31.1 C
Jakarta

Bagaimana Mewujudkan Persaudaraan yang Kokoh dalam Sebuah Bangsa?

Artikel Trending

KhazanahOpiniBagaimana Mewujudkan Persaudaraan yang Kokoh dalam Sebuah Bangsa?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Indonesia merupakan sebuah bangsa yang majemuk, terhimpun atas berbagai golongan, suku, etnis dan agama. Tentu, dalam beberapa sendi kehidupan sosial-kebudayaan, terdapat keberagaman, yang demi persaudaraan dan persatuan, kita harus saling menerima.

Acap kali perbedaan-perbedaan itu juga melahirkan percekcokan, perselisihan, bahkan sampai pada peperangan yang menjijikkan. Apakah sudah absen kesadaran, bahwa perselisihan dan pertengkaranlah yang kemudian menghancurkan tatanan kehidupan bernegara ini?

Saya kira, benar-benar banyak yang tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan. Faktanya, masih banyak kita temui perselisihan dari perbedaan yang melahirkan percekcokan di tanah air. Entah dari masalah perbedaan keyakinan, perbedaan budaya, juga perbedaan lainnya.

Menyoal persaudaraan dan perdamaian. Sebenarnya ada bebera langkah strategis yang harus kita ingat betul. Juga kita lakukan dengan seksama dalam menjaga perdamaian dan kerukunan di sebuah negara yang majemuk.

Tentu saja kita masih ingat dengan sunah Nabi Muhammad Saw. Beliau mengutamakan nilai universal Islam ketimbang simbol tekstual, demi sebuah perdamaian bagi masyarakat yang beragam?

Mari kita ingat kembali, saat Nabi Muhammad Saw melakukan perundingan damai dengan kaum Quraisy Mekah pada 628 M (tahun 6 H) di Hudaibiyah. Hampir saja perdamaian itu gagal, akibat keberatan pihak Quraisy terhadap Basmalah (Bi ismi allahi al-rahmani al-rahim) yang tertulis pada awal naskah perdamaian.

Seperti kita pahami, bagaimana mungkin ada sahabat Nabi yang berani menghapus Basmalah. Tidak akan ada, karena itu sebuah simbol Islam yang amat sakral.

Tetapi apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad? Beliau lebih mementingkan solusi damai ketimbang simbol formal. Maka Nabi pun meminta tulisan Basmalah diganti dengan kalimat yang lebih singkat bi ismika Allahumma, yang dapat diterima oleh semua pihak.

Sungguh luar biasa menurut saya, bahwa Rasulullah Saw dalam hal itu benar-benar memberi rahmah (rahmatan li al-‘alamin) untuk perdamaian tersebut.

Jauhkan Diri dari Egoisme Eksklusivistik

Dalam konteks berbangsa kita kini, seharusnya sikap demikianlah yang harus tetap kita jaga seperti apa yang telah para pendidik negara kita lakukan pada masa lalu.

BACA JUGA  Tipologi Quadripolar: Sebuah Jalan untuk Memahami Hubungan Umat Beragama

Saya yakin, bahwa para perdiri bangsa ini telah temotivasi dan mempraktikkan apa yang telah Nabi Muhammad lakukan, yakni pendidikan yang profetik.

Buktinya, ulama dan generasi Muslim angkatan 1945 dulu setelah melakukan perdebatan yang amat sengit akhirnya juga memunyai pertimbangan mendalam sehingga dengan bijak menghapuskan tujuh kata dalam rumusan Pancasila: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Para pendiri negara ini akhirnya melahirkan kesepakatan pada sila pertama pada Pancasila dengan rumusan kalimat yang lebih singkat: Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bahwa kalimat singkat itu menunjukkan sikap menghargai pluralitas antarumat beragama di Indonesia, dengan bertumpu pada nilai universal kemanusiaan, yang jauh dari egoisme eksklusivistik.

Ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Hamka Haq (2009) dalam bukunya, Islam Rahmah untuk Bangsa, bahwa egoisme dalam beragama sangatlah berbahaya bagi masyarakat majemuk Indonesia.

Menurutnya, egoisme beragama dalam sebuah kemajemukan membuat kaum minoritas mengalami tekanan psikologis. Bahkan, terkadang, tekanan fisik dalam menjalankan agamanya.

Meneladani Para Pendiri Bangsa

Hal ini sebenarnya juga telah diperingatkan oleh Bung Karno dalam sebuah pidato lahirnya Pancasila pada 1 Juni 19955 lalu, dikutip dari Soewarno (2005) yang berbunyi:

“Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan dengan leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama. ….marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam maupun Kristen dengan cara yang berkeadaban, Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.

Sampai di sini apakah kita sudah mengerti? Bagaimana sikap kita ke depan, apakah kita akan tetap tinggal dalam ruang gelap perselisihan, dan tak mau hidup dalam ruang terang perdamaian?

Sedangkan, tanggung jawab historis dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini tak lepas dari kerja sama semua pihak. Mulai dari para ulama, lembaga pesantren, ormas dan aktivis Islam lainnya.

Sebab, andil terbesar dan terpenting kita kini ialah menjaga tegaknya keadilan, ketenteraman, kedamaian, tidak lain demi keindonesiaan yang berbhinneka. Wallahu A’lam.

Rojif Mualim
Rojif Mualim
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said Surakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru