28.9 C
Jakarta

Perguruan Tinggi, Dakwah HTI, dan Pentingnya Membuang Dosen-dosen HTI ke Got Peradaban

Artikel Trending

Milenial IslamPerguruan Tinggi, Dakwah HTI, dan Pentingnya Membuang Dosen-dosen HTI ke Got Peradaban
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Masih banyak eks pengurus HTI dan simpatisan HTI di beberapa perguruan tinggi yang memiliki jabatan strategis. Seperti Dekan, Rektor, dan lain-lain sampai menjadi underground dalam menyebarkan paham khilafah dan sulit dideteksi.

Banyaknya kader HTI yang menduduki jabatan strategis disebabkan oleh dua faktor. Pertama, pra-rekrutmen. Solidaritas antarkader HTI sangat kuat, satu kader akan saling membantu dan saling mengulurkan tangan dengan kader lainnya. Mereka bergerak sebagai underground saling berbagi jabatan dan kongkalingkong yang hanya diketahui oleh sesama kader HTI. Dan kader itu adalah orang yang sudah memegang jabatan penting tertentu dan seterusnya.

Kedua, pasca-rekrutmen. Nah di sinilah berkaitan dengan dogma dan indoktrinasi. Orang-orang hebat yang memiliki jabatan hebat strategis menjadi incaran kader HTI untuk bermitra secara politik. Kemudian, dengan menjadi mitranya, mereka menjadi terperangkap jebatan betmen kader HTI sendiri dan siap menjual paham khilafahnya kepada teman dan mahasiswanya.

Hanya perguruan tinggi dan jabatan strategis itulah dapat memanfaatkan untuk melakukan pembentukan watak dan karakter serta wawasan pengetahuan tentang paham ideologi HTI. Dan perguran tinggi di Indonesia sampai saat ini masih banyak yang berjualan lewat dakwah di harian di kampus.

Siapa yang masih ingat provokasi dakwah HTI? Sebagian besar kita tentunya masih basah dalam ingatan bahwa HTI sering memprovokasi massa untuk menegakkan khilafah di bumi Nusantara. Sampai hari ini pun, para ideolog HTI macam Ismail Yusanto, Felix Siauw, Suteki dkk, masih mengobral dakwah abal-abalnya untuk memancing umat masuk dalam perangkap HTI-nya.

Varian Dakwah Abal-abal HTI

Formasi dan variasi dakwahnya masih sama. Di Youtube, mereka gencar seperti apa yang telah terjalankan dan terdakwahkan sekian lama: tumbangkan Pancasila, ganti Khilafah!

Tidak kapok. Seperti itulah mereka. Kerapkali diingatkan, tetapi bagaimana lagi, namanya jualan ideologi. Sampai kapan pun akan terus diobral. Lewat jalan dakwah atau mengatasnamakan dakwah agama, mereka HTI, gencar masuk dalam jalan yang lempang: dakwah kampus.

Ingat, dakwah HTI menyusup ke lumbung kampus yang paling dalam. Praksis dakwahnya, HTI membuat acara kegiatan seminar, pelatihan, dan menjadikan kampus tempat bersemi jualan Khilafahnya.

Tak berhenti sampai situ, seperti para teroris MIT di Poso, oknum HTI, juga memanfaatkan tempat-tempat strategis di pemerintahan dan kampus sebagai jalan utama untuk membidik tujuannya. Sebenarnya kalau kita gali lebih dalam, beberapa organisasi keislaman, juga menjadi tempat nyaman bagi HTI. Karena hanya tempat itulah, posisi HTI yang tertinggal. Dan diuntungkan.

BACA JUGA  Idul Fitri, Memperkuat Kohesi Sosial dan Penyucian Diri

Dakwah Islam Indonesia

Sebagaimana varian dakwah HTI, banyak versi untuk memilih tempat belajar tentang agama Islam. Ada Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Tapi mengapa muslim urban, artis, dan mualaf memilih jalan dakwahnya HTI? Jawabannya tidak lain, karena HTI memberikan jawaban praktis. Hanya haram dan halal. Ini boleh dan tidak. Meski jawaban itu semua, potensi kesalahannya sangat tebal.

Banyak versi pengatahuan kita tentang Islam. Perbedaan itu berpengaruh pada pemahaman dan laku keislaman. Tidak hanya pada konteks ritual saja, melainkan pada hal-hal yang kadang sifatnya eksesoris-meterial-dunia. Seperti busana (budaya) agama Islam.

Tetapi, yang kadang kita lupa, adalah posisi kita dalam berislam. Apakah tafsiran tentang keislaman sudah sebagaimana mestinya. Atau, jangan-jangan kita masih belum tau posisi kita sebagai penganut Islam.

Saya teringat bukunya Haidar Bagir mengenai posisi umat Islam. Di buku Islam Tuhan Islam Manusia (versi baru 2019), Haidar mengkatagorisasi posisi umat beragama. Mungkin untuk sebagian kalangan itu tidak mudah, tetapi untuk sebagian yang lain gagasan itu di terima. Tetapi yang perlu dan penting kita tahu, adalah bahwa apa yang kita tafsirkan tentang Islam bukanlah kebenaran Islam yang absolute, tetapi sifatnya relatif. Dan, Islam Tuhan sudah pasti Islam yang absolute kebenarannya.

Menurut Haidar Bagir, mengenai posisi umat manusia dalam beragama dan posisi agama di antara umat ada di dua katub: agama Tuhan (hanya Tuhan yang tahu) dan agama manusia (Tuhan dan manusia yang tahu).

Dengan demikian, etika dakwah Islam harus berdasarkan pada prinsip moderasi, keadilan, dan bersifat rasional, bukan semata-mata yang hedonistik, utilitarianistik, dan deontologis. Etika dakwah semata-mata harus mendasar ke ragawi yang sejalan pada prinsip Islam dalam surat al-Rahman: 7. “meletakkan neraca keadilan”, sehingga, pemangku agama merasai surga yang tercita-citakan tercipta di dunia, kebahagiaan, kenyamanan, keasyikan, dan kesejahteraan.

Dalam pada itu, paradigma harus terus terbangun demi mengupayakan rekonsiliasi perdamaian keagamaan dan persatuan sesama umat manusia, yang hidup di alam semesta yang sama. Supaya, cita-cita Islam “menjunjung tinggi rasa kemanusiaan menjadi nyata”.

Dan kita tahu, bahwa cita-cita Islam dan semua agama tentunya adalah kedamaian: bertawassut, bertawassuni’tidal, dan bertasamuh dalam asas cinta. Dan karena itulah sesungguhnya aspek yang paling penting daripada tafsir/dakwah “kebenaran” yang diperebutkan adalah mengedepankan spirit kemanusiaan dan keindonesiaan. Bukan khilafah seperti yang terdakwahkan HTI.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru