengan keadaan sekarang. Regulasi yang dimaksud harus lebih tegas daripada Perppu Ormas, sehingga tujuan utamanya untuk menghalau gerakan dan propaganda HTI pasca-pembubaran sangat terasa. Bahkan jika regulasinya nanti bersifat represif, itu tidak jadi masalah.

Kesuksesan HTI menginfiltrasi diri dalam berbagai event keagamaan di satu sisi, dan semakin tingginya animo masyarakat—terutama generasi muda, yang memang selalu jadi incaran HTI—terhadap Khilafah Tahririyah di sisi lainnya, adalah bukti konkret bahwa tindakan tegas melalui regulasi yang represif sekalipun perlu segera dilakukan. Jika tidak, maka hanya soal waktu bahwa NKRI akan segera terpecah-belah dan terdisintegrasi.

Karenanya, sangat krusial bagi seluruh elemen bangsa: pemerintah, aparat keamanan, dan masyarakat sipil, untuk bersatu mencegah mafsadah nasional yang akan HTI ciptakan. Dengan memahami strategi yang digunakan oleh mereka di satu sisi, juga di sisi lain mengambil langkah-langkah proaktif untuk mengentaskannya, pasca-pembubaran HTI tidak akan menjadi residu yang mengancam tanah air.

Jadi, kesimpulannya, Perppu Ormas atau pembubaran HTI bukanlah langkah final, melainkan langkah awal melindungi NKRI dari ideologi yang kontra-Pancasila. Namun, regulasi tersebut harus dilanjutkan dengan yang lebih komprehensif dan adaptif untuk menangani ancaman teraktual, seperti yang HTI hari-hari ini lakukan. Regulasi teraktual diproyeksikan untuk mengatasi ampas pembubaran HTI, juga untuk mengentaskan HTI hingga ke akar-akarnya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru