31.7 C
Jakarta

Populisme Islam dan Manuver Politik Pemberontakan

Artikel Trending

Milenial IslamPopulisme Islam dan Manuver Politik Pemberontakan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Selasa (22/12) kemarin, saya menjadi pemantik dalam diskusi rutin bersama rekan seangkatan di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Diskusi berlangsung aktif selama dua jam. Topik populisme Islam memang sangat aktual, karena aktivitas sementara umat Islam hari-hari mengarah ke situ. Gesekan antara salah satu ormas Islam—yang mengklaim diri sebagai representasi umat—dengan pemerintah, menjadi oposisi petahana, apakah laik jika disebut manuver pemberontakan?

Saya memulai diskusi dengan memaparkan, bahwa sejak kasus penistaan agama yang membuat Ahok mendekam di penjara, tiga tahun silam, sementara umat Islam sangat sensitif, sentimen, ketika Islam dirasa ‘terancam’. Semacam ada kepongahan mayoritas, bahwa sejak mereka berhasil membuat Ahok dihukum, perasaan sesumbar lahir dan meyakini, “umat Islam memang sewajarnya ada di atas agama-kepercayaan lain.” Ini erat kaitan, misalnya, dengan apa yang terjadi kemudian.

Jika aksi-aksi yang lahir ketika itu, yang buntut panjangnya hari ini adalah lahirnya PA 212, adalah populisme Islam, maka saya berani menyebut bahwa populisme Islam baru di Indonesia adalah fenomena “Ahok Effect”, sebab kasus tersebut membuat sementara umat Islam tadi bangun. Sejak saat itu pula, term ‘umat’ dan ‘penguasa’ seolah-olah berbenturan—umat menjadi personifikasi idealisme kebangsaa, sementara penguasa distigmatisasi secara homogen sebagai korup dan anti-Islam.

Gerakan keumatan lantas diorientasikan sebagai oposisi, dan musuh pemerintah menjadi sentralistis untuk mengonter gerakan mereka. Jelas, hal itu bukan pertanda yang baik, karena boleh jadi para pengamat akan mengatakan, bahwa melalui isu-isu umat Islam, petahana bisa menutupi masalah lain, mengalihkan perhatian rakyat. Yang paling rugi dalam hal ini adalah umat Islam sendiri, sementara elite politik semakin menemukan panggung. Lalu bagaimana para populis memainkan manuver politiknya?

Politik Pemberontak

Populisme tidak selamanya buruk, tetapi populisme Islam di negeri ini sudah kadung tercemar oleh agenda negatif, yaitu memberontak. Mobilisasi massa menjadi kekuatan penggertak (power of deterrence), dan idealisme gerakan keumatan patut disangsikan: sudah dimanfaatkan sebagai manuver politik para elite yang kawin dengan Muslim populis. Alih-alih menciptakan perubahan, aksi populisme Islam dan respons nasionalis terhadapnya berandil besar dalam sengkarutnya iklim politik.

BACA JUGA  Politik Dinasti: Pembajakan Islam dan Demokrasi yang Harus Ditentang

Kita sering mendengar pertanyaan, siapa yang ada di balik sosok Muhammad Rizieq Syihab, tetapi jawabannya tidak pernah kita jumpai kecuali spekulasi belaka. Apakah dengan demikian gerakan keumatan mesti dicurigai sebagai sesuatu yang ditumpangi? Jelas tidak. Setiap aspirasi umat berperan sebagai kontrol terhadap pemerintah, tetapi isu-isu yang mereka bawa juga merupakan sesuatu yang penting diselisik. Seringkali, yang disuarakan, itu tidak mereka pahami—sekadar ikut-ikutan.

Sebagai negara di mana kekebasan berpendapat diatur secara konstitusional, aspirasi umat adalah elemen krusial dari sehatnya demokrasi. Tetapi, jika aspirasi yang dibawa justru menawarkan sistem yang baru, justru aspirasi tersebut riskan terhadap demokrasi itu sendiri. Populisme Islam menjadi negatif sebagai trah manuver pemberontakan. Jika elite berkepentingan untuk melemahkan wibawa pemerintah, para Muslim populis justru berkepntingan untuk merombak sistem pemerintahan.

Nasib Populisme Islam

Dalam bukunya, Populisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah, Vedi R. Hadiz (2018: xx) tegas mengatakan bahwa populisme Islam di Indonesia tidak akan musnah, dan elite politik mengambil bagian yang paling menguntungkan. Ada tiga alasan yang ia utarakan, bahwa populisme Islam mustahil dibungkam. Pertama, kondisi sosial dan struktural masih memberi peluang, terlepas dari intrik-intrik di tingkat elite. Mobilisasi untuk kepentingan elite masih terjadi, baik di tingkat nasional ataupun daerah.

Kedua, masalah ketidakadilan ekonomi erat hubungannya dengan isu-isu yang menyediakan bahan baku politik bagi para populis Muslim. Narasi tentang terpuruknya mayoritas Islam-pribumi secara ekonomi karena kebijakan korup pemerintah yang memihak non-Muslim minoritas adalah sesuatu yang menggugah emosi umat Islam. Ketiga, telah terjadi pengarusutamaan (mainstreaming) konservativisme moral dalam leksikon politik Indonesia. Ini mirip dengan kembalinya konservativisme (conservative turn).

Melalui tiga alasan yang dikemukakan Hadiz tersebut, angin segar populisme Islam akan menentukan wacana keberislaman kita ke depan. Kita lihat saja, apakah isu-isu sensitif seperti agama, ekonomi, dan rezim, akan terus berhembus. Dan juga kita perhatikan, siapa yang paling diuntungkan jika pada akhirnya mereka menguasai politik elektoral. Pada waktunya nanti, semua akan menyadari bahwa umat Islam selama ini terpengaruh manuver politik populis yang tujuan besarnya ialah mengganti pemerintahan.

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru