26.7 C
Jakarta

Post-Islamisme Pasca Kepulangan Habib Rizieq

Artikel Trending

Milenial IslamPost-Islamisme Pasca Kepulangan Habib Rizieq
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kita sudah mengulas, sebelum tulisan ini, bahwa Habib Rizieq oleh sementara kalangan dijadikan ikon benteng Islam satu-satunya, dan bahwa dirinya dapat menjadi penentu nasib pemerintahan Jokowi. Kita juga sudah menguraikan, bahwa sekalipun Indonesia tidak bisa menjadi NKRI Bersyariah sebagaimana FPI cs inginkan, Islamisme  ke depan akan mengalami eskalasi yang signifikan. Namun bahasan tersebut absen tentang satu pertanyaan: mengapa Islamisme berani menguat sejak kepulangan Sang Imam?

Sejak kepulangannya, Habib Rizieq mulai diundang ceramah dari satu tempat ke tempat lainnya. Padat. Dilansir Detik, ia dijadwalkan akan mengisi ceramah di Megamendung, Kabupaten Bogor, pada Jum’at (13/11). Sebagaimana diterangkan Ketua PA 212 Slamet Maarif, Habib Rizieq akan menuju Megamendung setelah menghadiri acara Maulid Nabi Muhammad SAW di Tebet, Jakarta Selatan. Jika di Tebet ia didampingi Ahmad Riza Patria, Wakil Gubernur DKI, di Simpang Gadog, Megamendung, para santri berkumpul menyambutnya.

Fenomena Habib Rizieq oleh sementara kalangan dianggap sebagai fenomena post-sekularisme. Tetapi, lainnya mengatakan, itu adalah post-Islamisme. Terlepas dari perbedaan definisi keduanya, Habib Rizieq sudah kadung menjadi ikon yang bukan hanya membangkitkan spirit menggebu keagamaan para pengikutnya, melainkan juga ketakutan para lawannya. Terbukti, misalnya, ia pulang dengan menyandang pengkultusan baru dari pengikutnya sekaligus hujatan yang tidak kalah keras dari para rivalnya.

Segala yang berurusan dengan politik memang selalu menimbulkan pro-kontra. Umat Islam tidak jarang gelagapan di hadapan kekuasaan, sehingga mudah dimanfaatkan elite politik tertentu untuk merebut kekuasaan. Umat Islam semakin terbuka, atau dipaksa menerima, optimalisasi Islam melalui politik, dengan mengesampingkan fakta bahwa yang mereka geluti sarat sekularistik. Di hadapan Habib Rizieq, baik sebelum ia ke, saat di, atau setelah dari Arab Saudi, post-Islamisme menunjukkan lanskap yang semakin sempurna. Apakah itu tanda bahwa ke depan, demokrasi benar-benar kalah oleh populisme Islam?

Politik Islam vis-à-vis Islam Politis

Di sini tidak hendak menegasikan, dengan menentang post-Islamisme, bahwa Islam pernah berjaya sebab menguasai bidang politik. Tidak. Sama sekali tidak. Tetapi term “politik Islam” dengan “Islam politis” memang berbeda. Yang terakhir ini konotasinya adalah post-Islamisme, dalam artian cara keberislaman demi mencapai kepentingan politik pragmatis. Sementara itu, politik Islam berorientasikan pada progresivitas agama, yang tujuannya ialah keumatan—kemaslahatan bersama.

Islam politis misalnya bisa kita saksikan dalam narasi khilafah, sementara politik Islam bisa dijumpai dalam sistem perpolitikan yang mengedepankan keadilan dan kemaslahatan kolektif. Dalam konteks Habib Rizieq, kepulangan dirinya justru mendominasikan yang pertama tadi, tetapi titik tolaknya bukan narasi khilafah, melainkan post-Islamisme melalui gagasan “NKRI Bersyariah”. Dari akumulasi tafsir atasnya, tidak ada satu pun yang didasari spirit kemajuan, melainkan ketertindasan.

BACA JUGA  Konsistensi Perjuangan Melawan Radikalisme

Kita akan mengulas bagian ini, secara lebih rinci, di tulisan yang berbeda. Yang jelas, pergumulan politik memaksa umat, sebagian atau keseluruhan mereka, terhadap polarisasi politik Islam dan Islam politik, yang berakibat terhadap perpecahan di kalangan umat Islam itu sendiri. NU dan Muhammadiyah yang mendukung demokrasi dan hukum positif berbenturan dengan FPI—apalagi HTI—ketika dihadapkan dengan rezim nasionalis (yang dituduh sekuler). Benturan tersebut tidak perlu dijabarkan konkretnya.

The Power of Habib Rizieq

Boleh jadi, ini adalah seri terakhir dari ulasan seputar Habib Rizieq dan kepulangannya yang fenomenal. Detik melansir sinyal rekonsiliasi antara ia dengan pemerintah, dengan berpijak pada prinsip memerangi kezaliman. Prinsip tersebut tentu bukan omong kosong belaka. Justru dengan prinsip tersebut, Habib Rizieq memiliki panggung di hati umat. Ia diproyeksikan sebagai keturunan Nabi, yang cinta NKRI, berpegang pada Pancasila, tetapi memusuhi rezim yang disinyalir zalim. Sungguh narasi yang menarik.

Ibarat fondasi yang sangat kokoh, kekuatan Habib Rizieq telah menegasikan segala kemungkinan terburuknya selaku manusia biasa. Dirinya sudah kultus, tidak tersentuh kesalahan. Kalau pun ada kasus yang menyeret namanya, maka itu pasti dianggap fitnah. Kalau pun itu benar-benar terjadi, mereka tidak akan percaya dan sampai mati pun taruhannya ia mesti dibela. Sinyal buruk ini melahirkan—meski tanpa terasa—kepongahan dalam diri Sang Imam itu sendiri. Ia menyadari dan memanfaatkan ‘power’-nya.

Power itulah yang semakin membawa arus  post-Islamisme, atau bahkan istilah lain yang disinggung di awal: post-sekularisme. Ketika aktivis khilafah sudah mati di pasaran, tidak lagi menarik kecuali pada sebagian orang yang memang bebal, Habib Rizieq datang dari pengasingan dan menciptakan suasana baru perpolitikan tanah air. Aktivis khilafah melihat peluang, dan diam-diam menyusup: ikut memprovokasi umat dengan pemerintah.

Bukti konkret atas hal ini bisa kita lihat, salah satunya, melalui cuitan Felix di Twitter. Apakah kita mengira Felix itu pengikut Habib Rizieq? Salah. Arah mereka tidak sama kecuali dalam hal keinginan melengserkan rezim pemerintah. Apakah dengan demikian di sini hendak ditegaskan bahwa post-Islamisme pasca kepulangan Habib Rizieq semakin sulit dibendung? Silakan disimpulkan sendiri.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru