34 C
Jakarta

Perempuan, Terorisme dan Kesetaraan Gender

Artikel Trending

KhazanahResonansiPerempuan, Terorisme dan Kesetaraan Gender
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Bu…bu… apakah terorisme mengakui kesetaraan jender ?”

“Maksudmu?”

“Itu…ada ibu dengan dua anak perempuan yang bom bunuh diri?”

Pertanyaan itu diajukan anak lelaki kami di tahun 2018, ketika bom bunuh diri mengguncang Surabaya. Saat itu matanya tidak berkedip menunggu jawaban. Mata remaja yang penuh rasa ingin tahu, sekaligus menunjukkan kekhawatiran. Menatap matanya, membuat saya semakin sedih, karena dua anak yang meledakkan diri adalah anak seusianya.

Jika kita mengingat kembali rangkaian pengeboman Surabaya 2018, tiga gereja, rumah susun Wonocolo dan Markas Polrestabes Surabaya menjadi sasaran dan tempat meledaknya bom bunuh diri. Tercatat 28 orang tewas, 57 orang luka, dimana korbannya mencakup aparat keamanan/polisi, pelaku, dan warga sipil termasuk perempuan, dan anak-anak. Serangan bom bunuh diri ini dilakukan oleh 3 (tiga) keluarga dimana perempuan terlibat sebagai pelaku dan melibatkan anak-anaknya. Jamaah Ansharut Daulah, cabang Asia Tenggara dari ISIS menyatakan diri sebagai pihak yang bertanggungjawab.

Peristiwa tersebut telah menghentak kita semua, selain teror dan dampak pengeboman, juga karena memperlihatkan perubahan pola terorisme dari bom bunuh diri individual menjadi bom bunuh diri keluarga. Pertanyaan anak laki-laki saya berada dalam konteks kekhawatirannya sebagai seorang anak dan rasa ingin tahunya mengapa perempuan melakukan bom bunuh diri, sebuah aktivitas yang biasa dilakukan laki-laki.

Perempuan dalam terorisme diidentifikasikan berperan sebagai:  pendidik, pendakwah, pengumpul dana, perekrut, penyedia logistik, pengantin atau pelaku bom bunuh diri, kurir antar kota dan antar negara, penghubung rahasia, agen radikal, dan pengikut setia. Di Indonesia sendiri, peran perempuan dalam aksi terorisme menunjukkan dinamika yang mengkhawatirkan. Sebelumnya, keterlibatan perempuan umumnya sebagai pendamping suami atau pengikut setia yang memberikan perbantuan dan perlindungan terhadap tersangka terorisme.

Pada akhir tahun 2016, terdapat dua perempuan yang gagal melakukan aksi pengeboman di istana, dan yang ditangkap di Purworejo karena terindikasi akan melancarkan aksi bom bunuh diri di luar Jawa. Pengeboman Surabaya menjadi kasus pertama dimana perempuan berhasil melakukan aksi bunuh diri, meskipun tidak sendiri tapi bersama dengan keluarganya. Sampai saat ini, sejauh penelusuran saya, terdapat sepuluh perempuan yang menjadi pelaku langsung terorisme, terakhir adalah bom bunuh diri di Sibolga. Selain didalam negeri, perempuan bersama keluarganya melakukan ‘hijrah’ untuk bergabung dengan ISIS di Suriah. Dari peran-peran tersebut, pertanyaannya apakah ketika perempuan terlibat dalam terorisme, itu berarti telah terdapat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di kelompok-kelompok teroris?

Keterlibatan Perempuan dalam Terorisme

Tidak terdapat faktor tunggal dalam menjawab mengapa perempuan terlibat dalam terorisme. Terdapat berbagai faktor yang bersifat kompleks yang dapat mengubah seseorang menjadi radikal. Hasil penelitian The Wahid Foundation tentang “Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Perempuan” di lima wilayah yaitu Bogor, Depok, Solo Raya, Malang dan Sumenep menemukan terdapat faktor pendorong dan penarik yang saling mempengaruhi dan  berkelindan. Faktor pendorong terletak pada titik jenuh, dimana kemudian seseorang mendapati perjumpaan dengan interprestasi ajaran intoleran dan radikal. Kemudian terdapat tiga faktor penarik yaitu: pertama, relasi sosial-personal, seperti suami istri dan pertemanan; kedua, ideologi yang menarik untuk mengatasi titik jenuh; ketiga, faktor ekonomi bahwa sistem khilafah akan memperbaiki sistem ekonomi. Faktor penarik dan pendorong tersebut dapat terjadi baik pada lelaki maupun perempuan. Penelitian ini belum menjawab faktor-faktor yang berlaku secara berbeda antara lelaki dan perempuan.

Faktor penyebab yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, didentifikasikan oleh Kantor OSCE untuk Lembaga Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (ODIHR), salah satu badan hak asasi manusia di Warsawa, Polandia melalui rangkaian diskusi ahli tentang “Perempuan dan Terorisme”. Terdapat kondisi spesifik yang kondusif bagi tumbuhnya radikalisasi teroris perempuan. Kondisi spesifik tersebut yaitu: pertama, ketidaksetaraan dan diskriminasi berbasis gender, kekerasan terhadap perempuan, kurangnya kesempatan pendidikan dan ekonomi, dan kurangnya kesempatan bagi perempuan untuk menggunakan hak-hak sipil dan politik mereka dan terlibat dalam proses politik dengan cara yang sah dan tanpa kekerasan.

Kedua, Pelanggaran HAM -termasuk yang disebabkan tindakan penanggulangan terorisme seperti hak atas hidup dan integritas fisik, hak atas kebebasan dan keamanan, kebebasan berpendapat dan berekspresi, kebebasan berorganisasi dan berkumpul secara damai, kebebasan berpikir, beragama/berkeyakinan, hak untuk melindungi pribadi dan keluarga, yang dapat memperdalam keterasingan, isolasi dan pengucilan dan membawa perempuan pada jalan menuju radikalisasi kekerasan. Pelanggaran-pelanggaran ini sering digunakan oleh kelompok-kelompok teroris untuk membentuk wacana viktimisasi, membenarkan tindakan mereka dan merekrut anggota baru, termasuk perempuan.

Dengan demikian, keterlibatan perempuan dalam terorisme tidak bisa dilepaskan dari relasi dan hirarki gender yang timpang, doktrin kepatuhan keagamaan, dan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan maupun kelompoknya. Ketidakadilan gender yang dialami perempuan dalam konteks ini di antaranya subordinasi, kekerasan, streotipe, dan marginalisasi  sebagai akibat ketimpangan struktural dan ekonomi.

Budaya patriarki menempatkan perempuan pada posisi subordinat dari laki-laki, laki-laki menjadi makhluk utama dan pertama yang menjadi ruler bagi perempuan baik sebagai ayah, suami, guru ataupun anak laki-laki. Doktrin ini dilanggengkan melalui tafsir keagamaan yang sempit dan patriarkhis yang menolak kebenaran dari penafsiran lain, termasuk ide kesetaraan laki-laki dan perempuan. Sehingga kemudian kepatuhan perempuan (istri) terhadap lelaki (suami) sebagai ‘pemimpinnya’ menjadi hal yang tidak dipertanyakan kebenarannya.

Hal ini nampak pada perempuan yang menjadi istri teroris, yang tidak mengetahui peran atau pekerjaan suaminya. Yang menuruti perintah suaminya untuk menjadi kurir, pencari dana ataupun menyembunyikan pelaku terorisme.  Juga dalam pengambilan keputusan untuk bergabung dengan ISIS, perempuan yang sudah menikah mengikuti suaminya. Sedangkan yang belum menikah, umumnya bergabung karena mengikuti keputusan keluarga, seperti ayah, anak laki-laki atau saudara laki-lakinya. Subordinasi perempuan ini diperburuk ketika akses perempuan ke dunia pendidikan tidak dipenuhi yang menyebabkan perempuan tidak independen dalam pengambilan keputusan.

BACA JUGA  Bimtek PPIH 2024: Upaya Kementerian Agama Melahirkan Uwais Al-Qarni di Zaman Modern

Selain subordinasi peran perempuan dalam tafsir keagamaan dan pengambilan keputusan, perempuan secara khas mengalami kekerasan berbasis gender. Dalam konteks ini, perempuan dan anak perempuan mengalami perkawinan paksa oleh walinya berdasarkan pertimbangan kesamaan keagamaan. Kelompok teroris seperti Boko Haram melakukan penculikan terhadap perempuan dan anak perempuan, baik untuk dikawinkan paksa atau untuk melakukan tindakan terorisme.

Laporan Sekretaris Jenderal PBB (2015) tentang kekerasan seksual terkait konflik menyoroti penggunaan kekerasan seksual secara integral terkait dengan tujuan strategis, ideologi dan pendanaan kelompok teroris. Resolusi 2331 Dewan Keamanan PBB mengakui potensi hubungan antara kekerasan seksual dalam konflik, perdagangan manusia dan pendanaan terorisme. Hal ini juga disorot oleh laporan PBB (2018) tentang Konflik Berkaitan dengan Kekerasan Seksual, yang mencatat bahwa: kelompok bersenjata, teroris, dan penjahat transnasional mendapat keuntungan langsung dari perdagangan orang, dengan para korban diculik atau ditipu oleh janji-janji palsu tentang tawaran pekerjaan yang menguntungkan, impian mereka untuk menemukan keselamatan dan peluang yang kemudian menjadi mimpi buruk karena mengalami perbudakan seksual dan pelacuran paksa. Bergabungnya perempuan dengan kelompok teroris juga menyebabkan perempuan dan anak perempuan semakin rentan mendapatkan kekerasan berbasis jender, seperti perkawinan paksa, perkosaan, perbudakan seksual, poligami ataupun pemaksaan kehamilan sebagai bagian dari menambah jumlah anggota kelompok.

Teroris menjadikan perempuan sebagai target propagandanya dengan menggunakan dan memanipulasi streotipe peran gender. Perekrutan perempuan menjadi pelaku bom atau serangan kekerasan adalah taktik agar tidak mudah dicurigai untuk alasan keamanan. Hal lain adalah memanfaatkan peran perempuan sebagai ibu yang strategis untuk mentransmisikan ideologi radikal dan mempersiapkan anak-anak melakukan tindakan kekerasan. Mereka juga memanipulasi bahwa inilah yang mereka yakini sebagai bentuk ‘kesetaraan’ agar posisi mereka sama dengan laki-laki yang berani berjihad. Walau perempuan menampakkan kerelaan hal ini tidak dapat dilepaskan dari internalisasi nilai-nilai maskulinitas yang menjadi dasar dari kelompok teroris.

Pada saat yang sama, ada pemahaman tentang dampak maskulinitas pada kesediaan laki-laki dan dorongan untuk bergabung dengan kelompok teroris. Selain faktor-faktor seperti ekonomi, daya tarik kelompok teroris sebagian berasal dari keinginan laki-laki untuk menunjukkan ‘kejantanan’ mereka sebagai ‘laki-laki’. Kelompok teroris mengeksploitasi stereotip gender laki-laki ini, memainkan keluhan terkait dengan harapan yang tidak terpenuhi dan espektasi sosial dan budaya yang dilekatkan terhadap laki-laki untuk memenuhi peran tertentu. Selain itu, jika kepada perempuan mereka memanipulasi keterlibatan mereka sebagai bentuk kesetaraan jihadis, maka kepada laki-laki mereka mengeksploitasi kesediaan perempuan untuk bergabung dan mendukungnya sebagai salah satu cara mempermalukan laki-laki.

Saat itu setelah menjelaskan bentuk-bentuk ketidakadilan jender terhadap perempuan dalam konteks terorisme, saya mengingatkannya bahwa jika kita memahami perjuangan persamaan antara laki-laki dan perempuan maka perjuangannya tidaklah mengedepankan nilai nilai maskulinitas yang penuh dengan kekerasan, memperjuangkan keadilan adalah perjuangan tanpa kekerasan.

Mencegah dan Melawan Radikalisme dan Terorisme

Jika kita telah menemukan jawaban bahwa keterlibatan perempuan dalam radikalisme dan terorisme bukanlah bentuk kesetaraan gender, melainkan sebaliknya, lantas apa yang bisa dilakukan untuk mencegah dan melawannya?.

Dalam perspektif HAM, radikalisme dan terorisme adalah ancaman bagi Hak Asasi Perempuan dan memicu berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Karenanya, mekanisme HAM PBB membuat kebijakan global antara lain melalui Rekomendasi Umum Komite Perempuan PBB No. 30 tentang “Perempuan dalam Pencegahan Konflik, Konflik dan Post Konflik” yang menekankan negara untuk melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender akibat berbagai macam konflik, termasuk dalam konteks terorisme. Resolusi Dewan Keamanan PBB no.1325 tentang “Perempuan, Perdamaian dan Keamanan” menyerukan kepada negara-negara untuk melindungi perempuan dan anak perempuan di wilayah konflik dari kekerasan berbasis gender. Resolusi 2129  meminta perhatian bangsa-bangsa akan ancaman perdamaian dan keamanan internasional yang diakibatkan kegiatan terorisme.

Sementara resolusi DK PBB No.2178 menemukenali pentingnya pemberdayaan perempuan sebagai faktor mitigasi dalam penyebaran kekerasan radikalisme. Resolusi 2242 menyerukan negara-negara untuk membuat laporan yang memasukkan agenda perempuan, perdamaian dan keamanan dalam agenda pembangunan 2030, mendorong kepemimpinan perempuan masuk ke semua level pengambilan keputusan, serta mengingatkan perlindungan HAM perempuan dan anak dalam kegiatan terorisme.

Sebagaimana hasil analisa ODIHR bahwa terdapat kondisi spesifik yang kondusif bagi tumbuhnya radikalisasi teroris perempuan, maka prioritas utama pengarusutamaan gender adalah menetralkan kondisi yang kondusif untuk lahirnya teroris perempuan. Merujuk pada Panduan Prinsip-Prinsip Pengarusutamaan Gender, Dimensi dan Prioritas Untuk Mencegah Kekerasan Ekstremisme yang diterbitkan Komisi Perempuan PBB  upaya yang harus dilakukan: (a) Mempromosikan partisipasi perempuan dan anak perempuan; (b) Mengatasi ketidaksetaraan gender; (c) Memastikan kebijakan dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme tidak merusak kesetaraan gender; (d) Mengintegrasikan kesetaraan gender melalui tindakan spesifik dan terarah; ( e) Dialog dengan para pemangku kepentingan dan mitra tentang isu-isu sensitif gender; dan  (f) Memastikan kebijakan dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme mengatasi kerugian khusus bagi perempuan.

Rekomendasi pencegahan dan penanggulangan radikalisme dan terorisme di atas, bertumpu pada kewajiban negara dalam mengelola sumber daya, melindungi warga dan memastikan pencapaian tujuan negara. Sebagai seorang ibu, langkah awal yang saya lakukan adalah membangun iklim demokratis dalam mendidik anak. Mempersilahkan anak untuk kritis dan mempertanyakan banyak hal, menjadi teman dialoq dan mendorongnya untuk mandiri dan independen dalam pengambilan keputusan dan menilai klaim kebenaran.

Oleh: Siti Aminah Tardi

Penulis, adalah Komisioner Komisi Nasional (KOMNAS) Perempuan.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru