28.9 C
Jakarta

Perlunya Meringkus Laskar Degil Terorisme Siber

Artikel Trending

Milenial IslamPerlunya Meringkus Laskar Degil Terorisme Siber
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Apa pekerjaan para laskar naif yang kehilangan akal setelah markasnya berpolemik, organisasinya terlarang, dan junjungannya terjerat pidana? Jawabannya adalah, menakuti musuh melalui dunia internet. Di era globalisasi yang, akses informasi terbukan tanpa batas, mereka beraksi. Dunia siber menjadi satu-satunya senjata mereka yang tersisa. Ada semacam ancaman bahwa, jika kita, atau Anda, berusaha mengusik mereka, Anda akan dijerat melalui jejaringnya.

Muslim Cyber Army, sekawanan peretas yang terkenal itu, saya jamin, bukan teroris militan. Mereka bukan JI, bukan JAD, dan bukan pula organisasi teroris lainnya. Mereka adalah laskar yang takut polisi, takut penjara, takut mati, tetapi ingin terlihat sebagai pahlawan yang seolah-olah memerangi kebatilan. Kebatilan dimaksud adalah rezim pemerintah. Garis batasnya adalah: kalau kita, atau Anda, melangkahi junjungan mereka. Tentu, di sini tidak perlu saya sebut namanya.

Mereka, sang laskar abal-abal dengan sikap radikal yang nanggung; ingin meneror tapi gentar pada kematian, hari ini tengah marak. Karenanya, meringkus mereka sesegera mungkin merupakan kewajiban. Platform media sosial adalah ladang mereka, terutama Twitter dan Telegram. Saya bergabung dengan salah satu grup Telegram mereka: D34TH_5KULL. Isinya adalah fitnah semua: PKI bangkit, Jokowi rezim paling zalim sepanjang masa, dan lainnya.

Apakah pemerintah tidak mampu meringkus mereka? Tentu sangat mampu. Saya kira jika begitu, penindakan segera merupakan sesuatu yang urgen. Mereka semua laskar degil, yang cara persuasif tidak akan mempan untuk memberantasnya. Jadi jika menunggu kesadaran mereka datang sendiri, itu nihil. Sampai kapan pun tidak akan terjadi. Satu-satunya cara adalah membungkam mereka, meringkusnya hingga siber-siber sampah itu tidak lagi mengotori media sosial.

Rekam Jejak Siber

Saya orang biasa. Mencari rekam jejak saya tidak sulit. Karena itu, menemukan data pribadi saya bukanlah prestasi. Era keterbukaan memang memberikan informasi sedetail mungkin dan sering kali di luar kontrol. Maka, menjaga privasi sesama menjadi tugas mulia, jauh lebih mulia daripada memperjuangkan kebenaran yang semu. Tetapi, terlepas dari kedegilannya yang akut, kenapa laskar-laskar tersebut justru menjadikannya sebagai bahan terorisme siber?

Sangat tidak berperikemanusiaan. Seharusnya, jika akan mereka masih sehat, gagasan dilawan gagasan, dan sanggahan terhadap gagasan tidak ditempuh melalui umpatan. Rekam jejak itu privasi, maka betapa buruknya jika privasi tersebut digunakan untuk menghancurkan integritas seseorang secara manipulatif. Terorisme siber, yang para laskar merupakan pelaku utamanya, perlu dapat tindakan karena bersaing di area yang buruk tadi. Jaringan sibernya meresahkan sekali.

BACA JUGA  Menerima Hasil Pemilu 2024 sebagai Wujud Kedewasaan Berdemokrasi

Apakah saya hendak membela diri menggunakan tangan pemerintah? Tentu saja tidak. Saya hanya kasus kecil. Justru yang sering kali jadi bahan narasi terorisme siber laskar-laskar adalah pemerintah itu sendiri. Sampai kapan fitnah terhadap negara terbiarkan? Kapan laskar degil akan bungkam jika tindakan terhadap mereka masih lembek?

Dan karena saya sadar, bahwa mereka menyerang saya karena gagasan-gagasan kontra-narasi yang mereka anggap menyerang, maka pertanyaan paling pentingnya adalah: berapa banyak orang yang takut menyuarakan keburukan laskar degil tersebut lantaran takut dengan terorisme sibernya yang mengerikan? Dan pihak berwajib hendak membiarkan itu semua terjadi?

Perundungan siber adalah terorisme gaya baru. Target yang terlacak rekam jejaknya oleh teroris siber boleh jadi akan mengalami tekanan psikologis yang jika mentalnya tidak kuat, ia bisa bunuh diri. Oleh karena keamanan merupakan prioritas, fitnah terhadap negara tidak boleh lestari, upaya mengonter ekstremisme dan kontra-narasi  lainnya harus terus berlangsung, maka teroris siber harus segera dimusnahkan. Membakar lumbung laskar teroris adalah niscaya.

Laskar Teroris (?)

Saya kira, perlu regulasi khusus dan kajian ulang bahwa terorisme bukan sekadar bom bunuh diri dan aksi penembakan. Siapa yang bersedia dan menerima dianggap monyet, anjing dan sumpah serapah lainnya sambil disebarkan fotonya? Bukankah itu membunuh karakter seseorang? Saya bisa saja bungkam mencari aman setelah suatu kejadian yang menakutkan, tetapi sampai kapan pembiaran terhadap laskar biadab terjadi?

Boleh saja laskar-laskar terorisme siber tersebut adalah sejumlah oknum saja. Saya tidak tahu dan tidak mau tahu hal itu. Yang jelas, perangai mereka menjijikkan; suka fitnah, mencaci, dan memelintir kebencian. Mereka layak mendapat gelar teroris  karena berperang tanpa muka. Mereka menyerang memakai akun anonim, bertindak sok heroik terhadap komunitasnya sendiri, sok paling konsekuen terhadap Islam, dan merasakan kepuasan setelah menghujat.

Itu tidak ubahnya seperti teroris militan yang berperang menggunakan penutup wajah, memakai senjata mematikan, dan merasa puas ketika darah musuh berceceran. Ketidaknormalan beragama itu juga terpotret dalam laskar terorisme siber. Kalau musuh hancur integritasnya, mereka gembira. Senjata mematikan mereka adalah hinaan dan umpatan super kejam. Sambil beraksi, mereka menutup wajah, menyembunyikan identitasnya dengan akun anonim. Sok keras tapi pengecut. Yang seperti mereka masih tidak mau diringkus? Keterlaluan.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru