32.9 C
Jakarta

“Persatuan” dan “Pembakaran Bendera Merah Putih”

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan Kebangsaan"Persatuan" dan "Pembakaran Bendera Merah Putih"
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Selang beberapa hari setelah perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Indonesia ketujuh puluh empat, negeri yang subur tanah airnya serta dikelilingi oleh pemimpin yang merakyat dan ulama yang cinta umat sedang dihadapkan dengan perbuatan picik, pembakaran Bendera Merah Putih.

Mendengar kabar itu serasa mengiris hati sekalipun perbuatan picik yang dilakukan oleh oknum tertentu hanya menyangkut bendera, benda mati. Memang bendera benda tidak hidup, tapi di balik bendera itu terdapat sejuta makna yang hidup, sehingga memperlakukan benda ini dengan tindakan picik sesungguhnya telah melecehkan makna yang hidup di balik bendera itu.

Kasus pembakaran bendera tersebut bisa disederhanakan dengan analogi menginjak kitab suci, sebut saja Al-Qur’an, secara sengaja. Mesti orang Islam akan marah melihat peristiwa ini, karena perbuatan ini seakan menginjak dan melecehkan harga diri orang Islam sendiri sebagai pemeluk agama Islam. Begitu pula, pembakaran Bendera Merah Putih seakan membakar orang Indonesia secara hidup-hidup.

Bendera itu simbol. Simbol itu lambang. Pertanyaannya, kapan lambang punya makna? Dulu saya pernah mendengar seorang ustaz menjelaskan tentang “isyarat” dalam Ilmu Logika. Katanya, isyarat itu dipilah menjadi dua bagian: Isyarat Verbal dan Isyarat Non-Verbal. Dakwah dengan lisan disebut dengan Isyarat Verbal, karena menggunakan suara, sedang dakwah dengan tulisan disebut dengan Isyarat Non-Verbal, karena menggunakan simbol teks.

Isyarat Non-Verbal dapat dipahami dengan sebuah tamsil. Raut muka orang tidak selamanya sama dalam waktu yang tidak bersamaan. Kadang bermuka ceria. Kadang pula bermuka cemberut. Satu muka yang diperlihatkan dengan isyarat yang berbeda akan melahirkan makna yang berbeda pula. Orang yang bermuka ceria menunjukkan kebahagiaan, sedang orang yang bermuka cermberut mengisyaratkan kesedihan. Makna yang berbeda ini diperoleh dari pemahaman terhadap isyarat atau simbol.

Itu masih berkutat pada makna secara mendasar. Muka ceria dan muka cemberut akan dapat melahirkan makna yang beragam setelah dipadukan dengan latar belakang budaya yang mempengaruhi. Orang yang hidup di tengah masyarakat yang berpikir maju dan tidak pernah mengeluh, raut muka ceria yang menghias kepribadiannya mengisyaratkan bahwa dia hidup penuh optimisme. Sedangkan, orang yang latar belakang masyarakatnya tidak memiliki masa depan yang baik akan sangat mudah mendorong dirinya selalu pesimis melihat tantangan hidup, sehingga ia selalu bermuka cemberut.

BACA JUGA  Kenapa Kita Harus Pilih Anies Sebagai Presiden di Indonesia?

Kembali lagi soal Bendera Merah Putih tadi. Bendera ini memiliki sejarah yang sangat panjang dan mendalam. Di balik bendera itu ada perjuangan antara mati dan hidup. Kala itu masyarakat Indonesia berjuang memerdekakan negaranya dengan mengusir Belanda dan Jepang dari negeri ini. Sehingga, Bendera Merah Putih yang pada mulanya bersatu dengan bendera Belanda akhirnya dipisahkan sehingga Bendera Merah Putih ini menjadi simbol kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme.

Saat Bendera Merah Putih terlepas dari cengkraman penjajahan Belanda, saat itu pula masyarakat Indonesia merasakan kebahagiaan yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Kebahagiaan ini adalah simbol kemenangan. Kebahagiaan ini tentu diharapkan bukan dirasakan sesaat, tapi selamanya. Karena itu, hendaknya kebahagiaan yang diraih dijaga dengan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari melalui rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa. Menjaga kebahagiaan dapat dibangun dengan menjaga persatuan negara, sekalipun masing-masing berbeda agama, suku, dan ras. Semuanya sama: sama-sama masyarakat Indonesia.

Pertanyaannya, “Siapa yang tidak mensyukuri kemerdekaan Indonesia?” Jawaban yang paling sederhana adalah orang yang berniat merusak persatuan negera Indonesia. Perusak negara Indonesia dapat disebut sebagai provokator. Mereka yang berbuat hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok, bukan untuk kepentingan bersama. Sebut saja, kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang meneriakkan Sistem Khilafah menggantikan Sistem Presidensial, Front Pembela Islam (FPI) yang bersikeras merusak NKRI dengan cara halus melalu NKRI Bersyariah, dan terorisme yang gemar mengkafirkan dan menghancurkan negeri ini dengan teror.

Thus, kemerdekaan adalah milik bersama masyarakat Indonesia. Jagalah kemerdekaan ini agar kebahagiaan terus bersemi dan persatuan tetap abadi. Tidak penting mempersoalkan NKRI. Tugas yang paling penting adalah menjaga kemerdekaan, bahkan mensyukuri anugerah yang melimpah di negeri ini.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru