29.7 C
Jakarta
Array

Perspektif Perempuan Korban Kekerasan

Artikel Trending

Perspektif Perempuan Korban Kekerasan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam kondisi normal, perspektif perempuan kerap diabaikan. Contoh gampangnya adalah perkawinan paksa pada anak perempuan. Karena menjadi perempuan, maka izinnya untuk dinikahkan dengan laki-laki dianggap tidak penting.

Padahal menikah dengan siapa bagi perempuan bermakna pula: penggunaan seluruh tubuh untuk seks, rahim untuk hamil, vagina untuk melahirkan dan nifas, juga payudara untuk menyusui bayi. Konsen perempuan sangat penting bukan? Karenanya Rasulullah Saw. mengingatkan: Tidak dinikahkan seorang perempuan kecuali dengan izinnya.

Dalam kondisi sebagai korban kekerasan, perspektif perempuan semakin diabaikan. Misalnya? Kawin paksa korban perkosaan dengan pelakunya! Tahukah kalian siapa orang yang paling ditakuti oleh perempuan korban perkosaan? Ya siapa lagi kalau bukan pelakunya.

Tapi apa yang terjadi? Bahkan ada sebuah Negara yang punya aturan hukum membebaskan pelaku dari hukuman jika menikahi korbannya. Lihat foto protes para perempuan di bawah ini yang mengatakan: “A white dress doesn’t cover the rape”.

Tentu, ada banyak bentuk lain kekerasan yang mengandung peminggiran berlapis pada perempuan korban. Buku “Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Kekerasan Demi Keadilan” setidaknya membahas peminggiran berlapis pada perempuan korban KDRT, perempuan pekerja migran, dan perempuan kepala keluarga.

Ada 4 hal untuk menghindari peminggiran perempuan korban kekerasan memahami agama:

1. Mendengar suara korban. Hindari asumsi, juga pra-asumsi negatif pada perempuan. Langkah ini menjadi sangat penting, khususnya ketika masyarakat masih menjadikan kekerasan, terutama kekerasan seksual sebagai candaan. Syarat laki-laki untuk menjadi saksi dalam kasus pidana semakin menyulitkan pada perempuan korban kekerasan untuk menjadi saksi korban.

2. Mendengar bentuk keadilan yang diharapkan korban. Kita sering ingin melindungi korban tapi lagi-lagi dengan asumsi kita sendiri yang seringkali itu justru memberatkan korban. Suara korban penting didengarkan. Tentu saja bukan dalam makna abaikan suara lainnya. Dengarkan suara pihak lain, tapi jangan lupa dengarkan dan pertimbangkan suara korban.

3. Mewaspadai tafsir bias gender yang ada. Saya punya keyakinan bahwa Al-Qur’an secara obyektif atau sebagai dirinya adalah kitab suci yang sangat adil termasuk pada perempuan. Ini adalah konsekuensi keyakinan bahwa Al-Quran adalah firman Dzat yang Maha adil. Sementara tafsir adalah pemahaman manusia atas Al-Quran. Mereka tak satu pun maha adil. Maka Al-Quran yang pasti adil belum tentu ditafsirkan dengan cara yg adil. Ayat tentang pemukulan istri misalnya bisa dimaknai dengan 2 cara: pembolehan (bahkan perintah) memukul istri atau sebaliknya yaitu larangan main pukul pada istri sehingga diberi cara lain (nasehat dan pisah ranjang) plus hadis-hadis bahwa Rasul tidak pernah memukul istrinya dan hadis yang melarang memukul perempuan. Samalah dengan ayat tentang perbudakan yang mungkin ditafsirkan dengan 2 cara berbeda: membolehkan (tekstual) dan sebaliknya yaitu melarang keras (substansial).

4. Mewaspadai tradisi yang bias gender. Tradisi bisa sudah ada sebelum ajaran agama sampai. Maka tidak sedikit orang santai meninggalkan kewajiban agama, tapi meninggalkan tradisi lebih takut. Lebih-lebih melanggar tradisi berbalut tafsir agama.

Sejarah para Rasul yang berdiri bersama dluafa dan mustadl’afin dan memilih melawan al-mala’ (para pembesar kaum) adalah landasan kuat untuk mendengar suara perempuan korban kekerasan yang pada umumnya dluafa sekaligus mustadl’afin. Lemah dan dilemahkan.

Wallahu a’lam bish Shawab!
KL, 15 Oktober 2019
Nur Rofiah

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru