28.4 C
Jakarta

Radikalisme Menyasar “Isme-Isme” Generasi Milenial

Artikel Trending

KhazanahRadikalisme Menyasar "Isme-Isme" Generasi Milenial
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tak dapat dipungkiri, bahwa faktanya gerakan-gerakan radikal dimulai sejak masa-masa sekolah. Pengusung radikalisme sedikitnya mengetahui bahwa jiwa-jiwa muda itu masih putih, sedang menunggu pena apa yang akan menggoresnya. Mulai dari Rohis SMP hingga Majelis Tarbiyah di kampus-kampus yang notabenenya negeri dengan jurusan agama yang minim. Bahkan, kadang walaupun ada (jurusan agama) mulai dari Dekan hingga dosen mengusung paham radikal yang “disembunyikan”.

Lulusan pesantren sebenarnya banyak yang secara keilmuan levelnya sama dengan mereka yang dosen mata kuliah agama di kampus-kampus negeri, hanya saja mereka tidak bisa ikut bersaing karena ijazah mereka tidak diakui sebagai nilai qualified pegawai.

Akhirnya, kampus-kampus itu banyak didominasi oleh dosen yang mondok saja tidak pernah. Bahkan, saya sendiri pernah membaca jurnal seorang dosen yang membahas Maqasid al-Syari’ah. Akan tetapi, literatur refrensinya adalah buku-buku yang jelas meragukan ditambah tak ada satupun refrensi dari literatur Islam Arab (kitab kuning). Aneh.

Menangkal Radikalisme Kampus

Berharap agar paham radikalisme hilang dari kampus-kampus sekaligus berharap alumni-alumni mumpuni dari pesantren direkrut untuk menjadi dosen adalah hal yang terlalu naif. Sebab sayapun tahu keduanya memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Mengingat juga, tradisi pesantren dan mencokolnya radikalisme di kampus-kampus adalah hal yang sangat sulit dirubah. Lalu, adakah solusi yang dapat menjadi alternatif penyelesaian masalah-masalah yang kadung ada dan mengakar?

Orang tua. Ya. Dari keseluruhan solusi yang ada sepertinya hanya orang tua yang memiliki dominasi “problem solving”, hingga sepersekian persen. Seharusnya segala fasilitas publik terutama pendidikan masyarakat yang menyasar ibu-ibu, menjadi fokus mereka yang ingin menghilangkan radikalisme dari Indonesia.

Saya sendiri sudah beberapa kali mengisi perkumpulan ibu-ibu, yang membahas tentang pendidikan anak dan arah perubahan: “Ibu adalah Madrasah Pertamaku”. Kurangnya Penanaman kesetian anak pada negara, minimnya cerita-cerita heroik pahlawan nasional, penjelasan agama yang sesuai dengan Islam keindonesiaan yang minim juga menjadi pemicunya.

BACA JUGA  Zakat: Jembatan Solidaritas Umat Anti-Radikalisme

Untuk itu, orang tua harusnya diberi pemahaman bahwa menghabiskan hidup anak-anak mereka di sekolah dan kampus negeri adalah pertaruhan yang sulit, dan memiliki konsekuensi yang cenderung menghasilkan pemikiran-pemikiran radikal dalam beragama karena minimnya asupan pelajaran agama yang benar. Walaupun begitu ini bukanlah kesimpulan yang 100% benar.

Menjaga Masa Depan Anak

Oleh karenanya, orang tua harusnya memberikan masa-masa dini anaknya di lingkungan pesantren untuk mendapatkan asupan gizi keagamaan yang baik. Lalu, kemudian boleh melanjutkan di kampus-kampus negeri atau swasta. Walaupun begitu, juga tak menutup kemungkinan lulusan sekolah negeri melahirkan anak-anak kompeten dan begitu pula pesantren belum tentu menelurkan alumni-alumni yang bagus. Hal tersebut masih bergantung pada pesantren apa yang dia datangi.

Sekolah-sekolah negeri dan kampus-kampus negeri itu butuh asupan, dan mereka cenderung memilih ahli yang memiliki kemampuan yang tak dimiliki oleh alumni pesantren, yakni title yang berderet-deret dan artikel yang terpampang di banyak jurnal nasional maupun internasional.

Akhirnya, mereka noleh kanan-kiri dan undang sana-sini, dan sayangnya undangan itu mendarat di atas meja mereka-mereka yang minim pengetahuan agama dan jiwa nasionalis, atau minimalnya ahli agama, tetapi tak memiliki jiwa nasionalisme yang baik atau bahkan sebaliknya.

Fakta di atas juga bukan berarti mereka yang memiliki paham keagamaan yang baik dan memiliki jiwa nasionalisme yang apik tidak ada, bahkan saya berkesimpulan mereka banyak, tetapi masih belum dilirik secara penuh oleh pegiat-pegiat kampus. Walaupun saya beberapa kali mengikuti seminar-seminar yang diisi oleh mereka yang moderat, tetapi saya masih berharap space untuk mereka lebih besar.

Oleh: Abd. Syakur

Penulis, adalah Alumni Pon. Pes. Miftahul Ulum Panyeppen Palengaan Pamekasan dan mahasiswa Pascasarjana IAIN Madura Pamekasan.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru