29.7 C
Jakarta

Perjalanan Meraih Mimpi (Bagian XI)

Artikel Trending

KhazanahOpiniPerjalanan Meraih Mimpi (Bagian XI)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Menulis setiap hari menjadi agenda rutin Diva di pesantren. Menulis apa saja yang terbersit di pikirannya, termasuk menulis catatan harian di buku diary. Belajar menulis tidak harus muluk-muluk. Biasa memulainya dengan menulis diary seperti yang dilakukan Diva.

Beberapa buku diary telah penuh dengan catatan harian. Diva belum puas dengan hasil yang digapai, apalagi tidak se-fantastis Fairuz. Semangat Diva makin tumbuh semenjak tulisannya dimuat di koran Radar Madura, dan dengar-dengar Kak Nadia yang mengirimkan tulisannya ke redaksi media.

Semangat untuk mencoba menulis pada level yang lebih tinggi terus memotivasi Diva. Tulisan dimuat di koran nasional membutuhkan keuletan dan kesabaran. Seorang penulis jangan patah semangat mengirim tulisannya sampai dimuat, kendati pun berkali-kali gagal.

Saat jalan-jalan menuju kantin yang menjajakan nasi bungkus, segerombolan santri membaca selembar kertas berisikan informasi yang ditempel di tempok dekat kantor pesantren. Diva belum tahu itu informasi tentang apa. Ia mencoba mendekat. Ternyata informasi sayembara menulis.

“Lumayan besar hadiahnya,” seorang santri berkata ketus kepada temannya.

Diva melihat informasi itu benar. Hadiah berupa tropi dan uang sebesar sepuluh juta bagi juara satu. Temanya lumayan menarik Berinteraksi dengan Al-Qur’an di Era Kontemporer.

“Ikut yuk!” bisik seorang santri yang lain pada teman sebelahnya.

Diva tidak berbicara sepatah kata pun. Beberapa sayembara kepenulisan pernah diikuti, termasuk sayembara menulis di Malang kemarin. Tapi, belum ada ada kesempatan presentasi alias gagal. Berkali-kali gagal.

Diva coba bebicara pada diri sendiri. Memotivasi diri untuk terus bangkit, kendati sering gagal. Apalagi tema sayembara itu sangat cocok dengan predikatnya sebagai santri yang banyak bersinggungan dengan Al-Qur’an, termasuk penafsiran.

“Di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta!” Diva kaget membaca tempat presentasi naskah yang bakal terpilih. Jakarta itu kan rumah Si Adel! Dekat nggak ya?, batinnya.

Jakarta itu selalu dipersepsikan negatif oleh masyarakat pedesaan. Pergaulannya yang bebas. Tidak terkontrol, dan lain-lain. Persepsi itu juga mengakar kuat di pesantren yang serba tertutup. Sering Diva mendengarkan bisik-bisik sebagian santri yang dilarang orangtuanya kuliah di luar pesantren karena alasan pergaulan yang tidak terkontrol.

“Jika Jakarta seperti yang banyak orang desa persepsikan, kira-kira Abah dan Ummi memperbolehkan atau nggak ya?” Diva berpikir sejenak dan memutuskan, “Tapi tak ada salahnya mengirim naskah tulisannya dulu. Persoalan nanti naskahnya terpilih untuk presentasi dan mendapat izin dari orangtua tidak penting dipikirkan sekarang.”

BACA JUGA  Memaknai Toleransi Beragama dan Menyudahi Radikalisme

Orangtua Diva bukan seperti orangtua banyak teman-temannya. Mereka orang yang terdidik dan berilmu. Secara tidak langsung, mereka dapat membedakan mana yang persepsi dan mana yang fakta. Sedikit banyak orangtua yang berpendidikan akan selalu berbeda cara berinteraksi dengan anak-anaknya dalam menyongsong masa depannya.

Mulai kanak-kanak sampai sekarang pun, Diva belum pernah mendengar Abah dan Ummi membatasi hidupnya dalam berkarya. Diva dibebaskan berinteraksi dengan siapa pun. Bahkan, belajar pun Diva tidak pernah didekte. Hanya karena kehidupan sehari-harinya di pesantren, lingkungan membentuk kepribadian Diva belajar dan mendalami ilmu keagamaan, temasuk Al-Qur’an.

Persepsi orang Madura yang kasar tidak selamanya benar. Karena, orangtua Diva sendiri belum pernah berkata dan bertindak kasar terhadap anak-anaknya. Bahkan, tetangganya sendiri ramah-ramah. Diva tahu, carok di Madura bukan budaya kekerasan, tapi prinsip keberanian. Orang Madura memiliki prinsip yang sampai sekarang dipegang: Lebih baik berputih tulang daripada berputih mata. Lebih baik bagi orang Madura mati daripada menanggung rasa malu.

Carok merupakan cara suku Madura dalam mempertahankan harga diri dan keluar dari masalah yang pelik dan sangat esensial seperti saat kehormatan diinjak-injak dan dicemarkan. Budaya carok dengan pakai celurit dikenal pada zaman Pak Sakera, seorang mandor tebu dari Pasuruan yang hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat jelata.

Tapi, di tengah memegang prinsip itu keramahan orang Madura dibuktikan dengan sikapnya yang sangat menjaga sopan santun, terutama kepada orang yang lebih tua. Siswa hendaknya selalu menghormati gurunya kapan pun dan di mana pun. Tidak ada bagi orang Madura guru bekas. Status guru tetap selalu melekah hingga akhir hayat di hati muridnya. Maka, sebagai bentuk penghormatan, guru selalu menyarankan hendaknya tidak lupa mendoakan gurunya selepas shalat lima waktu.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru