26.1 C
Jakarta

Pesantren Sebagai Basis Nalar Gerakan Melawan Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifPesantren Sebagai Basis Nalar Gerakan Melawan Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kelompok-kelompok Islam radikal tampaknya semakin marak menggaungkan pemahaman eksklusif tentang perubahan tatanan negara secara drastis dan intoleran. Radikalisme yang muncul belakangan ini lahir dari pergeseran kehidupan sosial politik yang selalu menjadi pengeras ideologi agama, dan mengklaim bahwa pemahaman mereka yang paling benar.

Dalam praktiknya, segelintir kelompok Islam radikal tak dapat dinafikan dalam memakai teks-teks suci sebagai jihad menuju perubahan dengan cara kekerasan. Justifikasi perbedaan di tengah pusaran politik kian mudah memunculkan pergolakan keras sesama ormas Islam, baik itu mereka yang membumikan moderasi beragama atau pun radikalisme agama.

Ormas Islam pun terpengaruh oleh paham radikalisme agama yang sekedar mempunyai misi politis dibandingkan perihal humanis. Islam sebagai gama yang lemah lembut tampil menegakkan kemanusiaan sebelum peradaban. Mereka yang berpikir radikal merupakan bentuk gerakan revolusi Islam yang hendak merubah tatanan sosial politik dalam bernegara.

Akar pertumbuhan radikalisme dalam gerakan Islam selama ini mampu menyingkirkan obyektivitas kelompok-kelompok radikal ekstrem. Aksi-aksi yang merugikan agama Islam karena maraknya main hakim sendiri kepada keyakinan maupun perbedaan dalam konteks keragaman. Tak heran, jika bersikap secara berlebihan dalam keberagamaan kian laris menjadi tontonan.

Agama terkesan tampil sebagai pengadil keyakinan orang lain, termasuk negara. Semua agenda pemerintah nyaris diasumsikan secara negatif. Sudut pandang kebencian, dan konten-konten radikal bertebaran di dunia maya. Apa jadinya negara di hadapan umat beragama di Indonesia? Kenapa negara kesannya tidak berdaya? Itulah tindakan kelompok Islam radikal.

Radikalisme Agama

Philip Suprastowo mengutip hasi penelitian The Wahid Foundation (2018) pengertian radikalisme sebagai sikap atau tindakan yang mengatasnamakan agama yang tidak sejalan dengan dasar atau prinsip dasar kehidupan berbangsa yang menjunjung tinggi toleransi dan terbuka terhadap sesama warga yang majemuk yang terjamin keberadaannya oleh konstitusi, atau yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemanusiaan.

Adapun radikalisme yang tertafsirkan dalam penelitian The Wahid Foundation ialah suatu paham yang teriniasiasi oleh gerakan tertentu untuk mencapai perubahan secara drastis. Dalam konteks ini, agama hanya menjadi dalil untuk melakukan kekerasan demi tercapainya suatu tujuan politik. Sehingga, mereka sangat layak menyandang status menipulator agama.

Abdul Munip (2012) mengatakan, dalam penelitiannya. Bahwa gerakan radikalisme berbeda antara paham dan gerakannya. Pertama, radikalisme level pemikiran. Pada level pemikiran, radikalisme masih berupa wacana, konsep dan gagasan yang masih menjadi perbincangan, yang intinya mendukung penggunaan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan.

Kedua, radikalisme pada level aksi atau tindakan. Pada level aksi atau tindakan, radikalisme bisa berada pada ranah sosial-politik dan agama. Paham ini tampak tercermin dari adanya tindakan memaksakan pendapatnya dengan cara-cara yang inkonstitusional, bahkan bisa berupa tindakan mobilisasi masa untuk kepentingan politik tertentu dan berujung pada konflik sosial.

BACA JUGA  Darurat Solidaritas: Lawan Polarisasi Politik dan Perpecahan Bangsa!

Indikator

Tersebarnya paham radikalisme ada beberapa hal menurut pandangan Azyumardi Azra (2012). Pertama, Pemahaman keagamaan yang literal, sepotong-sepotong terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, pemahaman seperti itu hampir tidak umumnya moderat. Karena itu, menjadi arus utama (mainstream) umat.

Kedua, bacaan yang salah terhadap sejarah umat Islam yang terkombinasikan dengan idealisasi berlebihan terhadap umat Islam pada masa tertentu. Ini terlihat dalam pandangan dan gerakan salafi. Ketiga, deprivasi politik, sosial dan ekonomi yang masih bertahan dalam masyarakat.

Keempat, radikalisme yang marak tersebar melalui internet, selain menggunakan media kertas, kelompok radikal juga memanfaatkan dunia maya untuk menyebarkan buku-buku dan informasi tentang jihad. Indikator radikalisme ini gampang mempengaruhi cara pandang masyarakat awam.

Bagaimana masyarakat yang minim dan kurang paham ilmu agama? faktor ini juga menjadi kesempatan kelompok radikal agar masyarakat terperangkap oleh tipu muslihatnya. Faktor lain pelaku penyebaran paham radikalisme bisa jadi alih fungsi ke pelaku terorisme (kekerasan).

Kekerasan ini selalu terkait dengan jihad yang berlandaskan agama. Dalam sumber agama apapun, jihad tidak harus kita laksanakan melalui kekerasan. Oleh demikian itu, yang namanya kekerasan pada orang lain itu menjadi tindakan kedzaliman. Sebab itu, menghancurkan sumber-sumber agama.

Tips Jitu

Kelompok-kelompok Islam radikal yang membuat paham radikal semakin meningkat di masyarakat, dan di dunia maya menjadi perhatian serius pemerintah agar tidak terkesan lengah. Kelengahan itu, bisa jadi pembenahan kebijakan dalam rangka melawan konten-konten radikal yang beredar melalui gerakan-gerakan, dan radikalisme yang muncul di dunia maya.

Pesantren sebagai sarana mencetak generasi keislaman yang tradisional modern harus dianggap mampu melawan radikalisme dari berbagai sisi. Misalnya, dengan pendekatan dialog antar agama, seminar toleransi, dan pembumian Pancasila di pesantren-pesantren. Bagaimana pun pesantren meliputi peran santri harus mampu memagari pemahaman mereka sendiri.

Literatur keislaman yang telah negara kembangkan untuk lembaga pendidikan Islam, yaitu pesantren. Adalah konsep nyata yang sesungguhnya menawarkan solusi terbaik guna terbebas dari himpitan kelompok-kelompok radikal. Dan, negara punya keharusan untuk melibatkan pesantren dalam rangka suksesnya melawan, dan memberantas radikalisme.

Pesantren yang menjadi titik sentral belajar ilmu agama bisa kita jadikan jalan alternatif mencegah radikalisme yang tercermin mengajarkan jihad agama (perubahan) dengan kekerasan. Penyebaran literatur keagamaan yang modelnya Islam moderat bisa lebih masif tersebar melalui alat internet. Seperti, media dakwah, media sosial, dan lainnya.

M. Aldi Fayed S. Arief
M. Aldi Fayed S. Arief
Mukim di Bintaro, Jakarta Selatan, Pegiat Kajian Keislaman di Lingkar Pena Mahasiswa (LPM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Alumni Pondok Pesantren at-Taqwa Pusat Putra, Bekasi.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru