29.5 C
Jakarta

Perlukah Menteri Agama Menangkal Radikalisme ‘Good Looking’?

Artikel Trending

Milenial IslamPerlukah Menteri Agama Menangkal Radikalisme ‘Good Looking’?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hari-hari belakangan ini, publik ramai-ramai menghakimi kebijakan Menteri Agama (Kemenag) terkait sertifikasi dai/ulama, dan radikalisme ‘good looking’ itu kontroversi. Narasi anti-paham radikal ini menjadi isu sentral di tengah masyarakat, pelbagai media nasional baik cetak maupun on-line tidak segan-segan ikut andil menviralkan. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekali pun turut mengkritik wacana penerapannya.

Pada saat itu, juga anggota Komisi VIII DPR – RI menggelar rapat dengan Menteri Agama Fachrul Razi guna untuk mengklarifikasi ucapannya. Dan dicecar atas dalih menimbulkan kegaduhan di masyarakat (08/09/2020). Tentunya, teguran itu sah-sah saja, jika DPR – RI memberi semacam nasehat memang suatu keharusan sebagai lembaga demokrasi atau representasi rakyat yang memiliki fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran.

Namun, semua pihak, entah itu kelompok civil society, ormas, dan DPR – RI tidak perlu tutup telinga, dan mata. Fenomena radikalisme bertumbuh di masjid-masjid, hingga perguruan tinggi disebabkan para dai/ulama dan pengajar yang miskin wawasan kebangsaan. Keluasan ilmu agamanya sangat mumpuni, dan amat profesional. Tetapi, keduanya harus balance.

Terakhir kali, pada Jum’at, 28 Februari 2020, Ketua Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla (DMI) melaporkan tentang jumlah total masjid dan mushola di Indonesia mencapai 800.000. Dan negeri ini populasi rumah ibadah umat Islam terbanyak di dunia sebagai mana tujuannya dalam upaya untuk meningkatkan keimanan, dan ketakwaan (sumber: republika.co.id).

Pun Agus Muhammad, koordinator Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) melaporkan hasil riset. Sebanyak 41 dari 100 masjid kantor pemerintahan di Jakarta terindikasi/terpapar paham radikal sebagai mana penelitian ini dilakukan pada sejumlah masjid di kementerian sebanyak 35 masjid, di BUMN 37 masjid, 28 masjid di lembaga negara, dan serta didukung oleh data rekaman video khotbah.(sumber: Tempo.co, 08/07/2018)

Fakta fenomena radikalisme itu bertumbuh dan berkembang di lingkaran aparatur sipil negara (ASN), di masjid-masjid, dan di perguruan tinggi tidak dapat dinafikan berdasar fakta-fakta yang dewasa ini muncul. Apalagi kini sampai banyak lembaga riset yang merilis tentang keberadaan radikalisme.

Potret Radikalisme ‘Good Looking’

Data horor radikalisme agama di pelbagai lini kehidupan menjadi potret buram bagi masa depan negara Pancasila yang mayoritas berpenduduk muslim, arus deras ideologi Islam transnasional yang makin akut melalui ceramah-ceramah agama di mimbar masjid harus diakui, dan tidak boleh diabaikan; atau kita anggap persoalan yang amat-amat spele sekali.

Oleh karenanya, kritik pedas yang muncul dari lembaga negara seperti DPR – RI, ormas tertentu, dan dominanya MUI. Tengku Zulkarnain, dan Felix Siauw, misalnya. Cibiran mereka kepada pemerintah terkesan alibi sebab menolak khilafah ala HTI, secara spesifik Tengku Zulkarnain malah bersikap kontroversial menolak sertifikasi dai/ulama. Lagi-lagi dia, kualifikasinya sebagai apa? Dan apakah MUI hanya milik Tengku Zulkarnain saja? Ataukah hanya ia saja yang diakui sebagai ulama otoritatif? Sadar atau tidak, pertanyaan demikian butuh kepastian Menteri Agama agar ia segera mendapat sertifikat.

Meskipun, di lain sisi, banyak pihak yang menolak statement dan kebijakan Menteri Agama Fachrul Razi. Salah satu indikator radikalisme anak yang ‘good looking’ yang hafidz mudah membuat umat Islam menaruh simpati, dan terpengaruh oleh indoktrinasi keilmuannya. Padahal, jejak digitalnya belum jelas, dan sanad keguruannya masih belum valid (shahih).

BACA JUGA  Bukan Indonesia Emas, Khilafah Sebabkan Indonesia Hancur 2045

Dilansir liputan TVOne (02/09/2020) di acara peluncuran aplikasi ‘ASN No Radikal’ bertajuk ‘Strategi Menangkal Radikalisme pada Aparatur Sipil Negara’, Fachrur Razi mengatakan, kalau kita bicara radikalisme ASN, maka banyak tempat yang harus kita waspadai. Tempat pertama, adalah pada saat dia masuk, kalau kita tidak seleksi dengan baik khawatir kita, benih-benih pikiran radikal itu akan masuk ke dalam ASN. Cara masuk mereka gampang kalau saya lihat polanya, pertama dikirimkan seorang anak yang good looking, penguasaan B. Arabnya bagus, hafidz mulai masuk ikut-ikut jadi imam, lama-lama orang situ mulai bersimpati.

Argumen tersebut menjadi titik terang bahwa indikator radikalisme memang masif, dan penolakan Tenku Zulkarnain sebagai representatif ilmiah yang baru terjawab bahwa MUI terpapar paham radikal, dan khilafah. Wajar saja, jika sampai detik ini sekelas aparatur negara, dan ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama, serta Muhammadiyah sepakat ingin menangkal radikalisme dan khilafah yang diusulkan HTI.

Jurus Ampuh

Kebijakan Menteri Agama – RI terkait sertifikasi ulama, dan penelusuran rekam jejak imam di masjid sangat penting. Pada hemat saya, produk itu justru akan menjadi jurus ampuh dalam upaya menangkal radikalisasi agama, dan radikalisme di seluruh sektor kehidupan. Langkah yang objektif dan bersejarah, khotbah-khotbah di masjid harus dalam pengawasan ketat aparatur negara, dan setiap imam serta materinya harus memenuhi standar aturan negara supaya tidak kebablasan; atau tidak mudah terpapar.

Menurut kiai Nasaruddin Umar, sebuah statement itu jangan dipisahkan dengan konteksnya, saya tidak yakin kalau ada hal-hal yang perlu didramatisasi sedemikian rupa. Siapa tahu pernyataan pak Menteri itu tadi kita dengarkan cuplikan, kita harus tahu konteksnya dari awal. Nah barang kali yang dimaksudkan pak Menteri itu bahwa memang negara ini, salah satu ancamannya adalah terorisme, dan radikalisme. Untuk mencegah kelompok-kelompok yang radikal ini tentu memang selaku pemerintah perlu melakukan proteksi-proteksi dini (04/09/2020).

Pandangannya, ingin mendorong pencegahan paham radikal-teroristik harus didukung, selain paham tersebut adalah musuh semua agama. Islam secara spesifik melarang yang namanya hujat, menebar kebencian, dan kekerasan atas nama agama. Hal ini harus kita yakini sebagai wawasan agar setiap manusia tidak merasa menjadi Tuhan bagi orang lain.

Penolakan Tengku Zulkarnain sebagai representatif MUI menyalahi pendapat Imam Qatadah من لم يعرف الإختلاف لم يشمّ أنفه الفقه. Artinya, orang yang tidak mengetahui perbedaan pendapat (ulama), maka hidungnya tidak mencium (baunya) fiqih.(Imam Ibrahim bin Musa al-Syatibi, al-Muwafaqat, Kairo: Dar Ibnu ‘Affan, 1997) (sumber: NU-Online).

Pada dasarnya, kebijakan soal sertifikasi ulama bertujuan mencegah potensi kemafsadatan (radikalisme-terorisme) terlebih dahulu guna terciptanya kemaslahatan atau yang kita kenal dalam istilah kaidah Arabnya, أبعد الفساد وأقرب الصلاح. Secara hakikat, memang pelaksana kebijakan itu perlu ditindak-lanjuti, agar negeri ini penuh pesona kedamaian. Alhasil, Indonesia akan dijamin bebas dari ideologi transnasional.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru