28.6 C
Jakarta

Refleksi Mayoritas dan Keniscayaan Toleransi Sesama

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuRefleksi Mayoritas dan Keniscayaan Toleransi Sesama
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Laki-Laki Yang Tak Berhenti Menangis (Kumpulan Kisah Islami Penyejuk Hati), Penulis: Rusdi Mathari, Penerbit: Buku Mojok, Cetakan: Kedelapan, Mei 2021, Tebal: viii + 115 halaman, ISBN: 978-602-1318-80-5, Peresensi: Ali Yazid Hamdani.

Harakatuna.com – Islam rahmatan lil alamin yang menghargai perbedaan, menjunjung tinggi kemanusiaan, cinta perdamaian, tidak gampang menyulut amarah dihadirkan dalam buku “Laki-laki yang Tak Berhenti Menangis: Kumpulan Kisah Islami Penyejuk Hati” karya Rusdi Mathari. Buku tersebut dikemas dalam bentuk kisah-kisah apik dan menyejukkan, sarat akan hikmah dan melalui refleksi Cak Rusdi yang mengandung pesan-pesan teduh. Tentu, ia juga memberikan stimulus pada pembaca agar senantiasa turut merefleksikan diri dari kisah dengan beragam realitas keberagamaan yang kita hadapi saat ini.

Buku ini hadir sebagai payung teduh, di iklim panas sikap keberagamaan yang dipenuhi upaya takfir, pelabelan bid’ah, sesat-menyesatkan, me-neraka-kan yang tak sama pandangan, dan cenderung merasa paling benar, alhasil yang lain sudah pasti salah. Karena sudah salah, pantas di nerakaNya, tak pantas menginjakkan kaki di surgaNya.

Banyak manusia yang mengaku benar, padahal salah saja mereka tidak punya. Mereka mengaku pintar, padahal bodoh saja tidak punya,” pesan singkat tapi mendalam yang dialamatkan sang guru kepada Cak Rusdi (hlm. 20), yang juga menjadi judul bukunya yang lain Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya (2016).

Soal minoritas dan mayoritas pun tak luput menjadi perhatian Cak Rusdi dalam tajuk esainya, Cathala. Betapa banyak nasib minoritas menanggung diskriminasi oleh mayoritas. Superioritas kalangan mayoritas tak terhindarkan, Cak Rusdi menyuguhkan beberapa fakta yang terjadi di berbagai belahan dunia. Kita lihat bagaimana proses pembuatan masjid di daerah mayoritas non-Muslim.

Di Inggris, misalnya, pendirian masjid di dekat areal Olimpiade 2012 telah ditentang besar pemerintah segenap warganya bahkan sejak masih dalam bentuk proposal, di Swiss kaum nasionalis pernah berduyun-duyun membangun masjid di negaranya.

Di Italia juga tak kalah sengitnya. Penduduk setempat melempari pintu utama menuju masjid dengan sosis saat proses pembangunan, dan Kanselir Jerman, Angela Merkel juga turut menyerukan agar para anggota parlemen berhati-hati dengan pembangunan masjid di Jerman (hlm. 10-11). Di daerah Creteil, Prancis, meski sampai selesai proses pembangunan masjidnya pun banyak menuai protes sebelum itu terwujud.

Siapa sangka di Indonesia pun turut memeriahkan problem mayoritas minoritas ini, di Bekasi, Jawa Barat sekelompok massa yang mengatasnamakan umat Islam Bekasi, menolak pembangunan gereja sembari memekik takbir agar pemerintah mencabut izin pendirian Gereja Santa Clara meski semua proses syarat dan izinnya telah selesai. Alhasil pemerintah daerah mengamini hal tersebut. Padahal gereja ini telah ada sejak 11 Agustus 1998 jauh sebelum protes itu meledak (hlm. 11).

Hal ini pun mengingatkan saya pada sebuah buku yang ditulis Seno Gumira Ajidarma yang bertajuk Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, “jadi sekarang bukan penguasa yang melarang ya, tapi ‘ma-yo-ri-tas’,” begitulah ucap Marco, cowok si Sophie melalui video call yang mendengar ceweknya terusir, lantaran menyanyi di kamar mandi yang suaranya membuat para suami ibu-ibu yang ada di gang tersebut klepek-klepek. Juga membuat mereka dingin di depan istrinya dan dianggap meresahkan, mengganggu stabilitas hubungan keluarga (hlm. 75-87).

Tak di mana pun, minoritas memang kerap kali mendapatkan tekanan dan dianggap warga kelas dua, dituntut agar senantiasa hormat pada mayoritas. Apa pun kehendak mayoritas, sesegera mungkin haruslah terkabul.

Di beberapa judul kisah yang berbeda pun kerap menampilkan bagaimana potret kisah minoritas menghadapi mayoritas (hlm. 103-106).  Tidak hanya itu kisah-kisah ciamik cukup membantu menemani kita sebagai pelajaran dan memetik hikmah-hikmah kehidupan. Bagaimana seharusnya menjalani kehidupan dan bagaimana bertetangga, berhubungan secara baik (mu’asyarah bi al-ma’ruf) dengan mereka yang berbeda sekalipun, baik karena perbedaan agama maupun ras, dan lainnya tanpa harus dibatasi sekat SARA lagi, terlebih terhadap mereka yang memiliki kesamaan dalam iman dan berbangsa.

BACA JUGA  Menyelisik Intoleransi sebagai Titik Tolak Terorisme

Buku ini bukan untuk menggurui, tapi menghadirkan kisah islami sebagai teman penyejuk hati, peneduh hubungan antar sesama. Spirit humanisme yang disuguhkan untuk kembali mengorek dan mempertanyakan segala tindak-tanduk yang kita lakukan selama menjadi mayoritas ini apa telah memberikan yang terbaik bagi minoritas?

Mungkin kita telah lupa bahwa tidak satu pun ayat yang melarang mendirikan tempat sesembahan agama lainnya, tidak pula untuk berkeyakinan seragam atau Islam seluruhnya (QS. al-Baqarah: 256). Bukankah keragaman adalah hal niscaya yang tak bisa kita tolak hadirnya, bahkan merupakan kehendak-Nya? Lantas mengapa yang mayoritas seolah punya kuasa nan superior atas minoritas? Mayoritas-minoritas hanya soal jumlah bukan soal penindas dan yang tertindas. Semua itu tidak boleh dibiarkan.

Mayoritas dan Tantangan Toleransi

Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, kelompok mayoritas memiliki peran signifikan sebagai penjaga keberagaman. Mayoritas tidak hanya diukur dari jumlah, tetapi juga dari pengaruh budaya, politik, dan sosial yang mereka miliki. Kelompok mayoritas, baik secara agama, suku, atau bahasa, sering kali memiliki lebih banyak akses terhadap sumber daya dan kekuatan sosial. Oleh karena itu, mereka memikul tanggung jawab yang lebih besar untuk memastikan bahwa hak-hak minoritas dihormati dan dijaga.

Dalam konteks agama, misalnya, umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia memiliki peran krusial dalam memastikan bahwa kelompok agama lain dapat menjalankan ibadah mereka tanpa rasa takut atau diskriminasi. Ini bukan hanya tentang toleransi pasif, tetapi tentang tindakan aktif untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan menghargai perbedaan.

Di era modern ini, kita dihadapkan pada tantangan yang kompleks dalam menjaga toleransi. Media sosial dan perkembangan teknologi informasi sering kali mempercepat penyebaran kebencian dan disinformasi. Kelompok-kelompok ekstremis dapat dengan mudah mempengaruhi opini publik dan menabur benih kebencian terhadap minoritas.

Contoh nyata adalah berbagai polemik tentang perbedaan dalam menjalankan kepercayaan atau pandangan hidup yang sering kali diperkeruh oleh narasi yang sempit dan intoleran. Polemik tentang hukum musik, salam lintas agama, atau amalan tertentu dalam agama, sering kali menjadi bahan bakar bagi ketegangan antar kelompok. Ketika mayoritas mengambil sikap yang sempit dan tidak inklusif, ini dapat memperburuk perpecahan dan mengikis harmoni sosial.

Saat ini, sangat penting bagi kelompok mayoritas untuk merefleksikan peran mereka dalam memelihara toleransi dan kerukunan. Refleksi ini melibatkan pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana keputusan dan tindakan mayoritas mempengaruhi minoritas. Mayoritas perlu menyadari bahwa dominasi yang tidak seimbang dapat menyebabkan alienasi dan ketidakadilan bagi kelompok minoritas. Toleransi adalah fondasi dari kedamaian dan stabilitas sosial. Tanpa toleransi, perbedaan dapat menjadi sumber konflik dan perpecahan.

Mayoritas memiliki kekuatan untuk membentuk masa depan yang damai dan harmonis dengan memilih untuk bertindak dengan toleransi dan menghormati perbedaan. Di sisi lain, kegagalan mayoritas untuk memahami dan menghargai peran mereka dalam menjaga kerukunan dapat mengarah pada ketidakstabilan dan konflik.

Buku Rusdi Mathari ini urgen untuk dibaca sebagai bentuk refleksi atas peran mayoritas dan pentingnya toleransi di NKRI tercinta. Hal itu tidak hanya penting untuk saat ini, tetapi juga untuk generasi mendatang. Membangun masyarakat yang inklusif dan toleran adalah warisan terbaik yang dapat kita berikan kepada masa depan Indonesia. Semoga kita semua bisa menjadi bagian dari solusi ini dan terus memperjuangkan toleransi dan kerukunan dalam kehidupan sehari-hari. Segera baca bukunya!

Ali Yazid Hamdani
Ali Yazid Hamdani
Mukim di Yogyakarta, Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru