34 C
Jakarta
Array

Perempuan dan Gerakan Literasi Usia Dini

Artikel Trending

Perempuan dan Gerakan Literasi Usia Dini
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Keniscayaan bagi seorang perempuan yang tidak akan dapat tergantikan adalah menjadi seorang ibu. Perempuan menjadi seorang ibu tentu bukan hanya tentang hamil, melahirkan, dan menyusui. Lebih dari itu, di tangan ibulah anak-anak mendapatkan nilai-nilai pendidikan pertama kali. Bukan dari tangan yang lain, bahkan ayah dari anak-anak tersebut. Perempuan adalah madrasah pertama (al-madrasatul al-ula) bagi setiap anak yang lahir dari lembaga keluarga. Ia lah yang akan mendidik anak-anak bangsa agar kelak berprestasi dalam segala bidang untuk kemajuan dan mengharumkan nama bangsa.

Begitu penting dan tidak tergantikannya kedudukan seorang ibu dalam keluarga. Ketika kita bertanya kepada seorang anak, siapa yang kamu pilih, pergi bersama ayahmu atau ibumu?. Kebanyakan dari mereka pasti akan menjawab ibu. Ini bisa terjadi karena perempuan memiliki kedudukan sentral dalam keluarga. Ia menjadi orang yang sangat dekat dengan anak.

Tiang Negara

Sebagai penentu masa depan sebuah bangsa, pantaslah kalau perempuan disebut-sebut sebagai tiang negara. Jika perempuannya baik dan berkualitas, berkualitas pula negaranya. Jika tidak, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Negara berada di ambang kehancuran. Kemajuan sebuah bangsa tak pernah lepas dari sentuhan tangan ibu.

Sejarah telah memberitahukan kepada manusia sekarang bahwa para pahlawan dan orang-orang sukses tak mungkin bisa pasti ada campur tangan ibu dan keluarga. Presiden pertama RI Soekarno misalnya, ia dididik untuk menjadi “orang besar”. Bahkan sang ibu, Ida Ayu Nyoman Rai, selalu memanggil putranya itu dengan panggilan “Putra Sang Fajar”. Sejarah mencatat, Soekarno benar-benar menjadi orang besar, paling berpengaruh bagi dunia, khususnya Indonesia. Bung Karno dinobatkan sebagai pahlawan Indonesia yang jasanya dikenang sepanjang masa. Semua itu berkat kecakapan seorang ibu sehingga aura positif dan motivasi membuatnya tergugah untuk menjadi orang seperti yang didambakan ibu dan keluarga.

Dari itu, jelas bahwa perempuan adalah agen penting dalam memastikan masa depan bangsa Indonesia yang bermuara pada masa-masa cerah nan gemilang. Ia bukan hanya dituntut untuk melahirkan generasi penerus yang memiliki prestasi cemerlang. Ia juga harus menjadi aktor dalam setiap perubahan ke arah kemajuan yang dibingkai dalam indahnya kedamaian dan keadaban.

Gerakkan Literasi Sejak Dini!

Sudah mafhum di kalangan warga Indonesia, bahwa Indonesia kini digempur dengan beragam beragam berita hoax dan ideologi transnasional yang mengancam persatuan dan kedamaian NKRI. Ditambah lagi, hari ini kemampuan literasi warga negara Indonesia masih tergolong rendah. Menurut hasil survei PISA (Program for International Students Assessment) tahun 2016 dari 72 negara, indeks literasi membaca hanya 397 pada 2015, naik satu poin dari 396 pada 2012. Masih jauh di bawah rata-rata siswa di dunia internasional yang mencapai 500.

Dari sini, jelas bahwa meski siswa belajar dan berangkat sekolah setiap hari, nyatanya literasi masih rendah. Tak ayal, ada pula siswa yang masih terjebak dengan ideologi radikal dari konten dunia maya yang ia temui. RA Kartini (1879–1904) pernah mengatakan, “Sekolah-sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat, tetapi keluarga di rumah juga harus turut bekerja. Lebih-lebih dari rumahlah, kekuatan mendidik berasal.”

Dari sini, dapat dipahami bahwa kehadiran pendidikan keluarga sangat dibutuhkan. Dan, orang yang paling penting menduduki peran tersebut ialah perempuan. Karena perempuan adalah ibu. Karena perempuan adalah sosok yang melahirkan dan menyusui. Karena perempuan adalah madrasah pertama bagi setiap anak bangsa. Karena perempuan adalah orang paling dekat dengan para generasi penerus bangsa.

Maka itu, sejak dini, para ibu harus membudayakan putra-putrinya untuk rajin membaca dan menulis. Dengan membiasakan si anak untuk senang membaca dan menulis, sejatinya ia telah menciptakan generasi penerus bangsa yang tak hanya berwawasan luas, tapi juga cerdas, memiliki kemampuan literer yang baik, terbiasa dengan pemikiran berbeda, terbiasa mencari sumber rujukan yang valid. Sehingga ia dapat tumbuh menjadi pribadi yang tidak mudah menyalahkan orang lain. Tidak mudah dibohongi. Tidak mudah terpengaruh hasutan-hasutan radikal.

Elizabeth B Hurlock (1978) pernah berujar, pada tahapan perkembangan fisik, motorik, bicara, emosi, sosial, bermain, kreativitas, dan perkembangan moral yang terjadi pada usia sekitar 0–6 tahun, anak akan mudah menerima rangsang atau pengaruh lingkungan. Jika anak telah terbiasa berliterasi sejak usia dini, niscaya mudahlah untuk menanamkan paradigma kepada si anak, bahwa perbedaan itu sunnatullah, jangan diobrak-abrik dan dibenturkan. Justru kita perlu menjaga dan merawatnya demi menyongsong kemajuan.

Jadi, marilah kita pupuk lagi ghiroh kaum perempuan untuk senantiasa berusaha melahirkan generasi bangsa yang cinta damai, cinta Indonesia, cinta persatuan NKRI melalui kesadaran literasi sejak dini. Perempuan adalah “ibu literasi generasi bangsa”. Tanpanya, budaya literasi yang terus dikampanyekan Kemdikbud akan gagal. Tanpanya, masa depan bangsa Indonesia terlepas dari cengkraman ancaman perseteruan dan perpecahan akibat informasi hoax dunia maya tidak dapat terhindarkan. Tidak ada pendidikan lebih baik daripada pendidikan ibu, sosok perempuan yang paling berjasa bagi kehidupan para generasi bangsa.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru