32.9 C
Jakarta

Potensi Jogja Sebagai Sarang Khilafah

Artikel Trending

Milenial IslamPotensi Jogja Sebagai Sarang Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Selasa (3/3) lalu, saya hendak bertolak dari Jogja ke Jakarta. Pada saat yang bersamaan, di daerah Malioboro, sedang digelar aksi pawai khilafah. Beberapa pemuda arak-arakan spanduk dan poster yang menarasikan kerinduan akan tegaknya khilafah. Sebagian mereka memakai masker sebagai penutup muka. Komentar pun berdatangan.

Sebagai Daerah Istimewa, Jogja harus steril dari segala narasi yang merongrong NKRI. Itu jelas. Itulah kenapa aksi tersebut ramai diperbincangkan. Meski misalkan skalanya kecil, setidaknya aksi tersebut menunjukkan eksistensi pejuang khilafah. Tidak lagi secara sembunyi, mereka bahkan berani berpawai secara terbuka, di daerah strategis di Yogyakarta.

Kenapa harus Jogja? Apakah mereka bersarang di sana? Atau, bagaimana kelanjutan deradikalisasi yang disuarakan pemerintah? Semua itu harus kita pertanyakan. Sebuah eksistensi yang berani terbuka ke ruang publik, itu artinya masih punya kepercayaan diri, bahwa suatu hari, khilafah akan bisa ditegakkan. Meski perjuangannya hari ini banyak ditentang.

Narasi Khilafah: Dari Turki Utsmani Hingga Keraton Jogja

Secara efektivitas, saya pikir semua bisa membaca, pawai khilafah di Jogja jelas tidak melunturkan keistimewaan Jogja itu sendiri. Narasi khilafah di teritori Sultan Hamengkubuwana X itu merupakan refleksi utopis terhadap fakta sejarah di masa lalu. Semacam ada penggiringan memori kolektif, bahwa di masa lalu, Jogja berjaya karena menegakkan khilafah.

Penegakan khilafah tersebut dierat-kaitkan dengan relasi bilateral antara Keraton Jogja dengan Turki Utsmani. Sama seperti Turki Utsmani yang dianggap sebagai simbol kejayaan Islam, Keraton Jogja dianggapnya juga demikian. Itulah sebabnya pejuang khilafah merasa ada peluang, di samping juga memang kajian salafi di sana merebak di setiap sudut majelis pengajian.

Narasi khilafah di Jogja, kalau mau jujur, sama saja dengan yang sudah-sudah di kota lainnya. Motifnya sama, berkhayal tentang Turki Utsmani. Berkhayal bahwa di bawah Utsmani-lah kejayaan Islam tidak ada tandingannya. Padahal pemahaman mereka terhadap Turki Utsmani sendiri juga keliru. Menganggap Turki Utsmani menerapkan khilafah adalah klaim ahistoris.

Bentang kekuasaan Turki Utsmani memang tidak ada yang menyamai. Tiga benua berhasil diekspansi, jelas hal itu mengunggulkan Turki Utsmani daripada kerajaan-kerajaan Islam sebelumnya, seperti Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, dan kerajaan lainnya. Tetapi sebenarnya, Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah sendiri menerapkan sistem monarki-absolut. Lalu pemahaman macam apa menganggap Turki Utsmani menerapkan sistem khilafah?

Jawabannya adalah, tiadanya pemahaman yang tepat tentang definisi khilafah di kalangan pejuang khilafah sendiri. Mereka tidak paham, bahwa khilafah Islam hanya terjadi sejak Nabi Muhammad hingga era Sayyidina Hasan, cucu Nabi. Sehabis itu, ketika Muawiyah merebut kekuasaan, khilafah telah gugur. Yang ada adalah kerajaan, dengan sistem monarki-absolut.

BACA JUGA  Persatuan Melampaui Kepentingan: Telaah Rekonsiliasi Politik Kebangsaan

Kita bisa melihat fakta ini melalui protes Abdurrahman bin Abu Bakar dan Abdullah bin Umar kepada Muawiyah, ketika Muawiyah mensuksesi putranya, Yazid, sebagai raja selanjutnya. Yang seperti ini jelas akan ditolak oleh para pejuang khilafah. Mereka bersikukuh, khilafah mesti tegak. Dan di Jogja, mereka memanfaatkan hubungan Keraton Jogja dengan Turki Utsmani untuk melancarkan narasi khilafahnya.

Kelanjutan Deradikalisasi

Pada saat yang bersamaan, di Jogja, sedang terjadi polemik antara NU dengan Muhammadiyah. Di sini tidak akan membahas polemik tersebut. Yang menarik untuk dicatat adalah fakta, bahwa ternyata, di antara polemik yang terjadi, sebagian orang tidak hanya memanfaatkannya untuk membenturkan NU-Muhammadiyah, melainkan untuk melancarkan aksinya: pawai khilafah.

“96 TAHUN TANPA KHILAFAH UMAT ISLAM TERTINDAS”. Seperti itu tulisan di poster pawai tersebut. Para aktivis khilafah kebanyakan berasal dari pemuda, kalangan mahasiswa. Tidak perlu ditanya dari mana, Gema Pembebasan mungkin adalah jawabannya. Rupanya HTI belum bungkam seutuhnya. Mereka tetap solid menyuarakan khilafah. Militansinya patut diperhitungkan.

Lalu kita suguhkan pertanyaan: bagaimana proyek deradikalisasi yang digemborkan pemerintah?

Saya pernah bertanya perihal deradikalisasi ini sebelumnya. Mirip tensi, statusnya naik-turun. Belum ada strategi yang jelas, tentang apa yang harus dikerjakan untuk menumpas khilafah, atau sudah berapa persentase keberhasilannya. Pemerintah tumpang-tindih mengambil kebijakan. Yng satu belum kelar, yang lainnya sudah dicanangkan.

Padahal, yang kita saksikan di Jogja, bukan perkara baru. Beberapa bulan yang lalu, Gema Pembebasan hampir saja menggelar diskusi tentang urgensi khilafah di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Tetapi akhirnya acara tersebut dilarang. Hanya dilarang di kampus, bukan berarti acara mereka batal. Sekadar pindah lokasi saja.

Tetapi apakah ada yang mengusut radikalisasi di kalangan mahasiswa tersebut? Jawabannya, tidak ada. Kelanjutan deradikalisasi memang menuai banyak pertanyaan, dan langkah pemerintah sangatlah mengherankan. Yang benar-benar bisa diandalkan adalah upaya dari diri kita masing-masing. Harus ada spirit deradikalisasi diri (self-deradicalization).

Jogja adalah Daerah Istimewa. Menjaga keistimewaannya dari narasi provokatif khilafah merupakan kewajiban. Keraton Jogja adalah Keraton Jogja. Turki Utsmani adalah Turki Utsmani. Tidak ada yang perlu dikait-kaitkan, apalagi sekadar untuk membangkitkan spirit khilafah. Apalagi khilafah yang diperjuangkan adalah palsu—khilafah yang ahistoris.

Narasi khilafah harus kita bersama konter, dan deradikalisasi adalah medianya. Potensi Jogja menjadi sarang khilafah mungkin benar adanya, tetapi wajib kita membungkam realisasinya.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru