32.7 C
Jakarta

Rasisme, Bebalisme, dan FPI Ketahuan Antek Asing?

Artikel Trending

Milenial IslamRasisme, Bebalisme, dan FPI Ketahuan Antek Asing?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Rasisme adalah masalah akut orang Indonesia. Bukan orang Papua (kata Ligia Judith Giay, Tirto, 20 Agustus 2019). Kesimpulan Ligia itu mengacu kepada bagaimana pandangan orang-orang Indonesia yang menganggap orang Papua penuh “kekurangan”: kurang tatakrama, kurang pakaian, kurang “cantik”, atau kurang tampan, minim sinyal internet, kurang fasih berbahasa Indonesia, hingga kurang “beradab”.

Kini ucapan Ligia makin terbukti. Tapi terbukti sebaliknya. Dua orang yang dianggap berpendidikan dan beradab, telah membuktikan keberadabannya, yakni dengan perilaku rasisme terhadap orang Papua, Natalius Pigai, eks Komisioner Komnas HAM. Dua orang itu adalah Permadi Arya alias Abu Janda, kader Banser dan Ambroncius Nababan, kader Partai Hanura.

Abu Janda melakukan pernyataan rasis sebelum disusul oleh Nababan. Abu Janda di akun Twitternya mengejek Pigai dengan sebutan evolusi. “Kau @NataliusPigai2 apa kapasitas kau? Sudah selesai evolusi belom kau?” ungkap Abu Janda. Banyak kelompok menyayangkan pernyataan rasis yang dilontarkan yang kerap menggaungkan Pancasila dan Kebhinekaan.

Setelah Abu Janda, disusul dengan unggahan Nababan, yang membikin geger jagad Indonesia. Nababan, mengunggah sejumlah foto selama Januari yang ditujukan kepada Pigai. Nababan menyandingkan foto Pigai dengan salah satu foto seekor Gorila. Terdapat tulisan yang mengarah ke rasisme di sana. Meski telah dihapus, tetapi unggahan rasis di Facebook tersebut, dibenarkan oleh Nababan sendiri (Tirto.id/26/01/2021).

Dari ulah dua orang Indonesia itulah, Pigai menyebut bahwa tindakan rasisme adalah kejahatan kolektif. Pigai bahkan mengingatkan bahwa pemerintah Indonesia agar tidak mengulangi pembiaran penanganan seperti yang terjadi tahun 2019 di Surabaya. Orang-orang Papua mengalami korban rasisme dari orang Indonesia, namun aparat penegak hukum Indonesia lemah, telat, dan dinilai tidak memihak kepada yang “lemah”.

Kita melihat sejak era Kolonial perpecahan di Papua dan di tubuh orang Papua terjadi karena rasisme. Bahkan selama pemerintahan Joko Widodo, kekerasan: pembantaian, pembunuhan dan kejahatan HAM di Papua cenderung didasari oleh rasisme (Tirto, 25/1/2021). Nampaknya, bukan cuma terorisme, rasisme juga mesti harus ditumpaskan. Siapa yang melakukan rasisme, dia harus dihukum setimpal. Tanpa tebang pilih. Entah itu orang-orang Jokowi atau bukan.

Rasisme hingga Bebalisme

Tanpa ditumpas dan diusut dengan tuntas, pelaku rasisme menjadi tanaman yang makin tumbuh dan subur. Ia menjadi besar, raja dan adidaya. Akhirnya, penyakit rasisme menjadi bebalisme. Dan hari ini bebalisme tampak kian tebal.

Rasisme seperti yang dilakukan masa Penjajahan, makin mencokol. Dulu, rasisme dilakukan orang Belanda kepada orang Indonesia. Kini, orang Indonesia, melakukannya kepada orang Papua. Di masa Kolonial, rasisme terjadi ke segala lini. Di pikiran, di gambar, film, tulisan, dan seni budaya. Di masa demokrasi ini, tampaknya “kaca mata Kolonial” tetap ada dan berjalan.

Kapan rasisme akan berhenti? Seperti PKI, HTI, FPI, rasisme hilang dan mati terkuburkan kalau ia ditumbangkan. Tak ada suatu apa yang hidup bila ia dimatikan. Begitu sebaliknya, tak suatu apa yang mati, bila ia dihidupkan. Dan rasisme dan pelaku rasisme harus dihapuskan. Kita lihat sejarah-kejadian di Afrika Selatan, Amerika Serikat, rasisme menjadi ancaman yang luar biasa. Rasisme telah mematikan apa yang diagungkan semua orang: demokrasi.

BACA JUGA  One Ummah: Doktrin Neo-HTI yang Menyalahi Al-Qur’an

Seperti perilaku rasisme Abu Janda dan Nababan, ia telah mematikan demokrasi di Indonesia. Hati nurani demokrasi mati di tubuh negara Afrika dan Amerika sebab rasisme. Di Indonesia pun juga. Rasisme adalah perilaku yang memenggal nilai kebhinekaan, keadilan, dan keadaban. Tindakan rasisme menguburkan nilai-nilai Pancasila yang agung dan diagungkan. Astaghfirllah!

Kita tak mungkin terus-menerus melihat orang-orang yang secara sengaja melucuti sisi kemanusian seseorang. Kita tak mungkin terus-menerus melihat pemiskinan, perampasan tanah, atau seperti kata Ligia, penggusuran lapak mama-mama. Dan kita tak mungkin tega melihat bagaimana orang Indonsia yang katanya beradab, habis-habisan melucuti kemanusiaan orang-orang Papua.

Lemah favorit milik orang Indonesia, seperti Papua “tertinggal”, “pemabuk”, “terbelakang”, kita harus hapuskan. Tatapan kolonial itu mesti sudah kita tinggalkan. Rupa-supa masalah-tentang pribadi seseorang tidak elok dibicarakan. Apa bedanya kita dengan “penjajah/jagoan”, bila kita tak mengenal batas. Apa bedanya kita dengan kolonialisme jika kita tak perlu sopan santun terhadap semua orang.

Segudang rasisme sungguh barbahanya. Karena ia bertentangan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Ia tidak menghargai prinsip kebhinekaan, perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan. Dan itu lebih berbahaya dari ISIS, HTI, dan FPI.

Rasisme akan mengantarkan kita kepada lubang yang lebih curam: pertikaian sesama. Bila konflik horizontal terjadi, ia lebih akut dan susah disembuhkan. Seperti di Afrika dan Amerika, jelas Papua juga akan sulit memafkannya. Jika pada 2019 aksi berkobar di mana-mana, di berbagai belahan kota Indonesia, itulah gambaran secuil akibat rasime di Indonesia. Dan jelas pembangunan bukanlah penyembuh rasisme. Melainkan pertobatan lewat hukum dan hukuman yang tegak-adil-setimpal bagi pelaku rasisme.

FPI Antek Asing?

Terkait rasisme, kita tentu tak melupakan kasus FPI yang diduga didanai asing. Dana asing masuk dan mengalir ke rekening FPI. Dana itu untuk segala program aksi dan aktivitas FPI.

Menurut beberapa penyidik termasuk dari Direktur Eksekutif Jaringan Modera Indonesia, Islah Bahrawi, aliran dana dalam gerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia memang menjadi persoalan serius. Dia juga mengatakan, bahwa pembekuan beberapa rekening FPI dinilai sudah tepat.

Berkaca kepada apa yang terjadi seperti aksi Arab Spring, membuat negara Timur Tengah hancur-hancuran sebab donor dana yang mengalir di rekening para kombatan aktivis terorisme. Seperti di Timur Tengah, Indonesia melacak dan membekukan lebih duhulu rekening itu. Agar tak terlanjur berbahaya dan menjalar.

Indikasi keterlibatan donasi mendanai FPI, yang bermodel memutar, yaitu dana dikeluarkan ke luar negeri dulu, lalu kembali ke Indonesia, itu adalah model pendanaan yang dekat seperti strategi yang dilakukan Arab Spring. Menurut Islah, cara-cara itu dilakukan bila transaksi kian ketat. Baik lewat digital ataupun nondigital (Viva.co.id, 26/01/2021).

Maka, bila FPI selama ini menuduh dan mengisukan bahwa Indonesia aktek asing, bahkan akan membangkit PKI, sejatinya ia kembali kepada dirinya sendiri. Lempar batu sembunyi tangan. Lempar isu Asing untuk sembunyikan perselingkuhan FPI. Omegat!

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru