31.2 C
Jakarta

Relevansi Pancasila di Sepanjang Zaman

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuRelevansi Pancasila di Sepanjang Zaman
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Wawasan Pancasila, Penulis: Yudi Latief, Tebal halaman: 460 halaman, Tahun terbit: Juli 2020, Edisi Komprehensif, Penerbit: Mizan.  ISBN: 6024410891 / 9786024410896. Peresensi: M. Nur Faizi.

Harakatuna.com – Banyak yang menganggap bahasan Pancasila adalah bahasan yang usang. Berbagai alasan dimunculkan untuk membungkus sikap ini sebagai sebuah kebenaran. Namun bagaimanapun bentuk alasan itu, Pancasila adalah simbol negara yang mewakili perjuangan pahlawan sebelumnya dalam merumuskan bentuk negara yang ideal.

Maka, buku “Wawasan Pancasila” karya Yudi Latief berusaha menggali lebih dalam apa makna Pancasila sebenarnya. Kemudian memaparkan urgenitas dan relevansi Pancasila bagi manusia modern. Sehingga harapannya, anggapan Pancasila yang harus dilupakan bisa ditarik ulang.

Keterbukaan informasi di zaman modern, memunculkan dilema tersendiri bagi sebuah ideologi. Relevansi Pancasila terus menerus diuji dengan berbagai macam ideologi lain yang mudah sekali ditemui di laman pencari. Misalnya ideologi radikalisme yang mengkritik Pancasila terlalu lembut dalam penanganan masalah. Radikalisme menawarkan solusi cepat dalam penyelesaian masalah, yaitu memunculkan satu solusi, kemudian menghabisi solusi lain yang bertentangan dengan solusi utama.

Prinsip seperti ini, menurut ideologi radikalisme sah-sah saja dilakukan untuk mempersingkat waktu dan pengurasan tenaga yang lebih ekstra. Akan tetapi, ideologi seperti itu ditangkis oleh Pancasila dengan adanya sila ke-2. Pancasila mengutamakan prinsip kemanusiaan. Dimana perundingan menjadi momen penting untuk memupuk kebersamaan dan meenghindari percecokan saat sebuah solusi dijalankan.

Oleh karena itu, Pancasila tidak mengenal kasta dalam menjalankan musyawarah. Setiap orang yang hadir dalam musyawarah tersebut, dianggap sama dan berhak menyatakan suaranya [hlm. 18]. Karena bisa jadi, meskipun pangkat yang dimiliki rendah, namun ide-ide yang dimunculkan bisa jadi solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan. Di sini Pancasila berusaha mengajarkan manusia untuk lebih sopan kepada siapa saja tanpa memandang pangkat yang disandang.

Meskipun begitu, Pancasila tetap mempunyai sifat yang terbuka. Pancasila mempunyai undang-undang untuk mengatur segala tatanan yang lebih sempurna. Undang-undang inilah yang akan membatasi siapa saja yang harus dikenakan hukuman. Pancasila tidak memukul rata hukuman bedasarkan perbedaan pendapat yang ada. Akan tetapi, Pancasila lebih menekankan hukuman bedasar bobot kesalahan yang dilakukan seseorang.

Di sinilah letak sikap yang harus benar-benar diperhatikan dalam memilih suatu ideologi. Dimana pertimbangan menjadi hal utama yang dilakukan. Seperti contoh di awal, kita bisa saja membandingkan ideologi Pancasila dengan ideologi Radikalisme dari bermacam-macam sudut pandang. Dari sudut pandang keluasan berpikir, memperlakukan seseorang, hingga caranya menjatuhi hukuman secara adil adalah konsepsi yang bisa diterapkan dalam perbandingan.

BACA JUGA  Penanganan Terorisme di Indonesia: Perspektif Kebijakan Hukum Pidana dan Non-Pidana

Yudi Latief menulis buku “Wawasan Pancasila” dengan keluasan wawasan. Relevansi Pancasila digambarkan mampu beradaptasi di berbagai suasana lingkungan [hlm. 22]. Dalam adat istiadat misalnya, Pancasila tetap berdiri utuh mempertahankan karismanya sekaligus menjalin keramahan terhadap budaya tersebut. Atau misalkan ada pertentangan antar budaya, Pancasila bisa digunakan sebagai titik temu penyelesaian masalah.

Maka sejatinya, sejak pertama kali disusun oleh pendiri bangsa, Pancasila secara kental disusupi  unsur persatuan [hlm. 42]. Pancasila mencegah seseorang atau kelompok orang untuk sebisa mungkin tidak keluar dari barisan. Hal ini bisa dilakukan melalui upaya negosiasi ataupun revisi pada keputusan yang telah ditetapkan.

Banyak yang menganggap cara ini sebagai tindakan yang kurang tegas. Namun apabila pola negosiasi tidak dilakukan, dikhawatirkan seseorang ataupun kelompok orang yang keluar dari barisan membentuk kelompok sendiri yang terus menerus mengganggu keputusan yang diambil sebelumnya.

Langkah antisipasi di awal dipilih sebagai jalan terbaik, dibandingkan melakukan upaya pembabatan hak yang berakhir pada ketersinggungan dan munculnya pihak lawan [hlm. 63]. Sebisa mungkin Pancasila meminimalisir konflik-konflik yang terjadi, baik sebelum, sesudah, ataupun saat proses menjalankan keputusan.

Tidak heran jika dalam buku “Wawasan Pancasila” Yudi Latief secara terang-terangan menegaskan posisi Pancasila sebagai kebutuhan primer manusia modern. Pancasila menjadi satu domain yang terus menerus dimunculkan untuk mempererat ketahanan negara. Perselisihan yang datang dari luar ataupun dalam negeri bisa diselesaikan menggunakan acuan Pancasila.

Pun masalah sosial antarmanusia juga bisa diselesaikan melalui Pancasila. Maka saya rasa, di era digital seperti sekarang ini, nilai-nilai Pancasila harus benar-benar dibuka di media. Pancasila harus dikenalkan kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Tujuannya, sebelum masyarakat menimbang akan ideologi yang bertolak belakang dengan Pancasila, mereka sudah benar-benar memahami akan makna Pancasila sebenarnya. Sehingga mereka akan menemuka bahwa Pancasila adalah ideologi yang relevan untuk bangsa Indonesia di masa dulu hingga masa sekarang.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru