30.1 C
Jakarta

Pluralitas Religius dan Pemahaman Farid Esack terhadap Kaum Lain

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahPluralitas Religius dan Pemahaman Farid Esack terhadap Kaum Lain
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kafir adalah kata yang tengah fenomenal dan menuai polemik, yang kini menjadi pembahasan hangat publik. Kata yang telah disisipi unsur teologis ini semakin menghadirkan gonjang-ganjing di tengah hangatnya suasana politik negeri. Munculnya berbagai konflik religius dan saling tuding menegenai klaim kebenaran agama, acap kali menjadi pengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pluralitas religius merupakan fenomena tak terelakkan dalam realitas sosial kemajemukan bangsa ini. Sesungguhnya perbedaan adalah rahmat yang patut disyukuri, jika mampu disikapi dengan semangat ukhuwah ittihadiyah yang tinggi. Namun di sisi lain perbedaan merupakan sebuah tantangan sekaligus ancaman, sebab di dalam kemajmukan biasanya sarat akan kepantingan yang sangat popular disebut conflict interest.

Pandangan yang Sempit

Konflik tersebut kerap kali disebabkan oleh sempitnya cara pandang seseorang atau dengan kebenarannya sendiri dan menganggap lainnya salah. Anggapan ini dapat menghantarkan pada paham radikalisme. Kajian sosiologi agama dalam klaim-klaim kebenaran, sering memperlihatkan bahwa religion’s way of Knowing ini bisa mengalami pergeseran sedemikian rupa, sehingga fenomena yang terjadi adalah satu agama menjadi ancaman bagi agama lain.

Pandangan dan pemahaman sempit tersebut, harus dihilangkan sebab tidak sesuai dengan prinsip toleransi atau cara beragama dan menghormati agama lain. Sehingga dapat mengancam sebuah kerukunan umat dan keharmonisan antar umat beragama.

Menurut Komarudin Hidayat, secara historis, problem perjumpaan Islam dengan agama-agama yang mendahuluinya diselesaikan dengan implementasi konsep yang dibawa oleh al-Qur’an sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammad saw. dan para penerusnya.

Di masa kini, ketika relasi antar manusia tidak lagi mengenal batas geografis dan problem perjumpaan antaragama menjadi lebih kompleks, implementasi konsep itu tidak lagi sesederhana yang dipikirkan. Di samping hal itu disebabkan oleh perbedaan-perbedaan dan perubahan kondisi umat beragama dari waktu ke waktu, pemahaman manusia atas konsep yang termuat dalam teks lintas sejarah merupakan problem tersendiri.

Sebagai produk sejarah, kompatibilitas khazanah Islam, khususnya aspek pandangannya terhadap agama-agama lain yang bertumpu pada sumber-sumber otentik (al-Qur’an dan Hadist), dengan perkembangan global menuju masyarakat multi-agama yang damai, menghadapi ujian secara terus menerus dalam bentuk realitas pertikaian berdarah di berbagai belahan dunia yang sebagiannya melibatkan kaum muslim. Teks-teks suci umat Islam, khususnya al-Qur’an, secara semena-mena sering menjadi sasaran kritik tajam sebagai sumber konflik antar pemeluk agama.

Sebagai realitas sosial, agama mengandung banyak variable, bukan hanya variable ajaran yang bersifat normative doctrinal, tetapi juga variable pemeluk, tafsir ajaran, lembaga keagamaan, tempat suci, dan bangunan ideologi yang dibangun dan dibela oleh pemeluknya.

Pemicu Konflik

Sejatinya perbedaan merupakan hal yang bisa menyatukan, jika para individu dan kelompok menjunjung tinggi rasa toleransi seperti latar belakang konflik Kamboja. Terlebih di abad-21 ini bagaimana informasi begitu mempengaruhi. Isu-isu sara yang dilempar oleh orang yang tidak bertanggung jawab dapat memicu timbulnya konflik.

Kepercayaan yang beragam dengan latar belakang dan karakter manusia lalu di bungkus dengan isu sara tentu dapat memicu pertikaian antar agama satu dengan yang lain. Bahkan dalam keyakinan yang samapun dapat timbul kesalahpahaman yang jika tidak segera diatasi maka akan menimbulkam konflik yang luas.
Kata imān dalam wacana muslim sering diganti dengan Islām sebagai istilah kunci bagi identifikasi diri.

Salah satu manifestasi dan konsekuensi meningkatnya kekakuan teologi Islam adalah pembakuan istilah-istilah, seperti Islām, imān, dan kufr. Menurut Farid Esack, istilah-istilah ini tidak lagi dilihat sebagai kualitas yang dapat dimiliki setiap individu; kualitas yang dinamis dan beragam intensitasnya sesuai dengan tahap-tahap hidup seseorang. Bahkan, istilah-istilah itu kini dipandang sebagai kualitas yang melekat dalam kelompok, sebagai cerminan karakteristik sebuah etnis.

Dengan begitu, Muslim, dengan segala konotasi positifnya bagi dunia dan akhirat, tidak semata-mata merujuk pada kebetulan biologis untuk dilahirkan dalam keluarga muslim. Begitu juga kāfir, tak lantas merujuk pada kebetulan dilahirkan bukan dari keluarga Muslim. Untuk itu diperlukan upaya penyisihan konotasi ideologis yang telah dilekatkan kepada istilah-istilah ini dan menampilkan secara sadar makna baru yang lebih memberi kebebasan kepada semua orang.Para pemikir Islam pun membenarkan ide bahwa istilah Islam di dalam al-Qur’an bukan semata merujuk pada religius kaum Muslim.

Mereka juga membenarkan bahwa Islam primordial dan universal, yaitu penyerahan diri pada yang absolut, dapat dengan jelas ditemukan dan dikenali di dalam berbagai simbol dan pola keberimanan dan tindakan di dalam berbagai agama dan ideologi masa lalu maupun sekarang. Setiap respon tulus terhadap panggilan dari sang misteri yang tersembunyi, sumber segala yang ada, membuktikan Islam eksistensial dan personal.

Esack melihat konsep Islam bukanlah lahir sebagai karunia Tuhan dengan begitu saja kepada sesuatu kelompok etno-sosial tertentu, melainkan lebih menitikberatkan pada usaha dan prestasi praksis dari setiap individu. Sehingga konsepsi Islam bukanlah merupakan suatu idiom atau label yang ditujukan khusus bagi komunitas umat Islam saja, melainkan dianugerahkan pula kepada umat lain yang benar-benar merespon perintah dan panggilan Tuhan YME.

Terkait dengan perjuangan anti-apartheidnya yang bersentuhan dengan banyak orang beragama di luar Islam, Esack juga merekonstruksi definisi kafir sebagaimana diyakini kaum fundamentalis bahwa ‘Kafir’ adalah semua orang di luar (religius) agama Islam. Sedangkan, Esack memberikan konsep kafir yang lebih luas. Bahwa kafir secara doktrinal berarti beda keyakinan; ada kafir secara sosio-politik; kafir dalam arti memerangi keadilan.

Menengok konsep yang telah diusung oleh Farid Esack, maka secara tidak langsung ia mengungkapkan bahwa, ketika hati setiap individu tidak terketuk dan tergerak saat di depan matanya terjadi ketidaksesuaian -dalam hal apapun-, termasuk penindasan maka individu tersebut bukanlah manusia yang taat pada perintah Tuhannya, yaitu sebagai khalifah yang mengelola dan memakmurkan bumi ini.

Oleh karena itu, pluralitas religius sejatinya bukan ancaman bagi keutuhan suatu negara, melainkan kekuatan yang harus bersatu padu demi harmonisasi dan kemajuan NKRI. Tentunya hal ini tidak akan dapat terwujud tanpa adanya kesadaran dan keikutsertaan seluruh elemen masyarakat dalam membingkai kedaulatan negara. Wallahu a’lamu bi ash-shawaab.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru