30.1 C
Jakarta

Ragam Pendapat Mengenai ‘Najisnya Anjing’

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamRagam Pendapat Mengenai ‘Najisnya Anjing’
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Anjing merupakan hewan yang asyik dan menarik. Tidak sedikit orang yang dibuat kagum dengan ulahnya. Bahkan, beberapa orang ada yang sampai rela meluangkan waktu hanya untuk membuat konten video, sekeder ingin menunjukkan betapa menggemaskan anjing peliharaannya. Tidak hanya itu, hingga detik ini banyak orang yang mepercayai bahwa anjing merupakan hewan scurity terbaik. Apalagi dengan modal penciumannya yang tajam, mampu mnggertak dan membuat maling kelas receh kewalahan.

Kendati demikian, banyak juga dari kalangan yang harus berpikir dua kali untuk memelihara anjing di rumahnya. Bukan tidak tertarik, tapi sebagai tindak preventif. Pasalnya masyarakat meyakini bahwa agama tidak mengijinkannya. Menurut agama Islam mazhab Syafii, anjing merupakan salah satu najis kelas kakap, berat maksudnya. Butuh tujuh kali basuh ditambah debu untuk mebereskan problem anjing. Melihat kenyataan ini, membuat orang-orang untuk menelan dalam-dalam minat untuk menaru anjing di teras rumahnya.

Medan fikih sangatlah luas. Fikih yang sejatinya diambil dari dalil-dalil dhonni sangat memungkinkan adanya perbedaan. Tatkala melakukan kewajiban ijtihad dari suatu dalil, seringkali para ulama memberikan kesimpulan hukum yang tidak sama. Ini maklum, istilah lain kepala, lain pemikiran bukan hanya wacana belaka. Bahkan ada istilah masyhur dari kalangan para elit, kalau tidak ada perbedaan pendapat bukan fikih namanya.

Anjing yang dinobatkan sebagai salah satu najis yang jelimet alias rumit merupakan keputusan hukum fikih. Mudahnya, keputusan najis merupakan prodak ijtihady. Dengan kata lain, kenajisan anjing bukan merupakan keputasan bulat dan mutlak. Sangat dimungkinkan dari kalangan ulama ada yang tidak mempermaslahkan hal ini (tidak najis).

Tulisan kali ini akan menguraikan sekilas tentang najisnya anjing versi empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali). Dengan maksud, memberikan terobosan dan menetralkan kepercayaan masyarakat, anjing adalah hewan yang najis dan harus dijauhi. Warna-warni pendapat yang hendak dipaparkan diharap membawa kemudahan dan kenyamanan.

Mengenai kenajisan anjing sebenarnya merupakan suatu yang masih debatable (dipersilisihkan). Pertama, dari kalangan Syafiiyah dan Hanabalah. Mereka berpendapat bahwa dzatiyah dari anjing adalah najis. Artinya segala unsur yang ada pada anjing meliputi air liur, keringat, dan seluruh anggota badannya dihukumi tidak suci. Selain itu, najis pada anjing dikategorikan najis kelas berat yakni mugolladoh. Dengan kata lain, untuk mensucikan benda yang terkena najis ini harus dibasuh tujuh kali sekaligus salah  satunya dicampur dengan debu.

Dalil yang digunakan oleh pendapat pertama adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ.

Dan dari Abu Hurairah radhiyallaahu‘anhu, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: sucinya bejana kalian, jika di dalamnya dijilat oleh anjing, yaitu dengan membasuhnya tujuh kali.  Yang pertama dengan debu. (Sahih Muslim II/121)

Selanjutnya pendapat yang kedua, yakni dari kalangan Malikiyah. Para elit mazhab Maliki berpendapat bahwa anjing tidaklah najis, bahkan suci. Dalam hal ini mereka menilai bahwa pada dasarnya setiap hewan dihukumi suci. Jadi, anjing tetap dengan kesuciannya selama tidak ada dalil yang mengindikasikan hukum najis. Selain itu, Para pakar dalam hal ini tidak menilai hadis yang dibawa oleh sahabat Abi Hurairah ra. sebagai dalil yang berimplikasi hukum najis pada anjing. Memang benar pada redaksi hadis tersebut Nabi Saw. menginformasikan bahwa wadah yang dijilat anjing, dibasuh sampai tujuh kali, tapi hal yang demikian bukanlah indikasi wajib, melainkan hanya sebatas bentuk penghambaan (taabbudy) (Ibanah alAhkam I/32).

BACA JUGA  Hukum Mengambil Uang di Saku Suami Tanpa Izin

Dalil yang digunakan oleh pendapat ‘kalim susci anjing’ tidak hanya dalil al-aslu (pada dasarnya setiap hewan suci), melainkan ada dalil alQur’an yang turut menjustifikasi pada pendapat ini. Dalil yang dijadikan hujjah oleh malikiyah adalah alQuran surat alMaidah ayat 4:

يَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَآ اُحِلَّ لَهُمْۗ  قُلْ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۙ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِيْنَ تُعَلِّمُوْنَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللّٰهُ  فَكُلُوْا مِمَّآ اَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلَيْهِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ.

Mereka (akan) bertanya kepadamu (Muhammad), “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, ”Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”

Simpelnya, pada ayat tersebut Allah Swt. melegitimasi dan menghalalkan para muslim untuk memakan hasil tangkapan anjing peliharaannya. Logisnya, hukum halal konsumsi buruan anjing tidak akan diklaim halal atau boleh dimakan jika anjing yang dijadikan media berburu tidak suci. Seharusnya jika anjing dihukumi najis oleh syariat, ayat tersebut tidak akan memperkenankan (melarang) atau minimal ada perintah untuk dibasuh terlebih dahulu karena hasil tangkapan dihukumi mutanajjis(alHawy alKabir I/370).

Terakhir pendapat dipelopori oleh kalangan Hanafiyya. Mazhab ini nampaknya menenga-nengahi di antara dua pendapat yang telah diuraikan di atas. Para ulama dari kalangan Abu Hanifah tidak menghukumi anjing najis secara total, melainkan hanya beberapa unsur saja misal air liurnya. Dalam hal ini mereka benar-benar menagkap teks hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah secara gamblang. Perintah Rasulullah Saw. untuk mensucikan wadah yang telah dijilat anjing, karena yang menjadi problem adalah air liurnya tidak yang lain. Kendati pun demikian, dalam tata cara mensucikan, mereka tidak mewajibkan, keterangan hadis menyebutkan angka tujuh sebagai bilangan basuhan difahami hanya sebatas sunnah tidak lebih (alFikih alIslamy wa adillatuh I/305).

Intinya, najis anjing merupakan sesuatu yang bisa ditawar-ditawar. Perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh para ulama mazhab bisa memberikan solusi jitu bagi kaula yang sedang gundah karena di tempatnya anjing berserakan dimana-mana. Hanya saja, bagi kalangan yang berada di zona aman bebas anjing, sebaiknya untuk mengambil pendapat yang paling berat yakni pendapat dari kalangan Syafiiyah. Hal ini dilakukan sebagai bentuk berhati-hati dan wanti-wanti, melihat hadis yang ditampilkan multitafsir.

Fathul Qorib

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru