29 C
Jakarta

Rekrut Teroris Milenial dengan Komunikasi Kesetaraan

Artikel Trending

KhazanahOpiniRekrut Teroris Milenial dengan Komunikasi Kesetaraan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ketika berbicara rekrutmen teroris yang tengah marak di kalangan milenial, saya jadi ingat Cak Nun. Saya terkagum dengan jepretan kamera yang menggambarkan sosok Cak Nun tetap teguh berdiri dalam suasana banjir untuk berceramah. Di sekeliling beliau berdiri ribuan manusia yang tetap setia mendengarkan meskipun suasana masih hujan. Mereka semua terlihat syahdu dalam alunan ceramah yang menyisir hati.

Bagi saya, foto tersebut memberikan pelajaran berharga akan cara indoktrinasi secara cepat dalam masyarakat luas. Komunikasi hanya bisa dicapai apabila kedua pihak mensejajarkan derajatnya. Dan benar, di sana Cak Nun berusaha mensejajarkan dirinya dengan masyarakat.

Beliau tidak hanya berteriak mengajak kebaikan dalam panggung megah lengkap dengan tenda agar tidak kebasahan saat hujan. Namun beliau turun langsung dalam kubangan air untuk langsung merasakan keadaan masyarakat yang mendengarkan ceramahnya.

Cara tidak biasa yang dilakukkan Cak Nun, akan mengukir memori yang sulit dilupakan oleh warga sekitar. Ceramah Cak Nun tidak hanya menjadi nasihat, yang kemudian didengarkan oleh masyarakat. Namun juga meresap dalam hati berkat tindakan tidak biasa, yang mendukung keyakinan masyarakat bahwa Cak Nun ada untuk mereka.

Jika mengulik memoar tentang Cak Nun, tidak akan ada habisnya. Terlalu banyak cara-cara beliau dalam ceramah yang mampu mengesankan hati setiap insan untuk duduk bersila sambil tersenyum bahagia. Cak Nun selalu menerapkan sistem kita harus bahagia sebelum melakukan aktivitas apapun, dan tidak terkecuali saat ngaji bareng.

Oleh karenanya, pendengar setia dari ceramah Cak Nun tidak hanya dari kalangan orang tua yang sudah paham akan seluk beluk kehidupan. Namun juga anak muda yang sedang mencari jati diri dirinya.

Saya rasa cara seperti ini banyak terpraktikkan dalam rekrutmen teroris milenial. Dalam perekrutannya, mereka menyejajarkan terlebih dahulu posisinya agar komunikasi berjalan lancar. Pun dalam sasarannya, mereka mengincar golongan muda yang masih minim pengalaman dan membutuhkan pelampiasan. Ada satu lagi keuntungan perekrutan anak muda, yaitu energi yang masih prima dan semangat yang berapi-api.

Biasanya dalam menyejajarkan posisi, mereka mencari terlebih dahulu masalah terbesar apa yang sedang lawan bicaranya hadapi. Sebisa mungkin mereka menjadi sosok pahlawan yang datang dalam hidup targetnya. Mereka mengeluarkan segala sesuatu, termasuk uang untuk menolong targetnya. Ketika target sudah diikat rasa kepercayaan, maka saatnya indoktrinasi mulai mereka susupkan.

BACA JUGA  Kaffah Tanpa Khilafah, Kenapa Tidak?

Kata-kata yang didengungkan kelompok teroris ini, bukan hanya ceramah biasa. Dengan unsur kepercayaan yang sudah mereka tanamkan, kata-kata dari mulut mereka bisa menjelma menjadi perintah yang sulit korbannya tolak. Bagi targetnya, kelompok teror adalah orang baik yang sudah mau bersusah payah membantunya. Balas budi harus ia lakukan, untuk membalas kebaikan.

Tidak heran dalam kutipan pidato, Soekarno berkata “Berilah 10 anak muda, maka akan kuguncang dunia”. Keyakinan Soekarno akan potensi kalangan muda bukan berdasar pertimbangan yang matang. Namun jauh sebelum kata itu terucapkan, Soekarno telah melalui berbagai macam pengalaman dan riset panjang. Terbukti, peristiwa kemerdekaan Indonesia bisa tercipta atas andil golongan muda.

Soekarno percaya, 10 anak muda yang didoktrin dengan visi yang sama dan militan akan mampu mengendalikan ribuan orang. Apalagi ditambah dengan fisik yang kuat dan semangat berapi, lengkaplah sudah senjata yang dimiliki. Anak muda akan bergerak serentak dan tidak mudah dipatahkan semangatnya oleh keraguan. Apabila mereka sudah menancapkan sebuah tujuan, kuat kemungkinan mereka akan terus mengejar hal tersebut sampai mendapatkannya.

Keuntungan seperti inilah yang dilirik oleh para teroris militan untuk memperkuat organisasi mereka. Pasukan anak muda tidak akan mudah runtuh oleh seruan-seruan nasionalisme dan cinta NKRI. Bahkan mereka rela mengorbankan nyawa asalkan tujuan hidupnya bisa terpenuhi. Kelompok teror melihat hal ini sebagai peluang yang harus dimaksimalkan.

Melihat serangan teroris milenial yang belakangan ini terjadi, harus dijadikan peringatan keras karena bisa jadi itu hanya permulaan. Bisa jadi serangan oleh teroris yang terjadi belakangan ini merupakan awal dari rentetan panjang serangan yang akan mereka lancarkan. Dan jelas, anak muda adalah sasaran utama yang akan menjadi pelaku dalam pelaksanaan teror selanjutnya.

Pola komunikasi harus diperbaiki. Anak muda harus mendapatkan perhatian lebih agar tidak salah menafsirkan kekuatannya. Komunikasi yang nyaman akan membantu mereka memperoleh pendidikan cinta negara dan Pancasila yang lebih mendalam. Maka, tidak ada cara lain untuk mengatasi gelombang teror anak muda selain menjalin komunikasi efektif dengan mereka.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru