29 C
Jakarta

Pesan Al-Qur’an bagi Para Pendakwah

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanPesan Al-Qur'an bagi Para Pendakwah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sejenak saya termenung sembari mengingat masa-masa menjalani momen Ramadhan di tanah kelahiran sendiri dan di tanah rantau. Rasanya berbeda, mungkin kerena budaya dan kemasannya berbeda. Di Madura hampir shalat tarawih dilaksanakan langsung setelah shalat Isyak dikerjakan. Beda hal, di Jakarta antara shalat Isyak dan shalat Tarawih dijeda beberapa menit dengan penyampaian dakwah bil lisan di depan para jamaah yang mengikuti shalat.

Masjid menjadi media strategis menyampaikan dakwah kepada para jamaah. Pendakwah tidak perlu repot-repot mengumpulkan audiensi untuk mendengarkan dan menyerap pesan yang disampaikan. Hal ini merupakan sesuatu yang positif bila dakwah itu disampaikan dengan cara-cara yang positif pula. Bagaimana kalau dakwah ini bersifat provokasi, apalagi bernuansa politik? Hampir dapat dipastikan pengaruh dakwah semacam ini menggiring audiensi mengimplimentasikan pesan dakwah dengan perilaku negatif.

Dakwah provokatif bukanlah dakwah Nabi Muhammad Saw. dan bukan dakwah yang dikehendaki Allah Swt. Secara sederhana, teknik dakwah yang diajarkan Allah kepada Nabi Muhammad terekam dalam Qs. an-Nahl/16: 125, yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan Hikmah dan Mauizhah Hasanah dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Pada ayat tersebut teknik dakwah atau mengajak orang lain menuju jalan Allah Swt. ada dua macam: Pertama, hikmah. Kedua, mauizhah hasanah. Apa itu hikmah? Apa itu mauizhah hasanah? Banyak pendakwah belum memahami dua teknik ini sehingga dakwah yang disampaikan tidak sampai dan berkesan di hati audiensi. Ada sekian penafsir yang memperdebatkan makna keduanya. Dalam tafsir Ma’alim at-Tanzil al-Baghawi menyebutkan bahwa hikmah adalah Al-Qur’an, sementara mauizhah hasanah adalah nasihat-nasihat Al-Qur’an.

Argumentasi al-Baghawi itu sepintas memang kurang memuaskan karena uraiannya amat sangat singkat. Namun, saya melihat argumentasi ini memiliki makna yang amat luas dan dalam. Saya pakai pertanyaan begini. Jika hikmah itu Al-Qur’an, maka prinsip apa saja yang amat ditekankan Al-Qur’an dalam berdakwah? Ada ayat yang tak kalah familiar dikutip dan pesannya bisa jadi menjawab kegelisahan ini. “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Qs. Ali Imran/3: 159).

Sederhananya, ayat 159 berpesan tentang nasihat kepada Nabi Muhammad Saw. berdakwah dengan lemah lembut, karena dakwah yang bersifat provokasi dan kasar akan meresahkan jiwa dan mengores luka, sehingga pesan dakwah tidak tersampaikan dan tidak memberikan kesan di hati. Akibatnya, audiensi tidak mengindahkan apa yang didakwahkan, lebih dari itu audiensi meninggalkan forum.

BACA JUGA  Memaknai Mudik pada Tahun Ini

Al-Qur’an menekankan dakwah yang lemah lembut. Dalam tafsir Mahasin at-Ta’wil al-Qasimi menambahkan, bahwa hikmah itu perkataan yang tepat sasaran dan baik. Tidak disebut hikmah, misalkan, menyampaikan dakwah bertemakan politik pada acara pernikahan. Karena, momennya kurang tepat, sehingga dakwah yang disampaikan kurang berkesan. Begitu pula, tidak dapat dibilang hikmah, sebut saja, berdakwah dengan perkataan yang menyinggung perasaan pihak tertentu, bahkan menghakimi, sehingga dakwah bukan mencerahkan yang ambigu dan melerai yang kusut, namun menyulut api permusuhan, mengiris luka di hati, dan memorak-porandakan persatuan. Maka, disebut hikmah bila dakwah disampaikan sesuai kebutuhan audiensi sembari dihiasi dengan sikap yang ramah dan perkataan yang lemah lembut. Dakwah semacam ini contoh dakwah para nabi. Tidak heran, jika az-Zajjaj berkata—sebagaimana disitir Ibnu al-Jauzi—bahwa hikmah adalah kenabiaan. Artinya, dakwah bil hikmah hendaknya meneladani dakwah para nabi yang santun dan ramah.

Selain nasihat Al-Qur’an mauizhah hasanah dipahami adh-Dhahhak dengan sikap yang baik yang dikenal oleh masyarakat. Pendakwah tidak hanya menguasai materi, namun pula menguasai medan dakwah. Dakwah tidak hanya “disampaikan”, namun pula “dipastikan benar-benar sampai di benak orang yang mendengarkan”. Menyampaikan sesuatu yang tidak berkesan di benak pendengar mengindikasikan dakwah itu gagal. Karenanya, itu namanya bukan dakwah (speaking), tetapi ngomong (talking).

Jika audiensi tidak mengindahkan, apakah hendaknya dipaksa? Al-Qur’an pada an-Nahl 125 memerintahkan pendakwah dan audiensi berdebat, baik audiensinya seiman maupun tidak. Tapi, ingat perdebatan itu yang terbaik (ahsan), bukan debat kusir. Debat yang terbaik berusaha mempertemukan dua sisi yang berbeda. Pakar tafsir menyebutkan debat yang terbaik ini adalah berdebat tanpa memprovokasi, melainkan bersikap lemah lembut. Pakar tafsir lain berkata, berdebat dengan Al-Qur’an. Debat yang dikehendaki Al-Qur’an bukan debat yang mendahulukan ego sehingga tidak memberikan manfaat sedikit pun, namun debat yang dikendalikan pesan-pesan Al-Qur’an yang mempertemukan perbedaan dan melerai masalah yang tak berkesudahan.

Bila beberapa tahapan tersebut sudah dilalui oleh pendakwah dan tiada hasil yang digapai, maka pendakwah memasrahkan segala keputusannya kepada Allah Sang Penguasa hati manusia. Dialah yang memberikan hidayah. Tidak benar pendakwah memaksa audiensi mengikuti ajakannya, apalagi mengkafirkan dan menyesatkan mereka. Karena, lanjut an-Nahl 125, hanya Allah seorang yang Maha Tahu hamba-Nya yang sesat dan yang mendapat petunjuk.

Pendakwah yang menghakimi, mengkafirkan, dan menyesatkan hamba Allah secara tidak langsung “menjadi Tuhan” yang sok tahu memveto dan sok kuasa menghakimi. Karenanya, pendakwah semacam ini akan terjebak dengan perbuatannya sendiri; dia sudah musyrik karena menuhankan dirinya sendiri. Kalau belum menyadari dan tidak sempat bertaubat, maka pedihnya siksa api neraka akan menjadi balasannya. Karena, dosa paling besar adalah syirik.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru