28.2 C
Jakarta

Rasisme dan Rendahnya Nilai Persaudaraan Kita

Artikel Trending

KhazanahTelaahRasisme dan Rendahnya Nilai Persaudaraan Kita
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pejuang kemanusiaan seperti Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, Gus Dur pernah dalam perjalanan hidunya mendapatkan perlakukan rasis. Misalnya Mahatma Gandhi ketika dipukul sampai memar wajahnya. Dalam buku Autobiografi Mahatma Gandhi, ia pernah dipukul dalam sebuah kereta di mana penumpangnya merupakan ras putih, sedangkan hanya dirinya yang memiliki kulit hitam. Rasisme memang antipati dengan rasa persaudaraan.

Kemudian ada seseorang dalam kereta tersebut tidak terima jika Mahatma Gandhi berada di kereta tersebut. Akhirnya, perlakuan kekerasan atas dirinya, sampai wajahnya memar dan berdarah.

Meski perlakuan buruk tersebut diterima oleh Gandhi, kita bisa membayangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh Gandhi dalam menghadapi kondisi tersebut. Jika ini terjadi pada diri kita, menjadi hal wajar, bahkan wajib untuk membalas perilaku buruk tersebut. Tapi tidak dengan Gandhi, justru perilaku tidak baik yang dialaminya dihadapi dengan cara santai, tanpa menyakiti yang lain.

Konsep Ahimsa yang dibawa Gandhi memang benar menjadi bagian dari dirinya sendiri dalam kehidupan pribadinya. Ini juga menjadi alasan mengapa sosok Mahatma Gandhi adalah orang yang diidolak tokoh penting di Indonesia, Gus Dur misalnya.  Kita perlu banyak belajar dari tokoh-tokoh besar dengan jiwanya yang besar dalam menghadapi kemanusiaan yang begitu majemuk, khususnya di Indonesia.

Persoalan rasisme memang tidak pernah selesai ketika seseorang belum selesai dengan dirinya sendiri. Sebab ia akan merasa risih dengan orang-orang yang berbeda dengan dirinya. Jika seseorang itu berasal dari kulit putih yang menjadi mayoritas, maka ia akan risih dengan orang-orang yang berkulit hitam. Perilaku rasis ini akan sering kita temui dalam kehidupan sosial.

Misal, kasus yang sempat ramai beberapa hari silam soal konflik Madura dengan gadis dayak. Beredar sebuah foto berita yang menunjukkan bahwa orang Madura berperilaku onar di tanah perantauan, hingga akhirnya mendapat hukum adat yang bukan main. Kabar ini dibenarkan oleh liputan6.com yang mengungkapkan bahwa laki-laki Madura (MM) dan korban (MS).

Peristiwa ini mengingatkan kenangan masa silam konflik Madura dengan Sampit pada tahun 2001 yang mengakibatkan banyak korban, apalagi kasus tersebut bukan dilatarbelakangi oleh suku, melainkan masalah individu.

BACA JUGA  Dakwah di TikTok: Pertarungan Ideologi Salafi-Wahabi yang Berpotensi Merusak Persatuan

Hingga berita tersebut ada, Madura menjadi trending dalam dunia twitter. Alih-alih tuduhan orang Madura keras, suka membunuh, bikin onar, dan berbagai tuduhan lainnnya tersematkan pada seluruh orang Madura tanpa terkecuali. Generalisir semacam ini seharusnya tidak perlu ada dan tidak boleh disematkan pada sesuatu. Akibatnya, perlakuan yang tidak baik menimpa orang Madura dimungkinkan akan dialami di tanah perantauan.

Rendah Nilai Persaudaraan

Rendahnya nilai kesadaran akan persaudaraan menjadi pemicu seseorang untuk memperlakukan orang lain tidak sama, lebih-lebih menganggap lebih rendah dari dirinya sendiri. Padahal ajaran Islam mengajarkan kepada umatnya bahwa manusia itu sama dimata Allah, ketakwaannyalah yang membuat mereka berbeda.

Yang wajib digarisbawahi adalah manusia seharusnya bisa menjalin hubungan kemanusiaan dengan sesamanya tanpa melihat warna kulit, latar belakang daerah, budaya, apalagi melihat dari agama. Lebih-lebih ketika masih dalam satu ruang lingkup agama.

Kesadaran akan persaudaraan harus ditanamkan sejak dini, dimulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, serta lingkungan yang lebih luas melihat perspektif kemanusiaan untuk melihat seseorang. Perbedaan yang terlihat dari diri seseorang, bukan lantas menjadi sebuah ejekan, sebab manusia adalah sama-sama diciptakan oleh Tuhan yang sama, yakni Allah Swt.

Persaudaraan dalam agama Islam kita kenal dengan ukhuwah Islamiyah (persaudaran sesame muslim), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa), ukhuwah basyariyah (persaudaraan umat manusia). Barangkali kesadaran ini perlu kita tanam lebih sering agar semakin tumbuh dalam diri untuk tidak terlalu terprovokasi dengan berbagai persoalan.

Apalagi dengan maraknya media sosial seperti sekarang ini sangat memungkinkan untuk kembali terjadinya konflik antar suku seperti masa silam. Padahal, jika kita mau bahkan menjadi wajib, seharusnya kita harus belajar dari kisah masa lalu yang pernah terjadi. Jangan sampai kejadian pertumpahan darah terjadi kembali.

Tanpa menegasikan hukuman atas perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, seharusnya tidak perlu diperpanjang, apalagi menuduh dan menggeneralisir orang Madura suka dengan kekerasan. Jika dalam ilmu logika, tuduhan semacam ini merupakan sesat berfikir (logical fallacy), Wallahu a’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru