33 C
Jakarta

Perempuan dalam Iklan: Kesetaraan Gender atau Pelecehan Terselubung?

Artikel Trending

KhazanahPerempuanPerempuan dalam Iklan: Kesetaraan Gender atau Pelecehan Terselubung?
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Diakui atau tidak, saat ini media, baik elektronik maupun cetak memiliki pengaruh yang signifikan pada setiap kehidupan umat manusia. Televisi (TV) misalnya, adalah salah satu media yang paling banyak menyita perhatian dan bahkan menjadi konsumsi publik.

Hal ini dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan psikologis, seperti hiburan, pendidikan, dan lain sebagainya. Tak ayal, hampir di setiap rumah tangga, baik masyarakat urban maupun pelosok, terdapat “kotak ajaib” yang persyaratan kepemilikannya tidak serumit kendaraan bermotor maupun benda-benda penting lainnya.

Sebagai primadona media, adalah wajar jika TV kerap menghadirkan tayangan-tayangan yang mampu mengubah perilaku, pola-pikir dan gaya hidup (life style) masyarakat secara simultan; pragmatis dan konsumtif. Bahkan, untuk menarik perhatian publik, kadang-kadang televisi menyuguhkan beragam iklan yang bombastis dan hampir selalu menggunakan perempuan sebagai mediator untuk menyampaikan pesan yang dibawa oleh iklan.

Pertanyaan yang muncul dalam benak, mengapa harus perempuan? Tentu jawabannya adalah; dengan kekuatan magnetiknya—erotisme dan kemolekan tubuh perempuan. Perempuan mampu ‘membius’ lawan jenisnya dan bahkan kadang-kadang juga terhadap sesama jenis. Daya tarik perempuan memang khas, unik, dan spesifik yang tentu saja tidak dapat ditemui dalam diri kaum laki-laki yang secara kultural mempunyai banyak justifikasi.

Di sinilah awal mula ekonomi kapitalis modern “mengkapitalisasi” tubuh perempuan untuk kepentingannya; sebagaimana yang disuguhkan dalam pelbagai macam bentuk iklan di media seperti, kosmetik, alat-alat elektronik, peralatan mandi, dan lain sebagainya.

Sebagai media promosi terhadap segala macam jenis barang, tentunya eksistensi iklan yang dilengkapi dengan gambar tubuh perempuan seolah menjanjikan kepuasan, baik kepuasan seksual, keamanan dari rasa takut hingga memperoleh kenikmatan laiknya pengantin baru dan mampu mendekatkan pada sosok idola kita.

Bahasa iklan merupakan komunikasi yang “agresif” dan “imperatif” dengan berupaya “memaksa” publik untuk mengubah perilaku, pola-pikir dan gaya hidup; hingga menjadi konsumen setia terhadap setiap produk-produk yang dihasilkan oleh mesin-mesin kapitalisme modern—global.

Meskipun, tampilnya kaum perempuan di ruang publik memang merupakan suatu keniscayaan untuk meneguhkan identitas feminis. Seperti sudah jamak diketahui, sejarah mencatat bahwa sejak dahulu perempuan hanya ditempatkan pada wilayah domestik dan bahkan dianggap tidak memiliki arti penting bagi pranata sosial.

Lebih dari itu, ketika dihadapkan dengan sosok laki-laki, perempuan tak lebih hanya sekadar pelengkap penderitaan. Bahkan, ia lebih banyak dijadikan objek daripada subyek. Itulah mengapa dari zaman dahulu hingga sekarang muncul tindakan misoginis terhadap perempuan.

Di masa jahiliah misalnya, perempuan dipandang sebelah mata dalam kehidupan, direndahkan, dan tidak dihargai. Ironisnya, apabila lahir seorang anak perempuan, maka bayi tersebut dikubur hidup-hidup karena dianggap sebagai aib dalam keluarga. Artinya, sebelum Islam datang kaum perempuan tidak memiliki nilai dan peran apa pun kecuali persoalan kasur, dapur, dan sumur.

Namun demikian, dalam konteks pertarungan “ekonomi kapitalis”, terutama di dunia periklanan, peran perempuan juga menemui ruang dilematis. Alih-alih iklan mampu mengangkat harkat-martabat seorang perempuan dengan mendudukkan sejajar dengan kaum laki-laki, tetapi mereka tetap diposisikan sebagai obyek kepentingan akumulasi kapital para kapitalis.

Perempuan dengan segala pesonanya, yakni keindahan; kecantikan, kelembutan, keunikan, dan spesifiknya digunakan sebagai “simbol” yang ada dalam iklan. Tentu tujuannya hanya sekadar untuk memikat konsumen supaya mengonsumsi produk-produk yang ditawarkan oleh para kapitalis.

Ini artinya, kesetaraan gender yang tawarkan bersifat semu atau lebih tepatnya adalah; upaya untuk melanggengkan “budaya patriarki” melalui teknik dan strategi yang semakin canggih. Sebab, di dalam iklan, tubuh perempuan masih menampakkan stereotipe yang merugikan terutama pada saat dipertontonkan sebagai simbol “seks” dan “alat pemuas” birahi kaum laki-laki.

Sehingga, fungsi tubuh mengalami pergeseran dari fungsi organis atau biologis-reproduktif ke arah fungsi ekonomi-politik, khususnya fungsi tanda. Hal ini dikarenakan ekonomi kapitalisme modern telah berubah ke arah penggunaan “tubuh” dan “hasrat” sebagai titik-sentral komoditi, yang disebut dengan “ekonomi libido”. Inilah yang oleh sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu disebut sebagai symbolic violence (kekerasan simbolik).

Kemudian, bagaimana menyikapi fenomena demikian yang sudah marak terjadi di tengah masyarakat, khususnya bagi kaum perempuan? Atau, apakah sekadar berdiam diri dengan mengamini terhadap masifnya budaya patriarki?

Dalam dunia yang semakin modern dan terbuka, iklan memainkan peran penting dalam membentuk persepsi dan nilai-nilai sosial. Iklan tidak hanya mempromosikan produk tetapi juga mempengaruhi cara kita memandang dunia, termasuk bagaimana kita melihat dan memperlakukan perempuan.

BACA JUGA  Ironi Perempuan HTI: Terpasung Propaganda Khilafah

Selama beberapa dekade, representasi perempuan dalam iklan telah menjadi topik perdebatan yang intens. Apakah iklan perempuan menjadi simbol kesetaraan gender, atau apakah mereka justru memperkuat mindset patriarkis dengan merendahkan perempuan sebagai objek semata?

Sejarah iklan memperlihatkan perjalanan panjang representasi perempuan. Di masa lalu, perempuan sering kali digambarkan dalam peran yang stereotipis: sebagai ibu rumah tangga yang bahagia, objek seksual, atau ikon kecantikan yang ideal. Iklan-iklan ini memperkuat pandangan tradisional tentang peran gender dan mengokohkan norma-norma patriarkis yang membatasi perempuan dalam ruang publik dan pribadi.

Namun, dengan meningkatnya kesadaran tentang isu-isu gender dan hak-hak perempuan, kita telah melihat pergeseran dalam cara perempuan ditampilkan dalam iklan. Banyak perusahaan kini mencoba untuk mengadopsi representasi yang lebih inklusif dan memberdayakan, menampilkan perempuan dalam berbagai peran dan profesi yang mencerminkan keberagaman dan potensi mereka.

Harapan dan Ironi

Banyak kampanye iklan saat ini berusaha untuk merayakan kesetaraan gender dengan menampilkan perempuan sebagai individu yang kuat, mandiri, dan sukses. Kampanye seperti “Real Beauty” dari Dove dan “Like a Girl” dari Always telah dipuji karena mengubah cara kita memandang kecantikan dan kekuatan perempuan. Mereka mengajak audiens untuk melihat perempuan sebagai individu yang berharga dan berdaya, bukan hanya berdasarkan penampilan fisik mereka.

Namun, meskipun ada upaya nyata untuk mengubah narasi ini, banyak iklan masih terjebak dalam mindset patriarkis. Perempuan ditampilkan sebagai objek seksual atau digunakan untuk menarik perhatian melalui daya tarik fisik mereka. Dalam iklan-iklan semacam itu, tubuh perempuan dieksploitasi untuk menjual produk, dan nilai mereka diukur berdasarkan daya tarik seksual mereka. Ini tidak hanya merendahkan perempuan tetapi juga memperkuat norma-norma gender yang merugikan dan membatasi.

Penggambaran perempuan sebagai objek seksual dalam iklan memiliki dampak yang luas dan merusak. Ini memperkuat pandangan bahwa nilai perempuan terletak pada penampilan mereka, bukan pada bakat, kemampuan, atau karakter mereka. Ini dapat mempengaruhi cara perempuan memandang diri mereka sendiri dan bagaimana mereka diperlakukan oleh orang lain.

Selain itu, iklan yang menampilkan perempuan sebagai objek dapat mempengaruhi perilaku dan sikap sosial, mendorong budaya yang memandang perempuan sebagai komoditas yang bisa dinilai dan dieksploitasi. Ini juga dapat membatasi peluang bagi perempuan dengan memperkuat stereotip dan harapan yang sempit tentang peran dan kemampuan mereka.

Menuju Representasi yang Adil

Untuk menciptakan representasi yang lebih adil dan berimbang dalam iklan, perusahaan dan pembuat iklan perlu mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam cara mereka menampilkan perempuan. Ada beberapa langkah yang dapat diambil. Pertama, menghormati keberagaman dan individualitas. Iklan harus mencerminkan keberagaman dan kompleksitas pengalaman perempuan, menghormati mereka sebagai individu yang berharga.

Kedua, menghindari eksploitasi seksual. Perusahaan maupun TV harus berhenti menggunakan tubuh perempuan sebagai alat untuk menarik perhatian atau menjual produk. Ini termasuk menghindari penggambaran yang terlalu seksual atau memanjakan pandangan yang memfokuskan pada daya tarik fisik.

Ketiga, memajukan narasi pemberdayaan. Iklan harus fokus pada pemberdayaan perempuan, menampilkan mereka dalam peran dan situasi yang menunjukkan kekuatan, kecerdasan, dan kemampuan mereka yang sebenarnya. Keempat, melibatkan perempuan dalam proses kreatif. Ini membantu menciptakan representasi yang lebih otentik dan menghormati pengalaman mereka. Kelima, mengkritisi dan menantang stereotipe gender.

Intinya, iklan memiliki kekuatan besar untuk membentuk pandangan dan norma sosial. Dalam upaya untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan setara, penting bagi kita untuk terus menantang representasi yang merendahkan dan mempromosikan representasi yang menghormati dan memberdayakan perempuan.

Meskipun masih banyak tantangan di depan, dengan komitmen dan kesadaran yang lebih besar, kita dapat mengubah cara perempuan ditampilkan dalam iklan dan, pada akhirnya, dalam masyarakat kita. Dengan memahami dan menangani cara iklan mempengaruhi persepsi gender, kita tidak hanya memperjuangkan kesetaraan tetapi juga membangun fondasi untuk generasi mendatang yang lebih menghargai dan menghormati semua individu, tanpa memandang gender.

Saidun Fiddaraini
Saidun Fiddaraini
Penulis Lepas

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru