32.9 C
Jakarta

Peta Muslim dan Kafir dalam Al-Qur’an

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanPeta Muslim dan Kafir dalam Al-Qur’an
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Munculnya Khawarij pada masa kepemerintahan Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib sungguh mencuri perhatian publik. Kelompok ini pada mulanya adalah pengikut Ali kemudian mereka keluar (menjadi oposisi), karena tidak suka dengan gaya politik Ali. Sesuatu yang menyedihkan dari kemunculan kelompok ini adalah sikap ekstrem mereka yang diekspresikan dengan ucapan mengkafirkan dan tindakan pembunuhan, kalau sekarang adalah aksi terorisme.

Pengkafiran Kelompok Khawarij didasarkan atas kesalahan tafsir pada surah al-Maidah ayat 44: Barang siapa yang tidak memutuskan suatu hukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka termasuk orang kafir. Sikap ekstrem ini ke depan terus dikembangkan oleh varian kelompok radikalis. Sebut saja, Wahabisme yang didirikan oleh Muhammad Ibn Abdul Wahhab, Islamic State of Irak and Syam (ISIS) yang digagas oleh Abu Bakr al-Baghdadi, dan Hizbut Tahrir (HT) yang didirikan oleh Taqiyuddin an-Nabhani.

Sikap pengkafiran (takfir) tersebut sebenarnya disebabkan oleh pemahaman parsial terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka melihat kafir hanya terbatas pada ayat dalam surah al-Maidah tadi. Seharusnya, mereka memahami secara utuh dari ayat-ayat yang berbicara tentang kafir dan tidak lupa pula ayat yang berbicara tentang Islam. Kali ini saya coba uraikan dari penjelasan tentang ayat-ayat yang berbicara tentang Islam.

Islam merupakan bahasa serapan dari bahasa Arab al-Islam yang kata kerjanya aslama, sedang kata sifatnya adalah muslim. Islam dapat dipahami dengan sikap ketundukan dan berserah diri kepada Tuhan atas segala bentuk hukum-hukum-Nya. Pelakunya disebut dengan muslim. Pemahaman ini dapat dilihat dari penyebutan kata muslim pada beberapa ayat. Salah satunya, surah al-Baqarah ayat 127-128: Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

Ayat-ayat lain, di antaranya, surah Ali Imran ayat 52: Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri. Begitu pula, surah Ali Imran ayat 64: Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.

Dalam karya tafsir Mafatih al-Ghaib Fakhruddin ar-Razi memahami ayat tersebut, bahwa Islam dapat dilihat dari dua sisi: Pertama, Islam sebagai agama dan keyakinan. Kedua, Islam sebagai nilai-nilai kepatuhan dan ketundukan. Sedangkan, uraian Islam, baik diungkapkan dengan kata benda maupun kata kerja, selagi disandarkan kepada kata depan la atau li (yang bermakna ke atau kepada) lebih cenderung dipahami dengan Islam sebagai nilai kepatuhan dan ketundukan, bukan Islam sebagai agama dan keyakinan. Pandangan yang serupa disampaikan oleh Ibnu Asyur dalam kitab tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir.

Sampai di sini, Islam pada satu sisi dipahami sebagai agama atau keyakinan yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad Saw. sehingga sampai sekarang masih diyakini sebagai agama yang memiliki posisi mayoritas di Indonesia dibandingkan agama dan keyakinan yang lain. Pada lain sisi Islam dipahami sebagai nilai kepatuhan dan ketundukan yang dapat mencakup semua agama, baik agama Islam maupun di luar Islam, yang memegang teguh sikap dan prinsip kepatuhan terhadap hukum-hukum Tuhan.

BACA JUGA  Berpuasalah, Agar Kamu Selamat dari Kejahatan Radikalisme

Setelah uraian tentang Islam dapat dipahami, mari pahami apa itu kafir? Sehingga, dengan pemahaman ini tidak mudah menge-judge orang lain yang tidak sepemikiran dan sekeyakinan itu kafir. Kafir merupakan kata benda yang terambil dari akar kata kafara yang berarti menutup. Hal ini disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 24: Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya)—dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.

Pada ayat 24 diakhiri dengan penyebutan “kafir”. Kafir di sini bakal mendapat siksa api neraka, karena perbuatannya yang tidak mematuhi (tidak berislam pada) ketentuan Tuhan. Sikap tidak mematuhi ini dianggap sebagai cara menutupi hatinya beriman kepada Tuhan Yang Esa. Selain itu, sikap menutup juga bisa dipahami dengan menutup nikmat Tuhan yang diberikan kepada manusia. Maksud menutup nikmat adalah tidak mensyukurinya. Sehingga, ia dinamakan kufur ni’mah. Kufur nikmah terekam begitu kuat dalam surah Ibrahim ayat 7: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

Sebutan kafir juga bisa dilihat dari kata kuffar pada surah al-Hadid ayat 20 yang mana kata itu dipahami dengan para petani. Kenapa petani disebut dengan kuffar atau kafir? Karena, menurut Ibnu Mas’ud, petani itu menutupi tanah saat bercocok tanam. Begitu pula, denda bagi pelaku hubungan seks di siang bulan Ramadhan disebut dengan kaffarah, karena denda ini menutupi beban atau dosa yang ditanggung oleh si pelaku. Bahkan, sesuatu disebut dengan cover (yang agak mirip dengan penyebutan kafir) karena menutupi isi buku.

Melihat variasi makna kafir, hendaknya kita berhati-hati memahami kafir, lebih-lebih dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Ibnu Asyur memahami kafir itu dengan menutup atau mengingkari sesuatu. Orang disebut kafir karena mereka mengingkari bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa yang tidak punya sekutu dengan ciptaan-Nya, baik umat Muhammad maupun umat sebelumnya. Sikap mengingkari ini, terlebih dalam persoalan pengingkaran terhadap nikmat Allah, juga dibenarkan oleh Imam al-Qurthubi.

Melalui beberapa ayat dan pandangan sementara pakar tafsir, kafir dapat dipilah menjadi lima: Pertama, kufur inkar, yakni kafir yang tidak mengenal Allah dan tidak mengakui-Nya. Kedua, kufur juhud, yakni kafir yang mengenal Allah dengan batinnya, tapi tidak mau mengikrarkan dengan lisannya. Ketiga, kufur inad, yakni kafir yang mengenal Allah dengan batinnya, mengakui-Nya secara lisan, tapi enggan memeluk agama-Nya. Keempat, kufur nifaq, yakni kafir yang mengikrarkan secara lisan, tapi batinnya tidak mengakuinya (munafik). Kelima, kufur ni’mah, yakni kafir yang tidak mensyukuri nikmat Allah.

Beragamnya status kafir dan luasnya cakupan Islam secara tidak langsung memberikan pesan dinamis bahwa tidak selamanya agama di luar Islam adalah kafir. Selagi agama itu masih berpegang teguh pada paham tauhid (monoteisme) dan menolak paham syirik (politeisme), maka jelas agama ini termasuk dalam kategori Islam dan pemeluknya tetap muslim, bukan kafir. Karena itu, tidak patut bagi siapa saja menuding mereka yang beragama di luar Islam kafir, karena mereka masih mempercayai keesaan Tuhan. Sebagai penutup ada pesan bijaksana dari Prof. Nasaruddin Umar: “Kalau ada orang yang suka menyalahkan orang lain, maka pertanda orang itu masih harus belajar. Tapi, kalau orang itu sudah mulai menyalahkan dirinya sendiri, orang itu sedang belajar. Tapi, kalau tidak menyalahkan orang lain dan tidak menyalahkan dirinya sendiri, orang itu hampir selesai belajar.”[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru