25.4 C
Jakarta

Perempuan Milenial dan Potensi Deradikalisasi

Artikel Trending

Milenial IslamPerempuan Milenial dan Potensi Deradikalisasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam sebuah acara Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bertajuk “Perempuan Hebat untuk Indonesia Maju” yang digelar di Hotel Rits Carlton, SCBD, Jakarta, Minggu (22/12/2019) lalu, putri kedua almarhum Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Yenny Wahid mengemukakan bahwa perempuan milenial memiliki peran krusial untuk mengkonter intoleransi dan radikalisme yang kini tengah merajalela.

“Perempuan punya potensi untuk mencegah radikalisme ketika dia diberdayakan, ketika dia dikuatkan, disadarkan tentang perannya untuk menjaga perdamaian, untuk menciptakan masyarakat yang damai. Kita harus memperlakukan laki-laki dan perempuan secara setara, dalam hal ini artinya dua-duanya bisa berpotensi menjadi orang-orang yang intoleran dan radikal. Jadi jangan lengah,” tegas perempuan yang akrab disapa Mbak Yenny, sebagaimana dilansir dari Kompas.com.

Pernyataan tersebut tentu merupakan ruang nafas bagi perempuan di era ini. Secara ikonik, Yenny Wahid menunjukkan kepada kita bahwa ruang publik perempuan tidak sekadar dalam keterlibatan karir belaka, melainkan keterlibatannya juga dalam persoalan yang, biasanya, sangat men-oriented. Sebagai perempuan yang digadang-gadang pengganti Gus Dur, Yenny Wahid berani membuat lompatan progresivitas. Tak hanya memperjuangkan pluralisme, ia juga terlibat untuk memberantas radikalisme.

Tolok Ukur Milenial

Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘milenial’ secara denotatif merujuk kepada setiap individu yang lahir sekitar 1980-an hingga 1997. Penyebutan milenial di sini disebabkan mereka merupakan generasi yang pernah melewati milenium kedua sejak teori generasi ini dicetuskan pertama kali, pada tahun 1923, oleh Karl Mannheim. Nama lain milenial adalah generasi Y. Setelah generasi Y, kita juga tidak asing dengan istilah generasi Z, yakni generasi yang lahir tahun 1990-an sampai 2000-an.

Baik generasi Y alias milenial dengan generasi Z sejatinya memiliki kesamaan esensial, yakni keterlibatannya (atau ketergantungannya?) pada teknologi komunikasi dan internet. Meski agaknya kalangan kita lebih dekat dengan istilah milenial, dan seringkali berkonotasi positif-negatif, namun generasi Z juga menuhankan teknologi. Bagaimana kemudahan-kemudahan yang disuguhkan teknologi membuat peran kita hampir semuanya tergantikan, saya pikir, juga adalah makna milenial itu sendiri.

Jika pun harus direkonstruksi, maka harapannya adalah tiadanya kecenderungan untuk memaknai istilah milenial sekadar dengan periode tahun lahir. Ia mesti dimaknai sebagai peran mereka dalam konteks sosio-kultural yang lebih progresif. Bagaimana perjuangannya terhadap kesetaraan gender, umpamanya, dominasinya terhadap dunia maya, bahkan kecenderungan gaya hidup yang melibatkan peran teknologi, mesti diperhatikan. Secara substansial, itulah arti generasi milenial.

Kita mungkin dapat membuat klasifikasi begini: rentang lahir milenial adalah periode di mana teknologi tumbuh dan berkembang pesat. Kecenderungan pada teknologi adalah gaya hidup milenial, sedangkan konsen mereka dalam memperjuangkan kesetaraan gender adalah tuntutan zaman. Lalu kita membuat kesimpulan bahwa yang paling dominan dari generasi milenial ialah tuntutan kesetaraan, atau egalitarianisme.

Egalitarianisme yang Mendominasi Milenial

Apa yang kita lihat dari pernyataan Yenny Wahid di atas adalah apa yang dipikirkan oleh para generasi milenial. Itu intinya. Iklim patriarki, tentang superioritas laki-laki, yang mengerangkeng perempuan dari ruang publik, memang telah lama meresahkan perempuan. Putri Gus Dur tersebut hadir sebagai sosok Kartini di era milenial. Domestikasi perempuan harus segera dipunahkan, kendati berkedok ajaran agama. Sudah bukan zamannya untuk mempertahankan ketimpangan gender. Tidak lagi.

BACA JUGA  Masyarakat Harus Jadi CCTV dalam Pencegahan Terorisme

Peran egalitarianisme sendiri tidak bisa kita pandang sebagai orientasi negatif generasi milenial, justru harus kita akui sebagai reinterpretasi sumber-sumber teologis. Tentu saja kesetaraan yang dimaksud tetap berada dalam koridor yang tepat. Artinya, ia bermaksud memberdayakan perempuan, secara presisi sesuai ajaran teks agama, tetapi tidak dalam maksud mengucilkan peran laki-laki itu sendiri. Dalam konteks ini, ia berbeda dengan feminisme Barat yang, oleh sementara kalangan, dianggap berlebihan.

Oleh karena radikalisme merupakan musuh semua agama dan semua bangsa, ambil bagian merupakan sesuatu yang secara otomatis menjadi niscaya. Tak peduli status gender, semuanya demi merawat NKRI dari ideologi tersebut. Lebih-lebih jika dalil teologis memperbolehkan, alasan untuk tidak ikut andil pun menjadi sulit. Idealnya, jika perempuan bisa memperjuangkan haknya untuk berkontribusi kepada bangsa melalui karir publik, mereka juga mesti bersedia untuk menjaga eksistensi bangsa itu sendiri.

Langkah yang ditempuh Yenny Wahid agar perempuan ikut andil menangani radikalisme wajib untuk diapresiasi. Kita telah melihat, misalnya, dalam beberapa kasus ekstrem bom bunuh diri yang terjadi, perempunan terlibat karena mengikuti suami mereka. Mereka tidak bisa memutuskan sebuah langkah idependen karena doktrin yang mereka anut, dan ikut suaminya berjihad, jihad yang mereka pahami.

Perempuan Mengkonter Radikalisme

Ketika Yenny Wahid menilai bahwa perempuan memiliki potensi terhadap deradikalisasi, ia memahami betul bahwa belakangan ini terjadi perkembangan peran perempuan terhadap aksi terorisme. Tidak hanya mati sebagai pendamping pelaku teror, tidak sedikit mereka juga ikut andil menjadi pelaku bom bunuh diri. Ironi ini tentu saja mencemaskan bagi Yenny Wahid, sebagai representasi perempuan milenial, sebagaimana seharusnya semua generasi milenial mencemaskannya.

Kita, beberapa hari lalu, dikejutkan dengan kematian Ketua ISIS Abu Bakar al-Baghdadi, yang mati bersama istri dan anak-anaknya. Kejadian tersebut merupakan satu bukti bahwa, melalui doktrin ketaatan pada suami di satu sisi, dan superioritas suami di sisi lainnya, perempuan ikut ambil bagian menjadi pelaku teror. Atau karena merasa terancam, bahwa jika suaminya meninggal sebagai pelaku bom bunuh diri, ia juga merasa lebih baik meninggal juga bersama suaminya.

Karena itulah, sebagaimana diutarakan Yenny Wahid, yang pertama mesti dilakukan ialah meletakkan perempuan dan laki-laki dalam derajat yang setara. Peran keduanya tidak didominasi, sehingga dalam hal buruk, istri tidak diperbolehkan menaati suaminya. Dalam tataran kesetaraan, perempuan akan menjadi lebih kritis untuk memutuskan, atau mencegah suaminya melakukan tindakan terorisme. Tak hanya suami, mereka juga dapat mencegah anak-anak mereka terlibat aksi teror tersebut.

Konsekuensi kesetaraan ialah menjadikan perempuan menjadi kritis pula dalam memahami doktrin keagamaan, yang seringkali menjadi dalil-dalil radikalisme dan ekstremisme. Potensi ini mesti diimplementasikan segera, agar perempuan milenial memiliki peran konkret terhadap kebutuhan publik yang sangat urgen semisal deradikalisasi. Dalam menjaga keutuhan bangsa, status gender tidaklah penting. Semua elemen, yang perempuan include di dalamnya, memiliki tanggung jawab penuh terhadap pemberantasan radikalisme.

Wallahu A‘lam…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru