27.1 C
Jakarta

Perlukah Pendekatan Militer Memberantas Terorisme?

Artikel Trending

KhazanahOpiniPerlukah Pendekatan Militer Memberantas Terorisme?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Terorisme kian menjadi problem serius, dan aksis teror di masa COVID-19 mengalami eskalasi yang signifikan. Dilansir dari Pikiran Rakyat, peralihan aktivitas masyarakat ke dunia maya, seiring kebijakan PSBB dan physical distancing, menjadi ladang dakwah para teroris. Dari situlah kemudian, pemerintah merasa perlu menanganinya secara represif. TNI pun ditambah wewenang.

Sungguhpun demikian, kebijakan tersebut justru menuai protes. Dilansir dari CNN Indonesia, Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) menolak rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang tugas TNI mengatasi terorisme karena dianggap dapat mengancam Hak Asasi Manusia (HAM). Sebab, TNI memiliki peradilan sendiri, sehingga tidak tunduk peradilan umum, meski bergerak di ranah penegakan hukum terorisme.

Koalisi yang terdiri dari beberapa LSM seperti KontraS, Imparsial, Elsam, YLBHI, Amnesti Internasional Indonesia (AII), Indonesia Corruption Watch (ICW), LBH pers, dan LBH Masyarakat itu beranggapan, Perpres tersebut jelas tidak sejalan dengan hakikat pembentukan militer sebagai alat pertahanan negara. Apalagi nanti berakibat terlanggarnya hak-hak warga negara oleh represi militer.

KMS bersikukuh, militer tidak perlu memiliki kewenangan, lantaran sudah diatur dalam criminal justice system, di mana penindakan terorisme dilakukan oleh penegak hukum dan kepolisian. Rancangan Perpres itu dinilai bertentangan dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. KMS juga mendesak seluruh fraksi DPR menolak rancangan Perpres, dan meminta Presiden Jokowi tidak menandatanganinya.

Militer baru dilibatkan jika, dan hanya, berupa bantuan saat penegak hukum tidak mampu menangani eskalasi teror yang tinggi. KOMNAS HAM juga menolak draf Perpres, karena memberikan mandat luas berlebihan kepada militer TNI adalah sesuatu yang berbahaya. Apalagi, Perpres tersebut tidak diikuti mekanisme akuntabilitas militer untuk tunduk pada sistem peradilan umum.

Kini, masyarakat semua bertanya, terlepas dari polemik Perpres tersebut: apakah pengerahan militer memiliki efektivitas yang jelas terhadap pemberantasan terorisme di satu sisi, dan seberapa seriuskah pemerintah menangani terorisme jika hanya berkutat pada birokrasi yang tak jelas, tumpang tindih, dan terkesan memihak TNI di sisi lainnya.

Terorisme Sebagai Ideologi

Dalam konteks terorisme adalah musuh bersama, maka keterlibatan semua pihak menjadi keniscayaan. Baik militer, penegak hukum, kepolisian, hingga masyarakat sipil memiliki hak yang sama, saling berpangku tangan, untuk membendung gerakan teror di Indoneisa. Tanpa tindakaan kooperatif, semua akan percuma. Terorisme adalah persoalan yang kompleks.

Secara hierarkis, terorisme adalah ujung tombak sikap radikal. Radikal secara pemikiran (al-tatharruf fi al-fikrah) adalah permulaan, klimaksnya ialah radikal secara pergerakan (al-tatharruf fi al-harakah). Setiap tindakan teror tidak pernahlahir dari pemikiran moderat. Karenanya, terorisme adalah persoalan ideologi. Setiap teror dikonstruksi dan dipengaruhi, awalnya, oleh mindset.

Maka kemudian menjadi penting, penanganan mereka bertolak hingga ke pangkal, tidak hanya menumpas di permukaan. Satu teroris ditembak, sekawanan teroris lainnya bakal membalas dendam. Satu organisasi teroris dibekuk dan diboikot, akan lahir organisasi teroris lain dengan nomenklatur berbeda, tetapi memiliki visi yang sama: menebar teror.

Menangani terorisme dengan memberantas ideologi radikal adalah satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Terorisme yang dientaskan di tataran pergerakan tidak ada gunanya, malah benar kekhawatiran KMS tentang Perpres tersebut, yang terjadi justru pelanggaran HAM oleh militer. Sementara, mereka tidak bisa dituntut peradilan umum, dilindungi peradilan militer itu sendiri.

BACA JUGA  Kaffah Tanpa Khilafah, Kenapa Tidak?

Dalam hal ini, apa yang ditawarkan Perpres berorientasi pada penanganan teror di luarnya saja. Adalah mustahil militer memberantas ideologi yang melatarbelakangi tindakan teror, karena secara perangkat mereka tidak memiliki akses ke arah itu. Memberikan mereka wewenang penuh tidak akan efektif sama sekali. Terorisme akan tetap eksis, bahkan semakin signifikan eskalasinya.

Dengan demikian, Perpres tersebut patut diprotes, dan militer memang tidak pas berada di garda terdepan. Mereka sudah memiliki fungsi tersendiri, peradilan tersendiri, dan tugasnya hanya membantu penegak hukum dan kepolisian dalam menangani terorisme. Terorisme adalah pergerakan masyarakat. Untuk menanganinya, pelibatan masyarakat menjadi keniscayaan.

Organisasi masyarakat dalam hal ini menemukan perannya. NU dan Muhammadiyah sebagai civil society wajib dilibatkan. Penegak hukum dan polisi menjadi fasilitator, dan militer sekadar membantunya.

Peran Penting Civil Society

Melibatkan civil society dalam menangani terorisme bukan sekadar menambah peran saja. Posisi mereka sangat strategis. Pendekatan psikologis dikedepankan, sehingga pemberantasan terorisme bertolak ke akar, yaitu memberantas hingga ke tataran ideologi. Meski demikian bukan lantas tidak penting kehadiran militer.

Protes Perpres oleh KMS berpusat pada kekhawatiran pelanggaran HAM, karena militer yang tidak akan tunduk peradilan umum. Kita, masyarakat, menjadi maklum ketika khawatir, karena menjadi tumbal dari penanganan terorisme hanya merugikan diri kita sendiri. Dari sini bisa dibuat kesimpulan, tanpa peran civil society, rancangan Perpres tak berpengaruh apapun.

HAM adalah konsekuensi logis dari demokrasi kita, yang harus dilindungi dari gerusan akibat kebijakan apapun. Sekalipun menangani terorisme harus dilakukan dengan serius, jika riskan terhadap hak asasi, kebijakan tersebut tidak dapat dibenarkan. Lagi pula dalam konteks ini, Prepres tersebut secara efektivitas masih diragukan, bahkan sama sekali tidak efektif.

Jadi, kembali ke pertanyaan awal, perlukah pendekatan militer dalam menangani terorisme, juga bergunakah memberikan mereka hak penuh seperti dalam rancangan Perpres? Jawabannya adalah: tidak perlu. TNI memang dibutuhkan untuk berperan, yakni membantu menangani teror tingkat tinggi. Tetapi tidak dalam wewenang mandiri, karena akan mencederai HAM.

Dengan Perpres atau pun tanpa Perpres, fungsi mereka sama. Demikian karena kasus teror mesti diatasi bersama, tetapi civil society mesti dilibatkan dalam porsi yang dominan. Militer memang mencegah insiden teror, tetapi tidak bisa memberantas ke akar ideologinya. Jika demikian, maka untuk apa rancangan Perpres diterbitkan, jika tetap tidak memiliki efektivitas yang berarti?

Jika polemik rancangan Perpres itu dimaksudkan sebagai birokrasi politik belaka, maka itu menjadi sinyal berbahaya terhadap diskursus terorisme di Indonesia. Alih-alih akan musnah, pelanggaran HAM akan melahirkan konfrontasi, yang pada gilirannya juga akan mengeskalasi persentase teror. Adalah baik bila semua fraksi DPR menolak rancangan tersebut, dan bila presiden juga tidak menandatanganinya.

Penanganan terorisme memang harus ditempuh secara serius. Tetapi bukan dengan memberi potensi pelanggaran HAM, karenanya Perpres wajib ditolak.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru