30.1 C
Jakarta

Pesantren Berjaya, Radikalisme Tak Berdaya

Artikel Trending

KhazanahOpiniPesantren Berjaya, Radikalisme Tak Berdaya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Resolusi Jihad yang disuarakan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 di masa-masa perang mempertahankan kemerdekaan menjadi satu babak penting bagi pesantren dan kalangan santri dalam kiprah perjuangan membela bangsa ini. Kini, 75 tahun sudah peristiwa besar itu berlalu, namun energi dan spirit perjuangan kaum santri masih terus dikobarkan di seluruh penjuru negeri.

Melalui Kepres Nomor 22 Tahun 2015 lima tahun lalu, Presiden Joko Widodo menetapkan tanggal bersejarah tersebut sebagai Hari Santri Nasional (HSN) sebagai bentuk penghargaan atas jasa para kiai dan santri dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, sekaligus pemantik semangat kalangan pesantren untuk terus menjaga, merawat, dan membangun negeri.

Tak berhenti di sana, tahun lalu, tepatnya pada Selasa (24/9/2019), DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-undang tentang Pesantren menjadi Undang-Undang. UU Pesantren dibuat sebagai apresiasi atas keberadaan pesantren dalam hal dakwah, pendidikan, dan pemberdayaan di masyarakat. Disahkannya UU Pesantren menjadi bentuk pengakuan negara akan legitimasi peran penting pesantren dan santri di masyarakat.

Ditetapkannya Hari Santri Nasional, kemudian disusul ditetapkannya Undang-Undang Pesantren, membuktikan betapa santri dan kaum pesantren terus dan semakin diakui eksistensinya di negeri ini. Selain secara historis berperan penting dalam perang kemerdekaan, tak bisa dipungkiri bahwa pesantren terbukti selalu berdiri di garda terdepan dalam menjaga ideologi dan dasar negara Pancasila. Lewat peran pentingnya di bidang keagamaan, pendidikan, hingga pemberdayaan masyarakat, pesantren telah menjadi pusat keagamaan sekaligus kebangsaan yang bisa diandalkan.

Tantangan Pesantren

Di tengah eksistensi santri dan kaum pesantren yang semakin diakui dan menguat tersebut, di saat bersamaan bangsa ini sedang menghadapi berbagai tantangan. Di antaranya, menguatnya kebencian di tengah masyarakat karena dinamika politik hingga menyebarnya ideologi radikalisme dan terorisme. Beberapa tahun belakangan, terutama di tengah gemuruh era digital dan media sosial, masyarakat begitu mudah diadu domba, diprovokasi, sehingga gampang saling mencaci dan melukai satu sama lain.

Di samping itu, isu-isu radikalisme hingga berita penangkapan terduga teroris juga masih terus terdengar hingga saat ini. Seperti pada periode 1 Juni hingga 12 Agustus 2020 kemarin, Tim Datasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri telah menangkap total 72 orang pelaku tindak pidana terorisme di delapan provinsi. Yakni Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Tengah, dan Riau. 15 tersangka dari DKI Jakarta dan Jawa Barat diketahui merupakan kelompok JAD, pengiriman logistik dan pendanaan kelompok MIT, serta fasilitator keberangkatan ke Suriah (Kompas.com, 14/08/2020).

Berbagai persoalan tersebut jelas menjadi ancaman serius bagi bangsa ini. Di samping bisa menciptakan pertikaian, konflik, perpecahan, dan disintegrasi bangsa, penyebaran paham radikalisme dan terorisme juga menjadi ancaman bagi ideologi kebangsaan kita. Di titik inilah, pesantren dan kalangan santri begitu diandalkan untuk terus menguatkan peran pentingnya dalam mendidik dan membentengi masyarakat agar tak terpengaruh paham-paham kekerasan dan provokasi pemecahbelah tersebut.

Pesantren diharapkan terus meneguhkan karakter dan jati dirinya. Seperti kita tahu, jati diri kaum santri itu kuat dan mendalam dalam ilmu agama, memiliki etika, adab, kesabaran dalam mencari ilmu, mandiri, toleran, ramah, dan santun dalam bersikap, menjunjung tinggi komitmen kebangsaan, cinta Tanah Air, serta bisa menghargai tradisi dan budaya masyarakat. Pada dasarnya, semua itu merupakan karakter-karakter penting yang dibutuhkan untuk melindungi bangsa ini dari berbagai bentuk ancaman dan persoalan.

BACA JUGA  Memahami Toleransi Beragama dalam Kerangka Filsafat Politik Abad Pertengahan

Penguatan Karakter Santri

Penulis melihat, setidaknya ada tiga hal yang mesti terus dijaga, dikuatkan, dan dikembangkan dalam tradisi pendidikan pesantren, agar pesantren bisa terus berjaya sebagai menjadi role model pendidikan yang menanamkan kedalaman ilmu agama, pembangun kepribadian yang kuat, toleran, dan cinta perdamaian. Ini terutama untuk menghalau perkembangan paham-paham radikal-terorisme yang masih mengancam negeri ini dari segala lini.

Pertama karakter keilmuan santri yang benar-benar menjaga ketersambungan sanad dari sumber ilmu atau kiai. Semangat belajar agama dari sumber yang terpercaya ini menjadi sangat penting, apalagi di tengah era digital saat ini. Saat ini, di masyarakat sedang marak fenomena belajar agama secara instan melalui internet. Padahal, kelompok-kelompok radikal pejuang khilafah kerap menebarkan paham mereka dan memengaruhi masyarakat dengan memanfaatkan saluran-saluran digital atau media sosial tersebut.

Hal tersebutlah yang harus diantisipasi oleh pesantren. Dengan menjaga tradisi ketersambungan sanad keilmuan, pesantren menjadi role model tantang bagaimana mestinya belajar dan mencari sumber-sumber ajaran agama. Di tengah munculnya fenomena keberagamaan yang eksklusif, intoleran, bahkan radikal di masyarakat, pesantren diharapkan peran pentingnya untuk secara konsisten menyebarkan spirit keberagamaan yang moderat, toleran, dan damai.

Kedua, karakter kepribadian (akhlak) yang tawadu’, rendah hati, serta menjunjung tinggi kebersamaan, gotong-royong, solidaritas, dan penghargaan pada sesama. Bisa dikatakan, faktor akhlak inilah yang tak dimiliki kelompok radikal dan teroris yang gemar melakukan kekerasan, bahkan pembunuhan. Padahal, akhlak adalah salah satu tolok ukur keberagamaan seseorang. Dan di sini, kalangan santri begitu menjunjung tinggi hal tersebut. Dengan akhlak atau kepribadian tersebut, santri diharapkan bisa menunjukkan keteladanan tentang bagaimana membangun kehidupan yang harmonis di tengah masyarakat, dengan menjaga akhlak, menghargai perbedaan, serta menjunjung tinggi semangat kebersamaan (gotong-royong).

Ketiga, kecintaan pada Tanah Air atau nasionalisme. Di tengah menyebarnya paham radikalisme agama yang kerap mempersoalkan nasionalisme dan dasar negara Pancasila, komitmen kebangsaan pesantren atau kalangan santri diharapkan bisa terus hidup dan ditumbuhkan, sehingga bisa memberi pencerahan di tengah masyarakat bahwa semangat beragama dan berbangsa bisa berjalan beriringan secara harmonis. Bahkan, spirit beragama bisa ditransformasikan untuk turut menjaga dan berkontribusi membangun bangsa.

Ketika pesantren bisa terus menguatkan karakter dan peranannya di masyarakat tersebut, diharapkan pesantren akan berkembang menjadi pusat pembangunan peradaban. Ketika pesantren terus eksis, kuat, dan berjaya—sehingga terus melahirkan generasi-generasi religius dan nasionalis penjaga persaudaraan dan perdamaian di masyarakat, maka bangsa Indonesia akan semakin aman sentosa, sehingga virus-virus radikalisme-terorisme makin tak berdaya.

Al Mahfud
Al Mahfud
Penikmat buku, penulis lepas, Aktif menulis topik-topik radikalisme-terorisme, Alumni IAIN Kudus.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru