27.6 C
Jakarta

Propaganda Khilafah dan Gagalnya HTI Memahami Maqâṣid asy-Syarî‘ah

Artikel Trending

KhazanahPerspektifPropaganda Khilafah dan Gagalnya HTI Memahami Maqâṣid asy-Syarî‘ah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Beberapa Muslim seringkali terlalu kaku dalam memahami syariat Islam (HTI/Kelompok Khilafah) dan melupakan tujuan syariat Islam (maqâṣid asy-syarî‘ah). Padahal maqâṣid asy-syarî‘ah tersebut merupakan aspek inti (ruh) dari syariat Islam itu sendiri. Menurut Syekh Aḥmad ar-Raisûnî (salah satu pakar maqâṣid kontemporer asal Maroko), maqâṣid adalah ruh (esensi) dari semua perbuatan. Sehingga aneh apabila seorang Muslim menjalani hidup tanpa maqâṣid (ruh).

Oleh karena itu, beliau menegaskan bahwa fikih tanpa maqâṣid adalah fikih tanpa ruh. Ahli fikih (fakîh) tanpa maqâṣid adalah ahli fikih tanpa ruh bahkan bisa dikatakan bukan ahli fikih. Pemeluk agama tanpa maqâṣid adalah pemeluk agama tanpa ruh dan pendakwah tanpa maqâṣid adalah pendakwah tanpa ruh (Nasrullah Ainul Yaqin, Diskursus Kebebasan Beragama dalam Nalar Maqâṣidî, 2018).

Ulama HTI dan Konsep Khilafah

Dalam konteks kenegaraan, misalnya, Imam al-Mawardî (salah satu pakar tata negara Islam) menyebutkah bahwa khilâfah/imâmah (pemerintahan) ditegakkan untuk menjalankan fungsi kenabian dalam memelihara agama dan mengelola urusan-urusan keduniaan (Nasrullah Ainul Yaqin, https://bincangsyariah.com/kalam/mensyukuri-nikmat-kemerdekaan-indonesia-secara-kaffah/). Dengan demikian, tujuan khilâfah (pemerintahan) adalah memelihara agama dan mengelola urusan-urusan keduniaan tersebut.

Dalam hal ini, para ulama Nusantara sebagai pewaris para nabi (warâśah al-anbiyâ’) meneruskan dua fungsi kenabian tersebut (memelihara agama dan mengelola urusan-urusan keduniaan). Mengingat keberadaan para ulama yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) mengemban dua fungsi kenabian itu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dua fungsi kenabian itu dalam konteks keindonesiaan dikenal dengan istilah ḥimâyah ad-dîn (memelihara agama) dan ḥimâyah ad-dawlah/al-waṭan (memelihara negara/tanah air).

Dua hal ini diikat dalam satu jargon utama, yaitu: ḥubb al-waṭan min al-imân (cinta tanah air adalah sebagian dari iman). Artinya, keimanan Muslim Indonesia tidak hanya berkaitan dengan cinta kepada Allah, Rasulullah saw., dan sesama makhluk, tetapi juga berkaitan erat dengan cinta tanah air. Begitu pula sebaliknya, Muslim Indonesia mencintai tanah air sepenuh hati sebagai manifestasi dari keimanan. Makanya Islam dan nasionalisme tidak bisa dipisahkan, seperti air dan asin di laut biru. Sehingga tidak heran apabila cinta tanah air merupakan akhlak Islam yang sangat mulia dan terpuji (Nasrullah Ainul Yaqin https://bincangsyariah.com/kalam/cinta-tanah-air-jihad-melawan-terorisme/).

Dengan demikian, para ulama Nusantara merupakan para mujtahid, fakîh, dan pemeluk agama yang memiliki ruh. Pikiran mereka tercerahkan dan mencerahkan. Sebab, mereka tidak kaku dalam memahami syariat Islam dan mampu memahami aspek inti syariat, yaitu maqâṣid. Sehingga mereka bisa mewujudkan dua fungsi kenabian tersebut secara baik meskipun tidak teriak-teriak khilafah.

NKRI yang telah menjamin keberadaan Islam dan mengatur urusan-urusan keduniaan masyarakat secara baik merupakan hasil ijtihad cemerlang para ulama terdahulu dan karya agung para leluhur. Para ulama terdahulu tidak perlu membuaang-buang waktu, tenaga, dan pikiran teriak-teriak khilafah ke sana-kemari untuk mewujudkan dua fungsi kenabian itu. Berbeda dengan kalangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang setiap hari dan setiap malam hanya teriak-teriak khilafah, tetapi sampai sekarang masih belum bisa mewujudkan dua fungsi kenabian tersebut.

Sekali lagi, karena para ulama terdahulu adalah mujtahid dan pemeluk agama yang memiliki ruh. Sementara kalangan HTI adalah mujtahid dan pemeluk agama tanpa ruh yang sangat kaku dalam memahami syariat Islam. Sehingga tidak heran apabila keberadaan Hizbut Tahrir dilarang di mana-mana, baik di negara-negara Muslim sendiri maupun di negara-negara non Muslim (seperti Arab Saudi, Turki, Libya, Suriah, Mesir, Yordania, Lebanon, Kazakhstan, Kirgiztan, Pakistan, Tajikistan, Bangladesh, Indonesia, Rusia, Jerman, dan China).

BACA JUGA  Refleksi Idulfitri: Membangun Jembatan Toleransi dan Menolak Paham Ekstrem

Pentingnya Membedakan Antara Tujuan (Maqâṣid) dengan Sarana (Wasîlah)

Dalam kerangka berpikir maqâṣidî (maqâṣid asy-syarî‘ah), memelihara agama dan mengelola urusan-urusan keduniaan adalah tujuan (maqasid). Tujuan ini akan tercapai dengan baik apabila terbentuk sebuah negara (pemerintahan).

Artinya, keberadaan negara ini merupakan sarana untuk mewujudkan tujuan tersebut. Sehingga kedudukan sarana sama pentingnya dengan kedudukan tujuan. Sebab, tujuan itu tidak akan tercapai tanpa adanya sarana. Makanya dikenal kaidah: li al-wasâ’il ḥukm al-maqâṣid (hukum sarana mengikuti hukum tujuan) dan ma lâ yatimm al-wâjib illâ bihî fa huwa wâjibun (suatu kewajiban yang tidak sempurna tanpa hadirnya sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain tersebut menjadi wajib pula).

Menurut penulis, adanya negara merupakan sarana yang tetap/tidak bisa berubah (al-wasâ’il aś-śâbitah). Sedangkan bentuk dan sistem negara, seperti khilafah, kerajaan, demokrasi, dan lainnya merupakan sarana yang bisa berubah (al-wasâ’il al-mutagayyirah) sesuai kondisi dan kesepakatan warga negara. Apalagi persoalan negara merupakan bagian dari muamalah (bukan ibadah) yang harus didasarkan kepada musyawarah, menolak kemudaratan, dan mewujudkan kemaslahatan (Nasrullah Ainul Yaqin, https://www.www.harakatuna.com/mewujudkan-negara-adil-tidak-harus-menegakkan-khilafah.html).

Dalam konteks Indonesia, para ulama dan tokoh-tokoh bangsa lainnya telah sepakat (ijmak) membentuk NKRI yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini, Rasulullah saw. sendiri secara tegas menyatakan bahwa: “umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan (Imam as-Sakhâwî, al-Maqâṣid al-Ḥasanah, 1985: 716).”

Kenyataan ini menegaskan bahwa meskipun seorang Muslim boleh berbicara masalah khilafah di Indonesia, tetapi dia tidak bisa menerapkannya karena bertentangan dengan hasil musyawarah (ijmak) para pendiri bangsa. Sebab, apabila perkara yang bertentangan dengan hasil musyawarah tersebut (seperti khilafah) dipaksakan, maka hal itu jelas akan menimbulkan kemudaratan dan menghancurkan kemaslahatan. Padahal tujuan syariat Islam sendiri adalah mewujudkan kemaslahatan dan menghilangkan kemudaratan.

Dengan cara berpikir maqâṣidî seperti dikemukakan sebelumnya, maka bisa dipahami dan dimaklumi mengapa para ulama terdahulu tidak membuang-buang waktu dan tenaga teriak-teriak khilafah. Sebab, mereka sadar betul bahwa dua fungsi kenabian (memelihara agama dan mengelola urusan-urusan keduniaan) dan tujuan-tujuan primer (al-maqâṣid aḍ-ḍarûriyyah) syariat Islam sudah terjamin dan terpelihara secara baik di bawah naungan NKRI, seperti memelihara agama (ḥifẓ ad-dîn), jiwa (ḥifẓ an-nafs), akal-pikiran (ḥifẓ al-‘aql), keturunan (ḥifẓ an-nasl), harta-benda (ḥifẓ al-mâl), kehormatan (ḥifẓ al-‘irḍ), dan lingkungan (ḥifẓ al-bî’ah).

Dengan demikian, pemeluk agama dan pemikir yang memiliki ruh tidak akan membuang-buang waktu dan tenaga teriak-teriak khilafah. Apalagi tegaknya khilafah tidak menjadi jaminan dua fungsi kenabian tersebut akan terwujud dengan baik. Sebaliknya, dia akan senantiasa mempertahankan kesepakatan para pendiri bangsa, yaitu NKRI yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sebab, tujuan memelihara agama, jiwa, akal-pikiran, harta-benda, keturunan, kehormatan, lingkungan, dan mengelola urusan-urusan keduniaan sudah terjamin dan bahkan dinikmati bersama sejak dahulu meskipun tanpa khilafah.

Apalagi Syekh Aḥmad ar-Raisûnî menegaskan bahwa meskipun kata khilafah dan khalifah lenyap dalam kehidupan umat Islam, maka hal itu selama-lamanya tidak akan mengurangi keberadaan Islam sedikitpun. Berbeda apabila keadilan, musyawarah, dan legitimasi pemerintah hilang meskipun hanya satu hari saja, maka hal itu jelas akan menjadi petaka yang sangat besar (lihat akun Twitter @na_dirs, 26/08/2020). Buktinya, keberadaan Islam di bumi Nusantara semakin hari semakin melebarkan sayap-sayapnya meskipun tanpa khilafah. Wa Allâh A‘lam Wa A‘lâ wa Aḥkam..

Oleh: Nasrullah Ainul Yaqin

Penulis, Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru