29.8 C
Jakarta

Perempuan dalam Pengaruh Radikalisme-Terorisme

Artikel Trending

KhazanahOpiniPerempuan dalam Pengaruh Radikalisme-Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kasus seorang perempuan yang ditangkap di Semarang pada tanggal 3/7. Dan yang ditangkap di Jalan Trans Poso Sulawesi pada tanggal 29/7 karena diduga melakukan tindak pidana terorisme, ini cukuplah membuktikan bahwa keterlibatannya dalam aksi teror itu adalah benar.

Berbicara terorisme maka yang terbesit dalam benak kita adalah mereka yang menyerang apa pun, di mana pun dan kapan pun. Biasanya, terorisme identik dengan berpaham radikal dan tindakannya bersifat teror yang disertai dengan pengrusakan dan bahkan pembunuhan. Terorisme bukan tidak mungkin dilakukan oleh seorang perempuan, kelompok yang giat melakukan tindak terorisme sudah eksis di sejumlah organisasi teroris di Indonesia.

Ketika ia terlibat dalam aksi terorisme maka mampu menyasar siapa pun yang akan ditarget. Dengan kata lain, cara yang dipakai adalah teror yang mengedepankan kekerasan, kebiadaban dan ketidak-toleranan. Terorisme adalah sesuatu yang biadab memperlakukan manusia dengan cara-cara kekerasan fisi dan menakut-nakuti kenyamanan masyarakat.

Terorisme di Kalangan Perempuan

Atas dasar ini maka, timbul sebuah pertanyaan, apakah mungkin perempuan adalah pelaku teror? Kemudian, apa faktor yang memotivasinya itu menjadi pelaku teror?

Menurut Dyah Ayu Kartika, Analis Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), jumlah narapidana teroris (napiter) perempuan memang sangat sedikit dibandingkan napiter laki-laki, tapi angkanya meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Dalam pengamatannya, data ini disampaikan dalam webinar yang diselenggarakan oleh PAKAR (Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi) 9/7. Ia mencatat, ada sebanyak 34 teroris perempuan di Indonesia.

Berangkat dari data tersebut, tersirat dua makna: Pertama, data itu membuktikan bahwa perempuan adalah pelaku terorisme. Kedua, perempuan memiliki potensi yang sama dengan laki-laki untuk menjadi teroris. Oleh karena itu, kita tidak bisa lagi memposisikan perempuan itu selamanya sebagai korban terorisme melainkan kita harus memposisikan perempuan sebagai pelaku teror.

Terorisme di kalangan perempuan di Indonesia, meminjam bahasanya Unaesah Rahmah (2020), dapat diklasifikasi menjadi tiga peran dalam aksi teror, yakni pertama, perempuan adalah pelaku bom bunuh diri, misal yang pernah terjadi di Marko Brimob Surabaya. Kedua, perempuan adalah pelaku penyerangan dengan senjata tajam, misal yang pernah terjadi pada Wiranto, Menkopolhukam RI tahun kemarin. Terakhir, perempuan adalah kombatan.

BACA JUGA  Antara Muhammadiyah dan NU: Belajar Memahami “Wajah” yang Lain

Melalui pengklasifikasian ini maka semakin jelas bahwasanya keterlibatan perempuan dalam aksi teror di Indonesia dapat berperan di lini mana saja. Dari pengertian ini, memposisikan ia sebagai korban terorisme itu sama halnya tindakan pembiaran terhadap terorisme di Indonesia. Oleh karena itu, memandang perempuan menjadi pelaku teror itu merupakan sikap kewaspadaan kita sebagai warga negara yang mencintai kedamaian dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Menilik Motif

Akan tetapi, perlu digaris-bawahi, kendati perempuan itu dapat menjadi bagian dari terorisme, tentunya ada hal yang memotivasinya.

Sejauh dalam pengamatan penulis, paling tidak ada tiga hal yang memotivasi kalangan perempuan ini terlibat dalam aksi teror: Pertama, ia memiliki hubungan keluarga dengan jihadis laki-laki. Hubungan keluarga bukan tidak mungkin dapat menyeretnya ke lubang setan, misal sebagai istri dari napiter besar kemungkinannya melanjutkan aksi teror dari sang suami apabila suaminya dipenjara atau tewas akibat timah panas petugas.

Kedua, berafiliasi dengan kelompok Jemaah Ansharut Daulah (JAD). JAD merupakan sebuah kelompok militan yang memiliki orientasi mendirikan Daulah Islamiyah dan sekaligus menjadi pendukung utama ISIS. Oleh karena JAD merupakan pendukung ISIS maka tak heran apabila ia yang tergabung dalam organisasi ini pada gilirannya, terlibat dalam beragam aksi teror.

Terakhir, beragamnya peran perempuan dalam aksi teror. Peran tidak melulu dimaknai yang berada di garis depan akan dianggap memiliki andil besar, sementara yang ada di balik layar maka tidak. Dalam sebuah tim, semua posisi memiliki peran vital masing-masing. Artinya, kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Maka, dalam konteks ini, bisa saja kalangan laki-laki ini membantunya dalam hal persiapan senjata, pemetaan lokasi sasaran dan sementara kalangan perempuan bergerilya di garis terdepan.

Akhirnya, ia harus diposisikan sebagai korban terorisme itu adalah bentuk upaya kita untuk senantiasa waspada dan objektif dalam memberantas terorisme di Indonesia. Sehingga, dengan inilah kita bisa keluar dari zona merah radikalisme-terorisme.

Saiful Bari
Saiful Bari
Alumnus Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Juga, pernah nyantri di Ponpes Al-falah Silo, Jember. Kini menjadi Redaktur Majalah Silapedia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru